Kemurnian Pilihan Rakyat Memilih Pemimpinnya

  • 26 Oktober 2016
  • 00:00 WITA
  • Denpasar
  • Dibaca: 3706 Pengunjung
ilustrasi

Opini, suaradewata.com - Memilih atau memberikan suara pada pemilu merupakan perangkat paling dahsyat yang pernah diciptakan manusia untuk mengalahkan ketidakadilan dan menghancurkan tembok yang memenjara dan memisahkan manusia hanya karena mereka berbeda satu sama lain. Ungkapan yang tak berlebihan dari Presiden Amerika Lyndon B Johnson ketika memaknai hak untuk memilih/ memberikan suara dalam pemilu. Karenanya, pilihan yang diberikan pemilih sebagai artikulasi daulat rakyat wajib diterjemahkan sesuai dengan yang sebenarbenar yang diinginkan rakyat. Suara pemilih wajib dikonversi menjadi kursi (kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih) sesuai dengan kehendak murni pemilih yang telah mereka berikan di tempat pemungutan suara. Tidak boleh ada interpretasi, distorsi, apalagi manipulasi (Titi Anggraeni, 2015)

Teknologi informasi telah memberikan berbagai kemudahan bagi kita. Informasi yang kita dapatkan diperoleh demikian cepat dan demikian berlimpah. Keberlimpahan berbagai informasi ini dapat mempengaruhi persepsi para penikmatnya. Keberlimpahan Informasi ini perlu kita waspadai terutama saat masa kampanye pilkada serentak 2017. Pemilih diharapkan memiliki literasi yang kuat dari gempuran informasi terutama diberbagai media social. Kewaspadaan ini perlu dijaga agar tidak melahirkan post-truth politics di kalangan masyarakat yang nantinya menggunakan hak pilihnya. Pertarungan gagasan yang diwacanakan dimedia social dapat mempengaruhi persepsi karena yang diwacanakan sulit dibedakan antara realita atau fantasi semata. Sehingga harapan publik pilkada serentak 2017 adalah pertarungan gagasan tidak menyentuh hal-hal yang mendasar dalam menawarkan gagasan yang substantif dan otentik.

Post-truth politicsadalah budaya politik di mana wacana dan perdebatan dibingkai oleh sebagian besar narasi-narasi yang menyentuh  emosi yang kadang-kadang tidak ada hubungan dengan substansi masalahnya. Bingkai narasi ini dinyatakan dan disajikan secara berulang-ulang dengan mengabaikan sanggahan dan segala fakta yang ada. Istilah Post-truth politics diungkapkan pertama kali  oleh David Roberts dalam sebuah posting blognya untuk Grist pada tanggal 1 April 2010, di mana ia mendefinisikan sebagai "budaya politik”di mana politik (opini publik dan media narasi) telah menjadi persepsi terhadap keseluruhan masalah yang tidak ada hubungannya dengan substasi kebijakan atau substansi undang-undang.

Post-truth politicsmuncul dan dibahas kembali pada media The Economist edisi pertengahan September 2016 yang menurunkan tulisan yang berjudul Post-truth Politics: Art of the Lie. Tulisan itu mengkritik cara-cara yang dilakukan oleh para politisi Amerika dan Eropa dalam mencari dukungan dengan melakukan manipulasi data yang tidak benar dengan memanfaatkan sentuhan-sentuhan emosional menciptakan persepsi untuk memuluskan tujuannya.  Sebagai contoh  gaya kampanye calon Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang mengatakan bahwa Presiden Barack Obama adalah pendiri IS (Islam State) dan Hilary Clinton sebagai Cofoundernya dengan mengungkapkan fakta penarikan pasukan Amerika dari Irak untuk memuluskan IS. Contoh lainnya diungkapkan pula cara  kelompok pro Brexit agar Inggris keluar dari Uni Eropa dengan berkampaye terus menerus menyoroti biaya yang dikeluarkan setiap minggu sebesar £ 350 juta ($ 468m) dan terus akan bertambah. Ditambah pula dihembuskan kemungkinan masuknya para imigran lebih mudah masuk ke Inggris. Dan masih banyak contoh lain diungkap dengan cara-cara yang hampir sama dibelahan Negara Eropa lainnnya.  

Gaya kampanye semacam itu berusaha menciptakan cara pandang dan persepsi yang tidak sesuai dengan fakta dengan meniadakan bantahan fakta yang ada. Pola yang dibangun adalah mengutamakan hal-hal yang menyentuh emosional sehingga fakta menjadi tidak penting. Kampanye yang dibangun lebih banyak memperkuat prasangka. Menurut tulisan ini post-truth politics bisa berhasil  dan diterima sebagian masyarakat karena ada perasaan tak percaya pada institusi dan infrastruktur demokrasi serta pengaruh fragmentasi media.

Pengamat etika dan komunikasi politik, Benny Susetyo, mengatakan, para calon kepala daerah yang akan bertarung pada Pilkada 2017 saling adu gagasan terkait program yang akan diusungnya untuk kemajuan daerah.Adu gagasan dinilai Benny jauh lebih baik daripada saling menyerang.Ia menyoroti penggunaan isu terkait suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) menjelang Pilkada 2017."Kita dianggap bodoh dengan adanya isu SARA. Kita ingin calon pemimpin beradu gagasan agar semakin berbudaya," ujar Benny, dalam sebuah diskusi di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta, Jumat (14/10/2016).

Gun Gun Heryanto, Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute yang juga pengajar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, menuturkan, pada pilkada serentak 2017,  pemilih perlu mengantisipasi keberlimpahan informasi di media sosial. Pasalnya, situasi itu bisa melahirkan post-truth politics, terutama di kalangan pemilih yang menempatkan perbincangan pilkada secara artifisial. Akibatnya, pemilih kerap kesulitan membedakan antara realitas dan fantasi sehingga membuat esensi pertarungan gagasan pilkada tak menyentuh substansi masalah. Menurut dia, untuk mengantisipasi hal itu diperlukan literasi politik netizen untuk jeli membedakan mana informasi yang fakta dan mana yang bukan. Kandidat dan tim sukses juga perlu punya kesadaran kewargaan sehingga bisa memastikan bahwa ”tawuran liar opini” di media sosial bisa dihindari dan kemudian fokus pada pertarungan gagasan. ”Perlu juga ada gerakan warga untuk mendokumentasikan, memublikasi, dan mengomparasi data antar-pasangan ataupun sesama pasangan sebelum dan setelah si kandidat memenangi kontestasi,” katanya. (www.kompas.com)

Publik saat ini memiliki tantangan dalam meneliti prilaku kampanye para calon kepala daerah. Kelompok masyarakat yang tercerahkan diharapkan membentuk gerakan sosial untuk menjaga kejernihan persepsi atas kemungkinan-kemungkinan kampanye dengan menggunakan cara post-truth politics. Munculnya para relawan seperti relawan kawal pemilu saat Pemilu Presiden 2014 dibutuhkan untuk memberikan pemahaman positif terhadap pemilih sehingga mendapat informasi yang benar dan otentik demi menjaga kemurnian pilihan.

Penulis: Komisioner KPU Kota Denpasar


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER