Mental Pembuktian Soal Adanya Penganiayaan Karyawati di Vila Kubu

  • 18 Agustus 2020
  • 21:25 WITA
  • Denpasar
  • Dibaca: 1603 Pengunjung
Suaradewata

Denpasar,suaradewata.com - Sidang kasus dugaan tindak pidana penganiayaan dengan terdakwa warga asing asal Irlandia bernama Ciaran Francis Caulfield kembali berjalan di Pengadilan Negeri Denpasar, Selasa (18/8).

Dalam sidang dengan majelis hakim yang diketuai Putu Gde Novyartha,SH.MH tim kuasa hukum terdakwa menghadirkan saksi Arjana, Chief Scurity dan Lilik seorang wetriss serta saksi ahli pidana dari Fakultas Hukum Universitas Udayana, Gede Made Suardana.

Dalam keterangannya di muka sidang secara langsung, saksi wetriss yang bekerja di vila kubu mengaku tidak melihat secara jelas adanya luka-luka pada korban Ni Made Widyastuti Pramesti yang juga karyawan di vila tersebut yang mengaku menjadi korban penganiayaan dan penyekapan.

Sama halnya dengan mengakuan saksi Chief Scurity bahwa sebagai kepala pengamanan di vila itu, selalu memgecek buku laporan peristiwa soal adanya penganiayaan. "Saya selalu tanyakan soal kejadian apa saja kepada anggota bawahan, pada saat itu dalam laporan pembukuan tidak ada tertulis adanya peristiwa atau kejadian yang dimaksud pada tanggal 26 dan 27," aku saksi.

Selanjutnya kuasa hukum terdakwa, Chandra Katharina Nutz  bertanya kepada saksi ahli soal definisi penganiayaan, dijawab bahwa undang-undang tidak memberi ketentuan apakah yang diartikan dengan "penganiayaan".

Namun menurut yurisprudensi lanjutnya, maka yang diartikan dengan "penganiayaan" yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak atau penderitaan, rasa sakit, dan luka.

"Kendati demikian, penganiayaan bisa disebut bukan perbuatan penganiayaan jika dilakukan karena hal lain. Misalnya ketika saya mengajar, dan ada mahasiswa yang bercanda atau ribut terus saya lempar bolpoin dan membuat mahasiswa tersebut luka, ini bisa dikatakan bukan penganiayaan karena tidak ada niat awal untuk menganiaya," jelasnya.

Pun ketika ditanya mengenai visum, ia menjelaskan bahwa tindakan visum umumnya dilakukan setelah ada laporan dari korban ke polisi.

"Polisi akan melakukan tindakan visum jika memandang hal itu perlu dilakukan. Tapi jika luka yang diderita korban tidak parah, misalnya luka ringan, sepertinya tindakan visum tidak dilakukan," paparnya.

Ditemui usai sidang, Made Suardana menyatakan apa yang disampaikan di muka sidang murni pendapatannya sebagai ahli pidana. Ia juga menegaskan tidak ada kepentingan apapun dalam kasus ini.

Disinggung kembali terkait visum, Suardana menyebut semestinya visum dilakukan langsung, bukan setelah tiga hari pasca dugaan penganiayaan terjadi.

"Kalau melihat kasus ini, visumnya sudah tiga hari dari peristiwa pertama terjadi. Semestinya dia lapor dulu ke polisi, baru minta visum. Kalau yang saya dapat baca dari berita, hasil visum ditemukan luka baru, ini seolah saksi korban sendiri yang melakukan," sebutnya.

Saat ditanya apakah perbuatan terdakwa termasuk penganiayaan berat, Suardana menyebut jika yang dialami oleh saksi korban hanya berupa goresan biasa.

Terkait kasus yang menjerat terdakwa, Made Suardana berpandangan jika terdakwa tidak layak dikenakan Pasal 351 KUHP, namun yang tepat yakni Pasal 352 KUHP.

"Kalau dilihat ini kan luka ringan dan orang tersebut masih bisa bekerja dan tidak ada halangan untuk bekerja. Sehingga saya menjelaskan kepada hakim bahwa Pasal 351 KUHP tidak tepat, kalau ke 352 KUHP lebih riil jatuhnya," tegas ahli hukum pidana dan kriminologi Fakultas Hukum Universitas Udayana ini.mot/nop


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER