Reses Dhamantra: Hilang Nalar, Pilar Bangsa Goyah

  • 29 Agustus 2016
  • 00:00 WITA
  • Tabanan
  • Dibaca: 3617 Pengunjung
suaradewata

Tabanan, suaradewata.com – Sebagai sebuah bangsa besar yang majemuk dan telah berdiri di usia 71 tahun, Indonesia seperti kehilangan "nalar publik" untuk hidup bersama atas dasar semangat kesatuan dan persatuan nasional. Semua persoalan yang terjadi, sesungguhnya sinyal goyahnya Empat Pilar Bangsa.

Ada sejumlah variabel yang memengaruhi lemahnya pilar bangsa. Di antaranya, terkait dengan marjinalisasi atau peminggiran rakyat di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

Demikian paparan narasumber Ngurah Karyadi, saat mendampingi Anggota DPR RI Nyoman Dhamantra, saat melakukan Reses dan Sosialisasi Empat Pilar Bangsa (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika), di Desa Wangaya Gede, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Jumat, 26 Agustus 2016. Reses tersebut juga dihadiri anggota DPRD Kabupaten Tabanan Nyoman Arnawa, Kepala Desa, Jero Bendesa, Kepala Dusun, Kelian Adat, serta tokoh dan anggota masyarakat setempat.

Dari sisi sosial dan budaya, demikian Ngurah Kariyadi, goyahnya kebudayaan nasional Indonesia yang secara perlahan tetapi pasti, tergerus penetrasi budaya asing. Ini terjadi, menurut dia, akibat negara tidak lagi berpijak pada budaya dan jati diri masyarakat lokal atau adat, seperti tampak dalam proyek reklamasi Teluk Benoa, Jakarta dan lain-lain.

Lebih parah lagi, negara dan pemerintah gagap atau bahkan gagal melaksanakan amanat konstitusi (UUD 1945). Belum lagi marjinalisasi di bidang politik, hukum, ekonomi dan ekologi, yang secara kausalitas mengakibatkan kaotik di bidang sosial budaya.

"Apa buktinya? Beramai-ramai masyarakat menghimpun diri dalam suatu paguyuban atau kelompok-kelompok kedaerahan atau bahkan keagamaan, yang sering menggunakan cara kekerasan dalam mencapai tujuan. Hal ini dalam keyakinan saya, berakar pada ketidakadilan," tegas Ngurah Karyadi.

Sementara itu dalam pandangan Nyoman Dhamantra, pemerintah hasil reformasi - yang kini katanya berevolusi mental - ternyata belum memiliki rencana besar yang aplikatif buat bangsa ini, agar sampai pada cita-cita dasarnya.

"Dengan kata lain, pemerintah belum layak menyandang gelar pemerintahan yang reformis, apalagi pemerintahan yang menegakkan negara amanat dan cita-cita," ucapnya.

Program Nawacita yang menjadi visi-dan misi pemerintahan Joko Widodo, misalnya, saat ini tengah mendapat ujian serius. Salah satunya di Bali, terkait rencana reklamasi di perairan Teluk Benoa.

"Apa sesungguhnya produk terbesar pemerintahan hari ini? Rasa terasing dan anti sosial (individualistis) warga negara! Mungkin jawaban ini terlalu berlebihan. Namun faktanya, banyak laporan di media bahwa orang-orang mulai terasing dari lingkungan, sosial dan budayanya sendiri, akibat serbuan kapitalisme dan konsumerisme," tegas Dhamantra.

Ia berpandangan, saat ini masyarakat terasing dari lingkungannya, dari nilai-nilai dasar kemanusiaannya, terasing dan tercerabut dari akar tradisi budayanya. Masyarakat juga terasing karena ketidakhadiran pemerintah di tengah deru penderitaan rakyat yang tak kunjung berhenti.

"Ini tak boleh dibiarkan, dan kasus reklamasi Teluk Benoa dapat dijadikan sarana 'peringatan' kepada negara dan pemerintah untuk kembali kepada amanat konstitusi, khususnya Pasal 18 B jo Pasal 33 UUD 1945," tegas Dhamantra, yang juga anggota Fraksi PDIP DPR RI.

Sementara itu, Dewa Sutarba yang merupakan staf Dhamatra Centre, pada kegiatan tersebut menyampaikan adanya perubahan nomenklatur di Kementerian Perindustrian, yang semula Industri Kecil dan Menengah (IKM), kini menjadi terbagi tiga direktorat. Ketiganya adalah Direktorat Pangan, Barang dari Kayu dan Furniture; Direktorat Kimia, Sandang dan Aneka Kerajinan; serta Direktorat Logam, Mesin, Elektronika dan Alat Angkut.

"Kami mengimbau kepada masyarakat yang hendak mengajukan hibah bantuan alat industri, agar kiranya dapat menyesuaikan dengan Nomenklatur baru tersebut," pungkasnya. san/hai


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER