Arjaya Tunjuk Walikota Jadi Saksi Skandal Pantun Pilkada

  • 08 Agustus 2015
  • 00:00 WITA
  • Denpasar
  • Dibaca: 2884 Pengunjung

Denpasar, suaradewata.com - Pantun Pilkada yang diucapkan Sekretaris Kota (Sekkot) Denpasar AA Rai Iswara saat apel perpisahan Walikota Denpasar dengan seluruh SKPD, berbuntut panjang. Sebab skandal pantun Pilkada ini, telah dilaporkan oleh calon wakil walikota yang sudah mengundurkan diri sebagai kandidat, Made Arjaya, kepada Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Kota Denpasar.


Meskipun yang bersangkutan sudah mengundurkan diri sebagai kandidat wakil walikota Denpasar, namun kasus skandal pantun Pilkada tetap dilanjutkan. Ini dimaksudnya untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat, bahwa PNS tidak boleh terlibat dalam politik praktis karena melabrak UU soal larangan bagi PNS untuk berpolitik praktis.

Baik terlapor (Sekkot Denpasar Rai Iswara) maupun pelapor (Made Arjaya) sudah dipanggil Panwaslih Kota Denpasar, Jumat (7/8). Namun kedua pihak tidak dipanggil untuk dikonfrontir, melainkan dipanggil untuk meminta klarifikasi.

Namun anehnya, Sekkot Denpasar AA Rai Iswara, datang lebih cepat dari jadwal yang ditentukan. Dalam surat panggilan dijadwalkan Pukul 10.00 Wita, namun Rai Iswara justru mendatangi Kantor Panwaslih Kota Denpasar Pukul 08.00 Wita. Sementara Made Arjaya, juga memenuhi panggilan Panwaslih Kota Denpasar untuk dimintai klarifikasi sesuai jadwal, yakni Pukul 14.00 Wita.

Saat ditemui usai klarifikasi, Made Arjaya mengatakan, ada beberapa poin yang diminta untuk diklarifikasi. Pertama soal rekaman pantun itu sendiri. Dalam rekaman sangat jelas dikatakan, "Kalau ada sumur di ladang boleh lah kita menumpang mandi. Kalau Tuhan berkenan, Pak Walikota dan Wakil Walikota bisa memimpin kami kembali," ucapnya, menirukan pantun Rai Iswara.

Menurut Arjaya, frasa "memimpin kami kembali" itu patut diduga sudah ada pertemuan atau minimal kesepakatan antara Sekkot Denpasar sebagai pejabat eselon tertinggi di daerah itu dengan seluruh PNS yang ada. Kedua, kalau tidak ada pertemuan, berarti ada penggiringan secara massif dimana dalam apel perpisahan tersebut ada ucapan terima kasih, ada permohonan maaf, kemudian ditutup dengan pantun.

"Kalau pantun itu diucapkan sebagaimana yang dikarang oleh pengarangnya, seribu kali diucapkan pun kita tidak mempersoalkannya. Namun yang jadi masalah adalah pantun itu diubah untuk menggiring massa," ujar Arjaya.

Ketiga, kejanggalan lain adalah biasanya PNS pada hari Senin mengenakan seragam sipil. Namun ketika itu, menggunakan pakaian motif Bali yakni Endek. "Ini kan sangat janggal," tegasnya.

Menariknya, saat ditanya apakah ada saksi selain barang bukti berupa rekaman dan kliping berita, Arjaya malah menunjuk Walikota dan Wakil Walikota Denpasar sebagai saksi. "Kasihan kalau saya tunjuk salah satu PNS sebagai saksi. Mereka pasti akan dikorbankan," ucapnya.

Walikota dan dan Wakil Walikota Denpasar dijadikan saksi, karena saat pantun itu diucapkan keduanya berada di lokasi. "Semuanya ada rekamannya. Kalaupun Sekkot beralasan itu merupakan suatu doa dan harapan, maka sebenarnya Tuhan juga diajak untuk berpolitik oleh Sekkot Denpasar," pungkas Arjaya. san


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER