Presiden dan Gubernur Berpotensi Langgar Konstitusi dan HAM

  • 10 Agustus 2016
  • 00:00 WITA
  • Denpasar
  • Dibaca: 4183 Pengunjung
suaradewata.com

Denpasar, suaradewata.com- Reklamasi Teluk Benoa belakangan menjadi polemik di masyarakat Bali. Tak henti-hentinya aksi penolakan dilakukan dengan beragam kreatifitas. Mulai dari turun ke jalan untuk berunjuk rasa, hingga sejumlah kreatifitas lainnya.

Namun, berbagai aksi penolakan tersebut sepertinya dianggap angin lalu oleh pemerintah Provinsi Bali dan pusat. Bahkan ada kesan, pemerintah melakukan "pembiaran", sehingga aksi penolakan reklamasi ini dapat memicu konflik horizontal di masyarakat.

Tokoh muda Sidakarya, Made Suardana, SH, melontarkan hal tersebut mengawali acara Reses dan Penyerapan Aspirasi Anggota DPR RI, Nyoman Dhamantra, yang berlangsung di Posko Jalak Sidakarya, Denpasar, Selasa (9/8/2016) malam. Kegiatan ini dihadiri segenap tokoh adat dan dinas serta para aktifis pemuda Jalak Sidakarya.

Dalam pemaparannya pada kesempatan tersebut, anggota Fraksi PDIP DPR RI itu membeberkan banyak hal terkait pro dan kontra reklamasi Teluk Benoa. Dalam catatan Dhamantra, terhitung sudah 40 Desa Adat di Bali yang tegas menolak reklamasi Teluk Benoa.

Di sisi lain, belum ada satu pun terekam deklarasi dari Desa Adat sebagai kubu pro reklamasi. Justru besar kemungkinan, Desa Adat yang masuk kelompok penolak reklamasi akan terus berkembang. Terakhir dari tanah kelahiran Dhamantra, Desa Sumberta, sudah menyatakan menolak reklamsi pada 31 Juli lalu.

Dhamantra berpandangan, pro dan kontra reklamasi Teluk Benoa yang menggelinding di masyarakat belakangan, terutama bagi kubu Bali Tolak Reklamasi (BTR), lebih pada mempersoalkan Perpres Nomor 51 Tahun 2014. Perpres 51 ini seakan menjadi dasar supaya reklamasi dapat diwujudkan oleh pengusaha.

Padahal sejak awal rencana proyek itu memang sudah tidak mendapatkan hati di rakyat Bali. Penolakan ini terlebih dengan berkaca pada kegagalan reklamasi Pulau Serangan, yang masih menyisakan berbagai persoalan politik, ekonomi, sosial budaya dan lingkungan hidup.

"Persoalan Perpres 51 menjadi polemik di waktu belakangan ini. Polemik terutama karena persoalan siapa yang harus membatalkan atau mencabut Perpres 41. Apakah Presiden RI Joko Widodo atau Gubernur Bali Made Mangku Pastika? Terlebih dengan dugaan adanya pelanggaran hukum, konstitusi dan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Perpres tersebut," kata Dhamantra.

Legilsator yang cukup getol menolak reklamasi sejak tiga tahun terakhir ini menegaskan, proyek seluas 700 hektar lebih itu tidak dapat dilaksanakan di Bali. Apapun alasan pengusaha untuk melakukan pengerjaan proyek, diakuinya tidak dapat diwujud nyatakan.

Alasan paling mendasarnya, demikian Dhamantra, karena menyangkut ‘Hak Tradisional’, yakni hak yang dilindungi konstitusi dan tidak bisa diganggu gugat. "Memang ada Perpres 51 yang nampak berpihak bukan pada rakyat melainkan pada pengusaha. Tetap saja, Perpres seharusnya dan sejatinya tunduk terhadap ‘Hak Tradisional’ yang tertuang dalam UUD 1945, seperti Pasal 28C jo Pasal 32 jo Pasal 18b Ayat 1 dan 2," ucapnya.

"Jadi, tidak mungkin dan tidak bisa Perpres itu di atas UUD 1945. Kalau dipaksakan, maka Gubernur Bali dan Presiden RI berpotensi melanggar HAM dan konstitusi,” tegas Dhamantra, yang juga anggota Komisi VI DPR RI.

Ia sendiri, sejak awal menolak reklamasi Teluk Benoa. Aksi penolakan politisi asal Bali itu, juga seiring dengan sikap warga Bali. Salah satu di antaranya adalah Jalak Sidakarya. Para aktifis Jalak Sidakarya, sudah menolak dengan tegas dan mendeklarasikan diri sebagai bagian dari kubu kontra reklamsi. Atas sikap ini, bahkan sejumlah aktifis ditangkap dan diancam pidana.

"Kasus Jalak Sidakarya sangat mengusik saya, sebagai pribadi dan wakil rakyat. Hanya karena sikap kritis dan menolak, kok diancam pidana? Ini sangat tidak masuk akal. Bukankah UUD 1945 menjamin kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat?" tanya Dhamantra.

Ia menyesalkan adanya pembungkaman ini. Apalagi dalam hal ini, gerakan Bali Tolak Reklamasi justru berpegang teguh pada adat dan budaya Bali, terutama bhisama dalam  menjaga kawasan suci pura, loloan dan pantai.

"Karena itu, pemerintah harus mengakui hal tersebut dengan membatalkan proyek yang dianggap mengancam eksistensi orang Bali, beserta adat dan budayanya ini," tegasnya, sembari meminta aktifis Jalak Sidakarya dan segenap komponen warga Bali untuk mengawal Bali Tolak Reklamasi. san/gin


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER