Korban Penggusuran Di Tamblingan Yang Kecewa Janji Manis Pemkab Buleleng

  • 11 April 2016
  • 00:00 WITA
  • Buleleng
  • Dibaca: 3841 Pengunjung
suaradewata.com

Buleleng, suaradewata.com – Sebanyak 13 Kepala Keluarga (KK) yang menjadi korban penggusuran di tepian danau Tamblingan yang awalnya menempati lahan seluas 2,7 hektare di pesisir danau, hingga kini hidup dalam keprihatinan. Warga yang tergusur itu hidup bangunan-bangunan bedeng yang merupakan tanah pribadi warga lainnya disekitar danau Tamblingan.

13 KK tersebut merupakan sebagian dari total 22 KK yang rumahnya digusur paksa pada tanggal 25 April 2015 silam akibat konflik dengan Catur Desa Adat Dalem Tamblingan selaku pengelola kawasan tersebut yang di klaim merupakan tanah Pelaba Pura. Selain itu, kawasan tersebut juga disebut lahan enclave hutan konservasi milik Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).

Mangku Gede Suetra, setelah hampir setahun peristiwa penggusuran paksa tersebut, keluarganya harus hidup di lapak yang lokasinya masih tidak jauh dari danau Tamblingan. Kehidupannya pun bertahan dengan mata pencaharian sebagai nelayan air tawar yang mengandalkan hasil tangkapan ikan di Danau Tamblingan.

Sebuah lapak berdinding triplek dengan beratap seng serta sebagian dari terpal menjadi warga kehidupan para korban penggusuran yang telah hidup berpuluh tahun dikawasan tersebut.

Bangunan yang ia miliki pun hanya disangga dengan sepotong kayu yang kondisinya sementara serta telah bertahan hampir satu tahun. Tak jarang, ia pun terpaksa harus berhutang ketika hasil tangkapan ikan lagi berkurang akibat tidak lagi musim ikan.

Kondisi serupa juga dialami Komang Pariadi yang hidup bersama istri serta tiga orang anaknya didalam lapak sementara yang lokasinya pun masih menumpang diatas tanah warga lain. Menurut Pariadi, kehidupan sebagai nelayan air tawar telah telah menjadi peninggalan generasi ke genarasi keluarganya dikawasan tersebut.

“Jika musim ikan lagi sepi, kadang ada tamu yang minta diantar ke danau untuk mancing atau sekedar berkeliling. Itu pun hasilnya tidak lebih dari Rp50 ribu sehari serta belum tentu dapat,” papar Pariadi, Senin (11/4).

Dikonfirmasi terkait dengan solusi yang pernah ditawarkan oleh pemerintah, Pariadi mengaku sampai saat ini janji manis dari Dinas Sosial Pemkab Buleleng tidak kunjung muncul.

Dikatakan, sejak awal pun wacana pihak Dinas Sosial sangat tidak meyakinkan. Pasalnya, pihak Dinas Sosial menyebut tentang tanah Bupati Buleleng, Putu Agus Suradnyana, yang dijanjikan tak pernah diketahui lokasinya.

“Kami tidak bisa pindah jauh dari danau karena mata pencaharian kami ada di danau Tamblingan. Sebelum tambak-tambak kami dibakar, kondisi ekonomi masih bisa bertahan walau itu pun sebetulnya kurang. Tapi memang sejak awal kata dinas sosial sudah tidak jelas saat dibilang mau dikasi tanah Bupati Buleleng,” ujar suami Luh Riami ini.

Ia pun belakangan beternak kambing untuk menambah penghasilan dan menghidupi keluarganya. Walau hasilnya pun baru bisa dinikmati setelah enam atau setahun memelihara.

Menurut Pariadi, untuk berpikir melanjutkan sekolah dua orang anakknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar pun ia masih berpikir keras. Pasalnya, saat ini masih bisa bersekolah terkait jarak tempuh dari lapak yang dibuatnya sekitar 300 meter serta masih bisa ditempuh berjalan kaki.

“Kami pun harus percaya siapa lagi. Setelah surat kesepakatan yang ditanda tangani oleh Camat Banjar tahun 1991 untuk ijin tinggal serta melestarikan danau Tamblingan ternyata di khianati, kini harus percaya sama pemerintahan mana lagi. Ratusan tahun generasi kami tinggal dan hidup dari danau. Tapi ternyata seperti ini jadinya sekarang,” kata Pariadi yang membawa bekas luka hati pasca setahun rumahnya dibakar.adi


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER