AHF Menyerukan Bank Dunia untuk “Menaikkan MIC” Pada Pertemuan di Bali

  • 11 Oktober 2018
  • 00:00 WITA
  • Badung
  • Dibaca: 3460 Pengunjung
suaradewata

Badung, suaradewata.com - Selama berlangsungnya pertemuan tahunan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) di Bali pekan ini, AIDS Healthcare Foundation (AHF) terus menyerukan Bank Dunia agar mengubah kebijakannya terkait klasifikasi negara-negara berpenghasilan menengah (MIC). Saat ini, Bank Dunia menetapkan bahwa negara di mana penduduknya memiIiki penghasilan 2,73 USD per hari, atau setara dengan harga secangkir kopi di banyak negara, bukan termasuk kelompok miskin.

Batas bawah braket penghasilan untuk negara berpenghasilan menengah (MIC) hanya 0,83 USD di atas garis kemiskinan dunia yakni 0,9 USD per hari. Badan-badan pembangunan dunia seperti Global Fund to Fight AIDS, Tuberculosis dan Malaria, menggunakan skala penghasilan Bank Dunia untuk menentukan negara mana dapat yang menerima dukungan vital dan tidak. Ini merupakan tindakan sewenang-wenang, yang berdampak negatif pada banyak penduduk miskin di dunia 73% (atau 5 miliar jiwa), yang kini tinggaI di Negara-Negara MIC. Negara MIC memiIiki beban AIDS tertinggi dan tergantung pada Global Fund untuk pengobatan dan penanganan HIV/AIDS. 

"Sangat tidak bisa diterima bahwa Bank Dunia secara sewenang wenang menetapkan suatu negara sebagai negara miskin atau menengah," ujar Country Program Manager AHF Indonesia, Riki Febrian di Hotel Santika Nusa Dua Badung Bali, Kamis, (11/10/2018).

Akibat klasifikasi MIC tersebut, banyak Negara yang penduduknya hidup dengan HIV/AIDS harus membayar harga yang terlalu mahal untuk obat-obatan dan produk medis, dari pada mereka yang tinggal di Negara-Negara berpenghasilan rendah. "lni harus dihentikan, kami mendesak Bank Dunia untuk 'Raise the MIC’ (menaikkan skala MIC) dan mengubah metodenya dalam mengklasifikasikan Negara," ungkapnya.

Akibat sistem klasifikasi yang dibuat Bank Dunla, Global Fund mengalokasikan dana bantuan dengan jumlah yang lebih kecil untuk negara-negara MIC, meski negara-negara itu memiliki beban yang Iebih tinggi untuk penanganan HIV/AIDS, TB dan malaria. Sebagai contoh, di Kamboja, Global Fund akan menghentikan pendanaannya dalam waktu beberapa tahun ke depan karena Kamboja sekarang masuk kanmpok MIC, sehingga tidak Iagi berhak mendapatkan dukungan dalam skala yang sama. 

"Sistem Bank Dunia menyebabkan negara seperti Kamboja masuk ke dalam kelompok MIC dan kehilangan bantuan pendanaan HIV/AIDS, yang selama ini mereka andalkan untuk penanganan epidemic HIV,” ujar AHF Asia Bureau Chief Dr. Chhim Sarath. “Yang Iebih buruk, pendanaan untuk memerangi HIV/AIDS turun secara global, yang merupakan pendanaan vital dari masyarakat di MIC," ujarnya.

Dibanyak negara, Global Fund adalah satu-satunya sumber dukungan dari organisasi pengembangan masyarakat berbasis komunitas yang bekerjasama dengan penduduknya. Dengan semakin banyaknya negara yang memiliki status MIC dan dianggap tidak berhak mendapatkan dukungan tersebut, artinya organisasi masyarakat sipil dipaksa bubar. Makin banyak pekerjaan yang harus dilakukan dalam rangka memerangi HIV/AIDS secara global dan 940.000 orang meninggal dunia akibat hal-hal terkait AIDS setiap tahun. 

"Sangat tidak bisa diterima bahwa orang yang memiliki penghasilan hanya 83 sen per hari di atas garis kemiskinan internasional dapat dianggap berpenghasilan menengah,” tambah AHF Chief of Global Policy and Advocacy, Terri Ford. "Jika Bank Dunia benar benar ingin mengakhiri kemiskinan ekstrim dalam satu generasi, Bank Dunia harus mengubah caranya dalam mengelompokkan negara, kami menyerukan Dr. Jim Kim Presiden Bank Dunia untuk melakukan hal yang benar dan ‘Raise the MIC!'," imbuhnya.ang/aga


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER