Empati Jokowi di Antara Grasi atau Amnesti

  • 24 November 2018
  • 00:00 WITA
  • Nasional
  • Dibaca: 2239 Pengunjung
google

Opini, Suaradewata.com- Kasus Baiq Nuril dimulai ketika kepala sekolah SMAN 7 Mataram bernama Muslim menelepon dirinya untuk membicarakan pekerjaan. Selanjutnya, Muslim berbincang terkait hubungan seksualnya dengan wanita lain yang bukan istrinya. Muslim lalu melontarkan kata-kata pelecehan kepada Baiq Nuril beberapa kali pada waktu yang berbeda.

Merasa terganggu, Baiq Nuril merekam pembicaraan dengan Muslim untuk mendapatkan bukti bahwa tidak ada hubungan apapun antara dia dan Muslim. Suatu ketika rekaman itu tersebar dari HP nya dan Muslim melaporkan kasus ini atas dasar UU ITE Pasal 27 Ayat 1.

Selanjutnya kasus Baiq Nuril dibawa ke pengadilan, putusan Pengadilan Negeri Mataram No.265Pid.Sus/2017/PN.Mtr menyatakan Baiq Nuril tidak terbukti menyebarkan konten yang bermuatan pelanggaran asusila. Namun dirinya merupakan korban pelecehan Muslim yang tidak lain adalah atasannya dan perbuatan merekam percakapan itu bukanlah tindak pidana. Menanggapi putusan ini, Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi pada 26 September 2018.

Pada tingkat kasasi Mahkamah Agung, MA menjatuhkan vonis bersalah kepada Baiq Nuril dengan isi bahwa dirinya tanpa hak mendistribusikan atau mentransmisikan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan. Baiq Nuril divonis 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta dengan ketentuan jika pidana denda itu tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan.

Menanggapi ketidak adilan dalam kasus ini, koalisi Save Ibu Nuril mengirim petisi dan surat kepada Presiden Jokowi melalui Staf Ahli Utama Deputi V Kantor Staf Presiden supaya memberi ampunan kepada Baiq Nuril. Penggagas petisi #SaveIbuNuril dari Institut for Criminal Justice Forum (ICJR), Erasmus Napitupulu mengatakan Jokowi tidak perlu khawatir jika disebut mengintervensi hukum karena beliau memiliki kewenangan untuk memberikan amnesti kepada Baiq Nuril.

Presiden Jokowi merespon permintaan itu dengan mendorong Baiq Nuril untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Namun apabila PK Baiq Nuril masih belum mendapatkan keadilan, Jokowi menyarankan untuk mengajukan grasi ke Presiden.

Sementara itu, pengacara Baiq Nuril, Joko Sumadi menyatakan bahwa tidak mempertimbangkan pilihan dari Jokowi karena menurut penilaiannya Baiq Nuril tidak memenuhi syarat pengajuan grasi. Pertama, dalam mengajukan grasi terdakwa harus menyatakan dirinya bersalah atau telah menjadi terpidana, sedangkan posisi Baiq Nuril pada dasarnya adalah korban bukan sebagai tersangka. Kedua, terpidana bisa mengajukan grasi jika dijatuhi hukuman pidana mati, penjara seumur hidup, dan penjara paling rendah 2 tahun, sedangkan Baiq Nuril hanya divonis selama 6 bulan.

Menanggapi pernyataan Jokowi, Juru Bicara Presiden atas nama Johan Budi SP menerangkan bahwa Presiden Jokowi tidak bisa memberikan amnesti maupun grasi secara langsung terhadap Baiq Nuril, karena pengajuan amnesti harus melalui rekomendasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Berkaca pada peristiwa tersebut, sebagai rakyat kita bisa mengambil sisi positif tentang kasus Baiq Nuril. Nilai positif itu adalah masih adanya rasa empati dari seorang Presiden yang seharusnya tidak menangani permasalahan dengan ruang lingkup kecil, namun Presiden Jokowi masih mau meluangkan waktu dan fikirannya untuk memperhatikan kasus ini dan memberi solusi terbaik kepada Baiq Nuril apabila ketidak adilan masih terus terjadi, meskipun dalam penyampaiannya terdapat sedikit salah kata.

* Penulis: Aldo Indrawan (merupakan pemerhati sosial politik di Jakarta).


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER