Selamatkan Lahan Produktif, Tirtawan Sodorkan Solusi Jalan Tunnel

  • 07 Juni 2016
  • 00:00 WITA
  • Buleleng
  • Dibaca: 3650 Pengunjung
suaradewata

Buleleng, suaradewata.com – Pembangunan jalan shortcut atau jalur pintas penghubung Bali Utara dengan Bali Selatan untuk persingkat waktu tempuh, ternyata bukan menjadi solusi satu-satunya dari permasalahan jarak tempuh. Sebab, selain Shortcut atau jalan tol, solusi lain juga bisa dilakukan dengan pembangunan jalan terowongan atau dikenal dengan Tunnel.

Hal tersebut disampaikan anggota DPRD Provinsi Bali asal Buleleng, Nyoman Tirtawan, yang lebih mengedepankan pembangunan jalur tunnel daripada shortcut. Selain menjadi solusi mempersingkat jarak tempuh dari Bali Utara ke daerah-daerah yang ada di sebelah Selatan Kabupaten Buleleng,  jalur Tunnel juga mampu menyelamatkan lahan-lahan produktif sehingga tidak beralih fungsi.

“Tunel atau terowongan adalah satu-satunya terobosan terbaik dan paling sustainabel untuk memecahkan masalah klasik kemacetan dan akselerasi perimbangan pembangunan antara Bali Selatan dan Bali Utara. Hal itu mengingat jalur tanjakan dan tikungan yang sangat banyak,” katanya, Senin (6/6/2016).

Medan perbukitan yang menjadi sekat antara Kabupaten Buleleng dengan sejumlah kabupaten yang ada di sebelah Selatannya memang menjadi kendala penghubung. Salah satunya adalah jalur perbukitan Bedugul yang dominan digunakan oleh masyarakat Buleleng untuk menunju Kota Provinsi Bali di Denpasar. Selain medan berkelok serta menanjak, jarak tempuh yang normalnya sekitar dua setengah jam, disebabkan karena medan perbukitan yang dipengaruhi oleh geografis tanah perbukitan tersebut.

Selain rawan dengan pohon tumbang dan tanah longsor, jalur Bedugul juga terkenal dengan jurang yang dalam serta tikungan tajam yang membahayakan. Kondisi tersebut pun menjadi gambaran di jalur lain seperti jalur Munduk yang melewati Desa Busungbiu serta jalur Desa Tajun yang menghubungkan kabupaten Buleleng dengan Kabupaten Bangli.

Kondisi medan perbukitan serta jarak tempuh tersebut cukup menghambat mobilitas masyarakat Bali Utara dengan Bali Selatan terutama masyarakat di Kabupaten Buleleng ingin ke Kota Denpasar.

Bahkan, transportasi yang menunjang bidang perekonomian pun cukup terhambat oleh medan perbukitan itu. Sebab, kondisi jurang terjal dengan tikungan tajam serta jalan yang tidak begitu lebar akan membahayakan sejumlah kendaraan besar seperti bus pariwisata maupun truk angkutan barang.

Disisi lain, pembangunan jalan tunnel tentu dapat menyelamatkan sebuah pembangunan dari alih fungsi lahan produktif serta menyelamatkan daerah resapan air dibandingkan dengan pembangunan shortcut.

Penggunaan permukaan tanah untuk jalan, tentu bukan hanya akan mempersempit luas lahan di Bali melainkan membatasi ruang hijau yang bisa saja areal perkebunan atau persawahan penduduk.

Terlebih, lanjut Tirtawan, fenomena proyek pembangunan jalan berskala besar di daratan sering kali diikuti dengan migrasi penduduk ke daerah-daerah sekitar jalan yang dibangun. Ketika mobilisasi terjadi dari luar Bali, tentu permasalahan ledakan penduduk tidak bisa terhindarkan dan sulit dicegah.

“Kalau pakai jalan terowongan maka tidak ada pertumbuhan penduduk menginagt Bali yang sudah triple over populasi. Sebab, dari luas lahan yang ada, penduduk idealnya 1,5 juta jiwa tetapi sekarang sudah sampai 4,5 juta,” paparnya yang cukup mengkhawatirkan permasalahan ledakan penduduk tersebut.

Dikatakan, upaya untuk memperlambat serta mencegah proses pengurangan lahan akibat pembangunan pemukiman bisa dilakukan. Karena, lanjut Tirtawan, jika hanya sebatas pembangunan jalan tentunya bisa dilakukan dibawah tanah daripada membangun pemukiman dibawah tanah.

Menurut Tirtawan, jalan terowongan selain sebagai akses penghubung antar kota juga dapat sebagai destinasi wisata baru dengan melakukan penataan serta pemeliharaan terowongan sehingga menjadi daya tarik tersendiri.

legislator besutan Partai Nasdem ini bahkan memprediksi jika pembangunan jalan dibawah tanah tidak akan merusak lingkungan di atas tanah. Sebab, kerusakan dalam skala besar tentu akan terjadi ketika pembangunan dilakukan di permukaan tanah dibanding dengan kerusakan yang diakibatkan pembangunan dibawah tanah.

“Konstruksi jalan serta dindingnya saja yang wajib dibuat sebaik-baiknya sehingga bisa menghindari longsornya tanah. Coba bayangkan jika jalan dibikin di permukaan tanah sepanjang lebih dari 20 kilometer, berapa lahan pertanian dan resapan air yang akan beralih fungsi,” kata Tirtawan menegaskan.

Belum lagi permasalahan pembebasan lahan yang tentunya tidak semudah perencanaan di awal. Sebab, harga tanah tentu bukan saja akan menjadi suatu faktor penghalang percepatan pembangunan tapi dampak alih fungsi lahan yang cenderung merupakan masalah besar dibalik jumlah populasi penduduk yang tidak ideal.

Pembangunan jalan terowongan menurutnya sangat mungkin direalisasikan karena perkembangan tekonologi yang sudah jauh lebih maju. Jalan model ini juga sudah banyak dibangun di negara-negara berkembangan lain seperti Vietnam atau India.

Untuk melakukan pembangunan dijalan perkembangan teknologi, imbuh Tirtawan, tentu bukan menjadi suatu masalah tanpa solusi sepanjang ada niat untuk membangun.  Dan masalah biaya, ia pun merasa tidak akan jauh berbeda dengan pembangunan di permukaan tanah.

“Bahkan mampu menyelamatkan situasi yang lebih sulit ketika lahan-lahan produktif harus dikorbankan untuk sebuah pembangunan yang sebetulnya masih ada solusi lebih baik,” pungkasnya.adi

 


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER