Panwaslih Buleleng : Regulasi Menyebut Istilah Calon Bukan Bakal Calon

  • 30 Agustus 2016
  • 00:00 WITA
  • Buleleng
  • Dibaca: 4751 Pengunjung
suaradewata

Buleleng, suaradewata.com  Istilah calon yang ada dalam undang-undang nomor 10 tahun 2016 yang merupakan salah satu acuan regulasi Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Kabupaten Buleleng menjadi salah satu unsur yang melemahkan dugaan tindak pidana pemilu yang dilaporankan Made Widiasa,41, terhadap Perbekel Celukan Bawang, Mochamad Ashari.

Hal tersebut dikatakan Ketua Panwaslih Kabupaten Buleleng, Ketut Ariyani, yang menyebut belum ada satu pun calon peserta Pilkada Buleleng 2017 yang ditetapkan oleh pihak KPU, Selasa (30/8/2016). Sehingga, unsur kata calon dan bakal calon yang kemudian tidak terpenuhi dalam dugaan tindak pidana seperti yang disampaikan kuasa hukum paket SURYA, Gede Agus Tanaya Somandhana dalam pemberitaan sebelumnya.

“Saat ini kan belum ada calon perseorangan. Yang ada bakal calon perseorangan. Sementara di undang-undang pemilu itu yang ada hanya (istilah) calon perseorangan. Jadi di situ unsurnya yang tidak terpenuhi (unsur pidana pemilu yang dilaporkan Widiasa). Pasal 185 atau pasal yang manapun, pasal 180 (Undang-undang nomor 10 tahun 2016) pun mengatakan Calon Perseorangan,” kata Ariyani mengungkapkan.

Berpegang dengan istilah calon perseorangan dan keberadaan paket Dewa Nyoman Sukrawan – Gede Dharma Wijaya yang baru akan menjadi calon alias bakal calon kemudian menjadikan tidak dapat diproses sebagai suatu tindak pidana pemilu.

Lalu, dengan melihat regulasi dan tidak adanya istilah bakal calon dalam undang-undang sehingga membuat seluruh laporan yang masuk dan terindikasi kearah pidana pemilu belum dapat ditindak lanjuti sepanjang belum ditetapkan jadi calon?

“Apapun ya ini (laporan pidana tidak dapat ditindaklanjuti), sebelum adanya calon perseorangan. Sebab apa, baru bakal calon. Sementara bakal calon tidak diatur dalam undang-undang,” ujar Ariyani menegaskan.

Dikonfirmasi terkait dengan alasan merekomendasikan bentuk pelanggaran yang dilakukan Ashari kepada kepala pemerintahan di Buleleng dan terkait istilah bakal calon yang menggugurkan unsur dugaan tindak pidana, Ariyani mengatakan pihaknya menggunakan acuan undang-undang lain terkait dengan pengambilan keputusan memberikan rekomendasi.

Menurut Ariyani, status Ashari yang menjabat sebagai seorang perbekel atau kepala desa membuat pihaknya mengacu pada undang-undang nomor 6 tahun 2016 tentang Desa. Dimana, lanjutnya, jika masih ada kaitan dengan status Pegawai Negeri Sipil (PNS) maka akan digunakan juga acuan aturan tentang seorang PNS untuk merekomendasi.

Kondisi tersebut pun berbeda terhadap penggunaan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang tidak digunakan sebagai acuan selain perundang-undangan khusus atau lex specialis seperti Undang-undang tentang desa.

Mengutip bunyi pasal 185 huruf A point angka (1) Undang-undang nomor 10 tahun 2016 yang disebut memperkuat istilah Calon Perseorangan yang membatalkan unsur pidana karena faktanya baru ada Bakal Calon Perseorangan adalah sebagai berikut:

Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan daftar dukungan terhadap calon perseorangan sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (Tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (Tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit RP36.000.000 (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp.72.000.000 (tujuh puluh dua juta rupiah.

Dalam pasal 185 tersebut memang menegaskan tidak adanya status Bakal Calon yang kemudian menggugurkan unsur pidana terhadap laporan Widiasa. Sebab, yang disebutkan hanya Calon Perseorangan seperti yang dimaksud Ariyani.

Sementara itu, dalam pasal 180 aturan sama terdapat dua substansi pasal yang berbunyi sebagai berikut; (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menghilangkan hak seseorang menjadi Calon Gubernur/Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati/ Calon Wakil Bupati, dan Calon Walikota/ Calon Wakil Walikota, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (Tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (Tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000 (Tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp72.000.000 (Tujuh puluh dua juta rupiah).

Bahkan, didalam subtansi angka dua dipasal 180 UU nomor 10 tahun 2016 dipertegas dengan adanya unsur “jabatan dan dengan sengaja”. Dengan lama pidana paling lama 96 bulan kurungan penjara.

Ariyani pun mengatakan, bahwa segala keputusan yang dikeluarkan oleh Panwaslih termasuk rekomendasi terhadap kasus laporan intimidasi Perbekel Celukan yakni Ashari disebut bersifat final dan mengikat.

Disisi lain, praktisi hukum Kadek Doni Riana yang juga seorang akademisi di fakultas hukum Universitas Mahendradata memiliki pandangan berbeda terkait dengan istilah bakal calon seperti yang diungkap dalam pasal 180 UU nomor 10 tahun 2016.

Menurut Doni, istilah Bakal Calon memang tidak disebutkan secara spesifik dalam aturan tersebut. Namun, adanya klausul “menjadi calon” merupakan kalimat yang bisa dipersamakan dengan “Bakal Calon”.

“Menjadi calon merupakan suatu cikal bakal sebelum kearah calon. Artinya sebuah proses untuk menjadi seorang Calon. Sehingga, pengertiannya sama dengan Bakal Calon yang juga menjadi cikal bakal untuk menjadi Calon,” pungkas Doni menegaskan. adi/hai

 


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER