Pergerakan dan Efek Teror Santoso

  • 08 April 2016
  • 00:00 WITA
  • Nasional
  • Dibaca: 3902 Pengunjung

Opini, suaradewata.com- Kata “teror” sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat dunia, khususnya Indonesia. Beberapa kelompok yang berpikir mengakar (radikal) lalu menyalah artikan ajaran dan dampaknya cenderung menimbulkan teror kepada masyarakat lainnya. Seperti Kelompok Santoso yang sejak tahun 2010 hingga saat ini belum tertangkap oleh aparat gabungan pemerintah. Isu ini telah menjadi isu nasional atau bahkan internasional karena pendukung dan pengikut kelompok ini tidak hanya berasal dalam negeri, namun pihak luar negeri ada juga yang terindikasi mendukung pergerakan Santoso.

Santoso merealisasikan proyek perlawanan militer dalam upaya pembentukan negara Islam dengan merekrut peserta untuk dilatih secara militer. Pada 2010 Santoso dan kawan-kawan berhasil mengumpulkan senjata dan menemukan tempat pelatihan militer di Gunung Mauro, Tambarana, Poso Pesisir, serta di daerah Gunung Biru, Tamanjeka, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Sasaran penyerangan dari Santoso adalah aparat Kepolisian karena balas dendam, dan karena polisi memburu serta menembak mati teman-temannya.

Santoso atau Abu Wardah sejak menjadi Amir Mujahidin Indonesia Timur menantang polisi untuk perang terbuka. Santoso juga menyatakan bai’at kepada ISIS. Surat tersebut dilansir pada 14 Oktober 2012, dengan kutipan “Kami selaku Mujahidin gugus tugas Indonesia Timur menantang Densus 88 Anti-Teror untuk berperang secara terbuka dan jantan! Mari kita berperang secara laki-laki! Jangan kalian cuma berani menembak, menangkapi anggota kami yang tidak bersenjata! Kalau kalian benar-benar Kelompok laki-laki, maka hadapi kami! Jangan kalian menang tampang saja tampil di televisi!”. Pernyataan di atas tidak menggambarkan sama sekali dengan ajaran yang dipeluk oleh Santoso. Pengikut ajaran Islam tidak pernah menantang apalagi menimbulkan keributan, terlebih lagi membunuh orang yang tidak bersalah.

Seperti yang dilansir Badan Nasional Penanggulangan Teroris, BNPT, pada 24 Oktober 2012, anak buah Santoso yang berada di Poso, Sulawesi Tengah, membom pos polisi dan Poso Kota. Beberapa polisi terluka. Akhir Oktober 2012, polisi berhasil menewaskan salah satu anak buah kepercayaan Santoso, yaitu Zipo. Teroris asal Bima itu ditembak mati dalam penyergapan di Desa Kalora, Poso Pesisir. Awal November tahun yang sama polisi menangkap Ustadz Yasin, pentolan Jama’ah Ansharut Tauhid (JAT) Poso dan menembak mati seorang anak buah Santoso. Informasi di atas bukan fiksi, apalagi novel spionase ala Tom Clancy. Informasi ini dikutip secara cukup utuh dari buku berjudul Dinamika Baru Jejaring Teror di Indonesia, yang ditulis oleh Ansyaad Mbai, pensiunan perwira tinggi kepolisian yang pernah menjabat Kepala BNPT.

Perkembangan sampai saat ini, aparat keamanan dalam operasi Tinombala 2016 terus memburu kelompok teroris Santoso di wilayah Kecamatan Lore Tengah dan Kecamatan Lore Peore, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Aparat keamanan terus menerima berbagai laporan dari warga masyarakat mengenai kemunculan orang-orang mencurigakan yang diduga sebagai anggota kelompok Santoso. Dimungkinkan kelompok Santoso tersebut turun gunung untuk mencari bahan makanan. Diyakini mereka masih berada di hutan pegunungan di wilayah Lore Tengah dan Lore Peore pasca kontak senjata terakhir pada 15 Februari 2016 yang menewaskan dua anggota kelompok Santoso.

Dalam hal ini pemerintah sedang berusaha penuh dalam penangkapan kelompok Santoso, demi meredam kerisauan warga yang merasa tidak tenang akibat pergerakan kelompok bersenjata Santoso. Baru-baru ini satu helicopter TNI-AD jatuh di Dusun Petirbajo, Kelurahan Kasiguncu, Kecamatan Poso Pesisir, Kabupaten Poso, yang menewaskan 13 orang prajurit TNI. Heli tersebut digunakan dalam gelar operasi Tinombala 2016 pengejaran kelompok Santoso. Hal tersebut merupakan dalah satu pengorbanan dan jerih payah dari pemerintah untuk mengatasi masalah terorisme Santoso.

Peran dan dukungan warga sangat dibutuhkan untuk mereduksi adanya masalah terror-teror lainnya. Masyarakat Indonesia perlu membangun pikiran bahwa teror tersebut akan merugikan diri sendiri, keluarga, dan orang-orang yang tidak bersalah. Untungnya, masyarakat Indonesia kini dapat berfikir Idealis namun realistis. Secara idealis umat muslim di Indonesia telah dapat menimbang efek atau dampak yang akan diterimanya. Dalam doa kaum muslim di Indonesia saja telah disebutkan bahwa  “… fiddunya hasanah wa fil akhiroti hasanah …”. Penjabarannya, doa ini berisi permintaan kepada Allah tentang kebaikan di dunia dan mendapatkan kehidupan akhrat yang baik, bukan sebaliknya. Dengan adanya kalimat tersebut, manusia harus berusaha baik di dunia terlebih dahulu, bukannya memilih jalan pintas untuk menuju akhirat. Baik di dunia dalam artian menjadi orang sukses, baik kepada antar manusia dan lingkungan sekitar.

Arif Perdana, Penulis adalah mahasiswa Universitas Hassanudin Makassar


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER