DPD Harus Kawal Pembangunan Bali yang Ramah Lingkungan

  • 29 Agustus 2016
  • 00:00 WITA
  • Denpasar
  • Dibaca: 3608 Pengunjung
suaradewata

Denpasar, suaradewata.com – Bali dengan gemerlap pariwisatanya di sisi lain memiliki persoalan serius di bidang lingkungan. Di sisi lain, berbagai kebijakan yang dilahirkan pemerintah terkadang tumpang tindih. Untuk menyikapi itu, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) diharapkan berperan mengawal pembangunan Bali yang ramah lingkungan.

Hal ini menjadi bahan diskusi bertajuk Suara DPD Suara Daerah yang bertemakan Peran DPD dalam Mengawal Pembangunan Ramah Lingkungan. Diskusi ini digelar Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI) di Kantor DPD RI Perwakilan Bali, Renon, Senin (29/8/2016).

Diskusi yang terselenggara atas kerja sama anggota DPD RI Dapil Bali Gede Pasek Suardika ini diikuti kalangan pemuda, mahasiswa, dan sejumlah perwakilan organisasi kepemudaan. Sedangkan pembicaranya terdiri dari Agung Putradhnyana (penggerak energi baru terbarukan), Made Nurbawa (pemerhati budaya dan lingkungan), dan Suriadi Darmoko dari WALHI-Bali.

Gede Pasek Suardika menjelaskan, diskusi ini sengaja digelar untuk menggali aspirasi dalam upaya mendorong kesejahteraan masyarakat Bali dari sisi lingkungan hidup. “Hal ini perlu bicarakan bersama kalangan anak muda karena ke depannya generasi mudalah yang akan menikmati,” katanya.

Berkenaan dengan jalannya diskusi, Agung Putradhnyana memaparkan soal energi baru terbarukan yang potensial dikembangkan di Bali, yakni energi tenaga surya. “Potensi energi matahari untuk pembangkit listrik ramah lingkungan sangat besar dan Bali belum mengelolanya secara maksimal,” ungkap Agung.

Dikatakan, dari sisi potensi, di Bali ada istilah sarwa ada atau serba ada. “Tetapi belakangan diartikan serba boleh,” sindir Putradhyana.

Sementara itu, Made Nurbawa lebih banyak mengulas pembangunan ramah lingkungan dari dimensi budaya. Dia mengatakan, pembangunan di Bali sejatinya tidak harus selalu berarti membangun. Pembangunan juga bisa dimaknai sebagai upaya menata kembali pembangunan yang sudah ada agar selaras atau mencermikan spirit budaya Bali.

Di Bali, sambungnya, ada falsafah Tri Hita Karana. Sehingga bila dicermati lebih dalam, lingkungan dalam pengertian orang Bali adalah alam semesta ini. “Makro dan mikrokosmos itu sendiri yang terdiri dari organ dasar parahyangan, palemahan, dan pawongan,” ujarnya.

Karena itu, sambungnya, ramah lingkungan berarti selaras atau sesuai dengan falsafah Tri Hita Karana. Dan, dalam hal ini harus ada peran negara agar masyarakat Bali tetap bisa melestarikan budayanya. “Perumusan kebijakan pembangunan di Bali tidak akan menciptakan keteraturan apabila tidak selaras budaya. Karena aktivitas masyarakat Bali sebagian besar adalah aktivitas budaya,” tegas Nurbawa.


Dari sisi partisipasi publik, peran DPD RI diharapkan dapat mendorong masyarakat untuk kembali memahami budaya  Bali yang sesungguhnya karena budaya adalah pilar negara.

“Rusaknya pilar rusaknya negara. Pembangunan yang cenderung menyeragamkan di satu wilayah dengan wilayah lainnya sama saja merusak Bhineka Tunggal Ika yang melandasi adanya ideologi Pancasila.

Oleh sebab itu basis perumusan kebijakan pembangunan ramah lingkungan di Bali wajib berangkat dari kesadaran budaya. “Tugas DPD  dalam mewakili daerah yang dimaksud di sini adalah wilayah budaya, DPD dapil Bali berkewajiban menyampaikan aspirasi budaya masyarakat Bali,” imbuhnya.

Sementara Suriadi Darmoko dari WALHi Bali menyoroti soal konsistensi kebijakan pembangunan Bali. “Banyak kebijakan pemerintah yang tidak konsisten, Bali katanya sudah kelebihan kamar hotel, tetapi ijin hotel baru tetap dikeluarkan,” pungkas Darmoko. nur/hai


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER