Ibu Dan Anak Hidup Terasing Belasan Tahun di Jurang, Tempati Rumah Tak Layak

  • 25 November 2016
  • 00:00 WITA
  • Bangli
  • Dibaca: 14921 Pengunjung
suaradewata

Bangli, suaradewata.com – Kehidupan Ni Wayan Tami (52), warga banjar Padpadan, Pengotan Bangli, benar-benar dalam kondisi yang sangat memperihatinkan. Betapa tidak, sudah belasan tahun yang bersangkutan justru memilih hidup menyepi bersama anak semata wayangnya, Wayan Suarman (13) di sebuah jurang yang berada di perbatasan dusun Padpadan dengan dusun Penyebeh. Tragisnya lagi, rumah yang ditempati mirip bedeng dan sudah mulai reot.

Sesuai pantauan dilokasi, Jumat (25/11/2016) untuk mencapai rumah yang bersangkutan meski berjalan kaki melewati jalan tanah dan berlumpur dengan jarak tempuh sekitar 10 menit. Setelah melewati hutan bambu, tampak posisi rumah berukuran 2 x 3 meter yang ditempatinya itu, tidak jauh dari tebing yang mengapit kawasan tersebut. Kondisi bangunan berlantai tanah tersebut terlihat mulai reot dengan beratapkan asbes yang sudah banyak bocor dan dinding bambu yang sudah mulai lapuk. Selain itu, rumah ini juga tanpa dilengkapi jaringan listrik dan air bersih.

Meski demikian, Ni Wayan Tami mengaku tetap betah tinggal ditempat tersebut. “Tyang tidak ada pilihan lain,” ungkapnya. Diceritakan, dirinya terpaksa tinggal ditempat tersebut bersama anaknya, untuk menghindari persoalan keluarga. Sebab, status yang bersangkutan sebagai istri ke-2 dari I Wayan Genep. “Saat umur anak saya satu oton (7 bulan kalender-red), tyang sudah tinggal disini. Sejak saat itu, anak tyang sudah tidak mendapat perhatian dari ayahnya lagi,” bebernya.

Untuk menyekolahkan anaknya, Ni Wayan Tami terpaksa bekerja banting tulang sebagai buruh serabutan dengan penghasilan yang tak seberapa. Karena itu, dirinya mengaku pasrah dengan kondisi rumahnya yang difungsikan untuk tempat tidur sekaligus dapur tersebut. “Perbaikan yang bisa tyang lakukan sebatas memperbaiki atap yang bocor dibantu anak tyang ini,” ungkapnya.

Sementara itu, kisah kehidupan anaknya juga tak kalah memperihatinkan. Untuk membantu orang tuanya, I Wayan Suarman, sejak kecil sudah terbiasa bekerja sebagai buruh pembuat kotak jeruk. Karena pekerjaannya itu, Suarman pun harus merelakan kehilangan empat jari tangan kanannya karena terkena sircle (alat pemotong kayu-red). “Kejadiannya waktu saya masih kelas satu SD,” kenangnya.

Kerasnya hidup masa kecilnya itu, kini terus berlanjut. Sebab, untuk mengenyam pendidikan, siswa yang kini telah duduk di bangku kelas 6 SDN 3 Pengotan ini, sehari-hari harus jalan kaki sejauh 2 km menuju ke sekolahnya. “Karena jalannya berlumpur, sepatu saya titipkan disekolah agar tidak kotor,’ ungkapnya. Meski demikian, tidak ada keluh kesah yang dia sampaikan. Dia juga tidak malu menceritakan, sering tidak dibekali ke sekolah layaknya anak-anak pada umumnya. Namun hal tersebut, tidak menyurutkan semangatnya untuk mengenyam pendidikan. “Biarpun hujan saya tetap sekolah. Pulangnya saya langsung membantu ibu,” jelasnya.

Sementara itu, Bendesa Adat Desa Pengotan I Wayan Kopok yang mendampingi di lokasi, mengakui kemiskinan yang mendera keluarga ini baru terungkap setelah ada laporan dari Kelian Adat Padpadan belum lama ini. “Kondisinya memang benar-benar sangat memperihatinkan,” sebutnya. Tindak lanjut dari itu, pihaknya mengaku sudah langsung melakukan koordinasi bersama para prajuru adat setempat dan menyepakati akan segera memberikan bantuan untuk perbaikan rumahnya. Meski demikian, pihaknya tetap berharap adanya uluran tangan para dermawan dan instansi terkait untuk meringankan beban keluarga ini.  ard/ari


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER