NKRI Milik Kita Bersama

  • 30 September 2019
  • 00:00 WITA
  • Nasional
  • Dibaca: 1754 Pengunjung
google

Oleh : Aldia Putra

Opini, suaradewata.com - Negeri kita sedang berduka, Ibu Pertiwi tengah dilanda nestapa oleh berbagai permasalahan yang ada. Papua Membara untuk sekial lama, gempa bumi terjadi di sebagian wilayah nusantara. Kebakaran Hutan-pun urung teratasi, hingga aksi demonstrasi diberbagai wilayah juga  tak kunjung berhenti.

Kita bisa membayangkan berapa banyak anggaran yang dibutuhkan untuk memulihkan situasi dan kondisi agar kembali seperti tempo hari. Di luar bencana alam yang memang tak bisa dihindari, mata hati sebagian insan arif bijaksana negeri ini menatap nanar ke arah para broker dan mafia poltik yang tengah bermain api.

            Pengikut setia teori Niccolo Machiaveli nampaknya sedang menghalalkan segala cara untuk menggapai ambisi politik mereka, seraya merapal salah satu mantra sakti sang guru bahwa “politics have no relation to morals” .

            Hingar bingar demonstrasi dan unjuk rasa tampaknya sengaja dikoordinir dengan mengumpulkan berbagai elemen, mulai dari mahasiswa, buruh hingga suporter sepakbola. Mereka tumpah ruah bercampur menjadi satu, entah mereka semua benar – benar memahami apa yang sedang disuarakan, atau mereka hanya ingin ikut – ikutan saja.

            Demonstrasi merupakan salah satu cara untuk menyampaikan aspirasi yang diatur oleh konstitusi. Namun tindakan anarkis jamak kita dengar di berbagai pemberitaan. Padahal aksi damai tanpa melecehkan tentu akan menarik simpati serta apresiasi dari masyarakat

            Beberapa peserta demonstrasi tentu saja selain yang didorong oleh idealisme murni, ada yang sama sekali tidak mengetahui, apalagi memahami apa yang diprotesnya dengan demo itu. Sebagian lain ternyata hanya ikut – ikutan atau gaya – gayaan, dan sebagian justru tergiur dengan uang lelah yang akan diterimanya.

            Aksi unjuk rasa yang memprotes RUU KPK, RKUHP dan beberapa lainnya dijadikan peluru untuk mencapai tujuan politis, belum lagi ditambah dengan isu Papua dan Kebakaran hutan dan lahan. Kesemua permasalahan tersebut disatukan dalam “blended issues” untuk menciptakan instabilitas politik dan keamanan nasional guna menjatuhkan Presiden Joko Widodo.

            Sehingga agenda pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih , hasil pemilihan umum 2019 yang sah, dapat digagalkan sebagai “agent of social change”, tentu merupakan sesuatuyang wajar apabila mahasiswa bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah.

            Namun alangkah baiknya sikap kritis yang dijunjung tersebut ditunjang dengan pemahaman yang memadahi terhadap politik praktis yang sedang berlangsung, sehingga aksi – aksi mereka tidak dimangaatkan oleh para petualang politik yang sengaja memperkeruh keadaan.

            Jangan sampai hanya karena ajakan ataupun provokasi, kita turun ke jalan membawa spanduk tanpa mengetahui substansi yang tengah diperjuangkan, alih – alih menjadi sambungan lidah masyarakat, justru ketika kerusuhan terjadi justru akan menimbulkan kerugian bagi masyarakat.

            Terkait dengan kebakaran hutan, Pemerintah juga telah melakukan segala upaya untuk memadamkan kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau. Presiden Jokowi juga ikut terjun ke lapangan untuk meninjau proses hujan buatan dengan menabur garam.

            Mantan Walikota Surakarta tersebut juga menegaskan, segera supaya dilakukan pemerintah. Juga lewat water bombing yang dilakukan dengan 52 pesawat.

            Artinya pemerintah tentu berusaha untuk menangani permasalahan yang ada, segala upaya memang telah dilakukan, meski demikian kita tentu harus mewaspadai atas segala kemungkinan yang terjadi.

            Tentu saja mengurus negara ini merupakan beban dan tanggungjawab yang besar, hal ini tentu bukan hanya menjadi urusan presiden semata. Melainkan juga partai politik dan para pemangku kepentingan lainnya.

            Jokowi juga pernah mengatakan, bahwa keutuhan NKRI harus ditempatkan di tempat yang paling penting. Artinya meski kita memiliki banyak perbedaan, rasa persatuan haruslah tetap dijunjung.

            Jangan sampai karena emosi yang tidak terkontrol, lambang negara dihina hingga melecehkan pemerintahan yang sah secara konstitusional.

            Apabila sebuah kelompok ingin melakukan aksi damai, mestinya aksi tersebut tidak perlu diwarnai dengan berbagai macam kekerasan maupun tindakan anarkis. Meski demonstrasi telah diakui secara konstitusi, bukan berarti aksi demo diwarnai dengan pengrusakan apalagi penurunan foto Presiden.

            Jika Mahasiswa maupun kelompok tertentu ingin menyampaikan aspirasi, tentu harsu bersama sama menjaga Indonesia yang demokratis, aman dan damai. Semua peserta aksi juga harus menaati peraturan perundang – undangan. Serta sama – sama tetap menjaga kondusifitas.

* Penulis adalah pengamat sosial politik


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER