Kasus Lukas Enembe Harus Diselesaikan Secara Pidana, Bukan Adat

  • 12 Oktober 2022
  • 17:50 WITA
  • Nasional
  • Dibaca: 1405 Pengunjung
Ilustrasi, Foto/Suber: Google

Opini, suaradewata.com - Gubernur Papua, Lukas Enembe saat ini menjadi sorotan masyarakat Indonesia khususnya Papua atas kasus korupsi dan gratifikasi terkait APBD di Provinsi Papua. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menetapkan Lukas Enembe sebagai tersangka korupsi, gratifikasi, pencucian dana pengelolaan PON Papua, hingga perjudian di luar negeri yang menghabiskan dana miliaran rupiah.

Masyarakat Papua marah dan kecewa atas kasus korupsi yang menjerat Lukas Enembe. Kemarahan tersebut karena korupsi yang dilakukannya saat masih banyak ditemukan masyarakat Papua yang hidup di bawah garis kemiskinan hingga pembangunan di Papua yang tidak berkembang dalam beberapa waktu terakhir.

KPK memanggil Lukas Enembe untuk diperiksa sebagai tersangka pada 12 September 2022 tetapi ia tidak hadir dengan alasan sakit gangguan ginjal, sesak napas, tekanan darah tinggi, hingga berbicara terbata-bata. Panggilan kedua kembali oleh KPK di Gedung Merah Putih KPK pada 25 September 2022, tetapi ia tetap memenuhi panggilan tersebut dengan alasan kesehatannya belum membaik.

Dua kali mangkir dari panggilan KPK, beberapa rekening bernilai miliaran rupiah milik Lukas Enembe telah diblokir oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan KPK juga mengajukan permintaan pencegahan berpergian ke luar negeri terhadap Lukas Enembe kepada Direktorat Jenderal Imigrasi.

Kondisi Kesehatan Lukas Enembe yang tidak memungkinkan untuk diperiksa membuat pihak keluarga dan kuasa hukumnya meminta agar Lukas Enembe tidak perlu ke Jakarta untuk diperiksa, karena kasusnya dinilai dapat diselesaikan secara Adat. Kuasa hukum Lukas Enembe, Aloysius Renwarin menyatakan hal itu disebabkan karena Lukas Enembe ditetapkan sebagai Kepala Suku Besar pada 8 Oktober 2022 lalu yang berarti semua urusan akan dialihkan kepada adat yang berlaku di Papua.

Namun, masyarakat yang sudah kecewa atas tindakan Lukas Enembe mendesak agar dirinya mundur dari jabatannya dan segera memenuhi panggilan KPK. Salah satu Tokoh Adat Papua, Cornelis Doyapo menegaskan Lukas Enembe bukanlah Kepala Suku Besar Papua. Ia juga mengatakan sebagai pemimpin seharusnya Lukas berada di depan dan berani berkorban untuk masyarakat bukannya bersembunyi di belakang rakyatnya. Pernyataan tersebut sangatlah berbanding terbalik dengan pernyataan kuasa hukum Lukas Enembe.

Tokoh Adat Papua lainnya, Nikolas mengaku khawatir pengakuan Lukas Enembe sebagai Kepala Suku Besar Papua dapat menimbulkan keresahan dan penolakan dari komunitas suku-suku yang ada di seluruh Tanah Papua karena sejatinya masyarakat Papua hanya menginginkan kedamaian.

Tidak hanya masyarakat, Tokoh Adat Papua juga mendukung secara penuh pihak KPK untuk segera melakukan pemeriksaan pada Lukas Enembe mengenai kasus korupsi dan gratifikasi yang menjeratnya. Nikolas juga menyatakan dengan tegas bahwa Lukas Enembe tidak boleh melibatkan adat, masyarakat, serta keluarga besar Papua untuk menjaga nama baiknya, karena cara-cara tersebut merupakan hukum adat yang seharusnya tidak digunakan dalam menyelesaikan kasus korupsi dan gratifikasi pejabat negara.

Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman mengatakan bahwa kasus korupsi tidak dapat diterapkan dengan menggunakan hukum adat, melainkan harus dengan hukum pidana. Hal tersebut dikarenakan kerugian yang dilakukan Lukas Enembe dialami oleh negara, bukan lembaga adat di Papua sehingga hukum pidana merupakan keputusan yang tepat dalam pengusutan perkara korupsi Lukas Enembe.

Masyarakat Papua meminta agar Lukas Enembe dapat bekerjasama dengan aparat penegak hukum dalam proses pemeriksaan dirinya. Jika memang tidak terbukti, Lukas Enembe harus bisa menunjukan bukti bahwa dirinya tidak bersalah di hadapan KPK.

Nabila


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER