Sertifikat Tanah Bisa Dibatalkan Jika Cacat Hukum

  • 18 Juni 2015
  • 00:00 WITA
  • Denpasar
  • Dibaca: 15768 Pengunjung

Denpasar, suaradewata.com - Belakangan ini, masalah pertanahan di Bali terus mencuat. Kondisi ini menjadi keresahan tersendiri. Sebab, beberapa persoalan pertanahan justru menimbulkan gejolak bahkan nyaris menimbulkan gesekan fisik antara pihak-pihak yang bertikai.


"Karena itu, kita mendorong Badan Pertanahan Nasonal (BPN), agar benar-benar mencermati berbagai permasalahan pertanahan yang terjadi. Ini jangan dianggap remeh," kata Sekretaris Komisi I DPRD Bali Dewa Nyoman Rai, di Denpasar, Kamis (18/6).

Ia menyontohkan beberapa kasus tanah, yang belakangan ramai diberitakan media lokal. Seperti kasus dugaan penerbitan sertifikat bodong di wilayah Sesetan, Denpasar, yang digugat pemilik sahnya dr. Nyoman Handris Prasetya.

Begitu juga dengan dugaan penyerobotan tanah yang kini dilawan para petani di Batuampar, Pejarakan, Gerokgak, Buleleng, selaku pemilih sah tanah. Bahkan dalam kasus ini, petani juga mengalami intimidasi, hingga meminta perlindungan kepada Presiden Joko Widodo.

Untuk kasus tanah milik dr. Nyoman Handris Prasetya, politisi PDIP asal Buleleng itu menyebut, jika benar ada sertifikat lain yang dimiliki atas nama pemilik lain, maka harus ditelusuri. Apabila dalam prosesnya sertifikat tersebut cacat hukum, maka dapat dibatalkan.

Pembatalan tersebut, imbuhnya, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteria Agraria Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan. "Dalam aturan ini jelas bagaimana tata cara dan prosedur pembatalan sertifikat jika cacat hukum," beber Dewa Rai.

Ia pun mendorong pemilik lahan (dr. Handris, red), untuk menempuh proses pembatalan sertifikat tanah apabila benar memiliki bukti kepemilikan yang sah atas tanah tersebut. Begitu juga dengan para petani di Batuampar, yang sedang mempersoalkan terbitnya HPL Nomor 1 Tahun 1991 oleh Pemkab Buleleng di atas tanah milik mereka.

Secara terpisah Ketua Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia (LCKI) Bali Njoman Gede Suweta, mengaku bahwa lembaganya telah melakukan investigasi atas terbitnya Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 7359 atas nama Putu Yudistira, di atas lahan milik dr. Handris di Kelurahan Sesetan, Denpasar.

"Dari hasil investigasi LCKI, ada indikasi kronologis terbitnya SHM Nomor 7359 yang bermasalah ini dimulai sejak 7 Maret 2000," jelas Suweta.

Ketika itu, kata dia, ada surat pernyataan penguasaan fisik sebidang tanah (sporadik) atas nama Anak Agung Made Gede Wijaya. Pada sporadik tersebut, Wijaya menyatakan secara sepihak menguasai sebidang tanah yang luasnya 715 m2.

Tanah tersebut terletak di Jalan Pulau Saelus Sesetan, yang berbatasan dengan got (utara), tanah I Ketut Suwitra (timur), I Ketut Herlyn Prasetya (selatan), H Sarjono (barat). "Dalam sporadik juga tercantum Pipil 27, Persil 4 Kelas I," paparnya.

Selanjutnya, ada juga surat pernyataan Putu Yudistira, tanggal 24 Agustus 2001 yang menyatakan bahwa benar yang bersangkutan membeli tanah dari Anak Agung Made Gede Wijaya, seluas 715 m2 sesuai Akta Jual Beli Nomor 691/ 2000 yang dibuat di Notaris/ PPAT IWS.

"Jadi kuat dugaan bahwa akta jual beli ini yang kemudian dijadikan dasar menerbitkan sertifikat oleh BPN. Padahal, faktanya di lapangan, Anak Agung Made Gede Wijaya sama sekali tidak pernah menguasai tanah seluas 715 m2 sebagaimana tercantum dalam sporadik," tandas Suweta. san


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER