Dewan Beber Kejanggalan Kasus Batuampar

  • 21 Juni 2015
  • 00:00 WITA
  • Denpasar
  • Dibaca: 2063 Pengunjung

Denpasar, suaradewata.com - Kasus dugaan penyerobotan tanah di Batuampar, Desa Pejarakan, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, menjadi perhatian serius DPRD Provinsi Bali. Bahkan berdasarkan hasil pertemuan warga dengan para wakil rakyat, terungkap beberapa kejanggalan.


Salah satu kejanggalan tersebut, sebagaimana dibeber anggota Komisi I DPRD Provinsi Bali I Nyoman Tirtawan, di Denpasar, Minggu (21/6), adalah berupa dugaan upaya manipulasi yang dilakukan Pemkab Buleleng. Dugaan upaya manipulasi itu, terkait keberadaan bukti Hak Pengelolaan (HPL) atas tanah di Batuampar.

Sebab setelah dicek, ternyata Pemkab Buleleng tidak memiliki HPL di lahan tersebut. "Sebenarnya Pemkab Buleleng tidak punya HPL di Batuampar," kata Tirtawan.

Dokumen HPL, kata dia, setelah ditunjukan tidak ada sama sekali. Begitu pula dengan copyan sertifikat yang diberikan ke DPRD Bali dan masyarakat, juga tidak ada objek atau lokasi HPL.

Politisi Partai NasDem asal Buleleng ini mengaku, pihaknya sudah meneliti semua dokumen dan bukti-bukti lain atas lahan milik warga yang saat ini diserobot. "Memang ada banyak keganjilan. Kami duga ada upaya manipulasi dilakukan Pemkab Buleleng dalam kasus ini," ujarnya.

Ia menuding Pemkab Buleleng telah melakukan klaim sepihak atas tanah milik para petani di Batuampar ini. Selain itu, Pemkab Buleleng juga melakukan pelanggaran, sebab dengan serta-merta menyebut bahwa tanah tersebut adalah aset milik Pemkab Buleleng.

"Bagi kami di DPRD Bali, ini sesuatu yang sangat ironis. Mengapa dokumen abal-abal atau palsu dan tidak ada korelasi logika hukumnya itu, justru dipakai untuk mendelegitimasi sertifikat hak milik (SHM) asli milik rakyat?" tanya Tirtawan.

Ia pun mendesak Pemkab Buleleng dan Kepala BPN Singaraja, untuk berobat ke psikiater agar dua institusi ini mampu membaca dan mengerti dokumen dengan benar. "Mereka (Pemkab dan Kepala BPN) perlu datang ke psikiater, agar bisa membaca fakta dengan obyektif, benar dan waras," tandasnya.

Di HPL abal-abal itu, kata dia, tertulis asal usul perolehan dari pemberian. Tetapi di dokumen aset, asal perolehan dari pembelian.

"Yang memalukan, jika memang benar asal usul aset dari pembelian, mengapa justru tertulis dengan harga pembelian nol rupiah?" berang anggota Tirtawan.

Anggota Fraksi Panca Bayu DPRD Provinsi Bali itu menambahkan, jika benar HPL Nomor 1 Tahun 1976 adalah asli dan bukan abal-abal, maka tidak mungkin Menteri Dalam Negeri menerbitkan Surat Keputusan (SK Mendagri) Tahun 1982 untuk 55 petani. "Apa mungkin seceroboh itu Mendagri? Jelas HPL itu yang janggal," tegasnya.

Tirtawan menyebut, selain SK Mendagri, bukti kepemilikan lahan tersebut sesungguhnya ada sejak tahun 1959. Sebab, sertifikat hak milik atas nama Atrabi, Sutra, dan Niasi justru sudah terbit sejak tahun 1959.

Terhadap berbagai kejanggalan serta fakta ini, Tirtawan mengingatkan pejabat para pejabat Pemkab Buleleng akan konsekuensi hukum atas kasus ini. Sebab, pejabat yang menggunakan dokumen palsu untuk menghalangi hak konstitusi rakyat, bisa terancam pidana.

"Bagi siapapun pejabat, termasuk bupati Buleleng, jika menggunakan dokumen palsu untuk menghalangi hak konstitusi rakyat, maka bisa dipidana 5 tahun penjara," ujar Tirtawan. san


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER