Banyak Kelemahan, Legislator Pesimis dengan Program JKN

  • 24 Desember 2016
  • 00:00 WITA
  • Denpasar
  • Dibaca: 3141 Pengunjung
suaradewata.com

Denpasar, suaradewata.com - Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan BPJS Kesehatan, hingga kini banyak dikeluhkan. Pasalnya, baik dari sisi kelembagaan, regulasi, maupun operatornya, program JKN belum jelas.

Program ini bahkan jauh dari sempurna apabila dibandingkan dengan program Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM). Karena itu Ketua Komisi IV DPRD Provinsi Bali Nyoman Parta, mengaku pesimis program JKN berjalan mulus. Apalagi, BPJS Kesehatan kadang hanya disebut sebagai kasir semata lantaran baik-buruknya pelayanan sebetulnya tergantung dari fasilitas kesehatan tingkat pertama dan lanjutan (FKTP dan FKTL).

Pesimisme ini dilontarkan Parta, di hadapan para Direktur Rumah Sakit se-Bali dalam Rapat Koordinasi JKN/KIS di Balai Pelatihan Kesehatan, Jl. Prof. Ida Bagus Mantra, Jumat (23/12). Rapat yang diinisiasi Dinas Kesehatan Provinsi Bali ini, menghadirkan BPJS Kesehatan Regional XI dan Anggota DPD RI.

"Baik regulator, operator, maupun user semuanya tidak jelas. Kalau JKBM jelas antara operator, regulator jadi satu. Ada 353 orang yang mengawal permanen di rumah sakit, di unit pelayanan terpadu di setiap puskesmas,” tutur Parta.

Ia kemudian memaparkan 15 kelemahan JKN yang diselenggarakan BPJS Kesehatan, yang membuatnya pesimis dengan program pemerintah pusat ini. Salah satunya, minimnya sosialisasi tentang hak dan kewajiban daripada peserta BPJS.

"Mereka yang sudah memiliki kartu merasa urusannya akan langsung selesai ketika sakit, lalu datang ke rumah sakit. Padahal, ada seabrek persoalan yang bisa jadi ditemui di rumah sakit. Belum lagi soal pemahaman petugas di FKTP (puskesmas, dokter pribadi) dan FKTL (RS) yang masih minim," beber politisi asal Gianyar ini.

Parta juga mengaku masih menjumpai adanya cost sharing, terutama untuk pelayanan lanjutan. Ada peserta BPJS yang mendapat surat rujukan ke pelayanan lanjutan, lalu masuk ke UGD. Di UGD, pasien itu justru disuruh membayar walaupun tidak ada dalam aturan. Pelayanan BPJS baru diberlakukan lagi setelah ditentukan opname.

"Ketika sudah di UGD, lagi ada ketentuan. Saya menemukan orang marah-marah di UGD, (dan berkata) apa ibu saya harus mati. Setelah saya telusuri, ternyata ada ketentuan panasnya harus 40 derajat baru boleh opname. Kan kondisi tubuh berbeda-beda, ada yang baru 37 koma sekian sudah sangat drop, ada juga yang memang sampai 40. Kalau begini bentuknya, mati semuanya,” berangnya.

Ia melihat, BPJS sering dijadikan sarana untuk menjaring pasien semata. Tapi setelah sampai di rumah sakit, pasien malah dikondisikan untuk naik kelas atau menjadi pasien umum.

"Makin tinggi dapat dana jaspel, makin bagus. Jadi mungkin termotivasi itu, atau karena ketidakmengertian pihak rumah sakit,” tandasnya.

Parta juga mempertanyakan soal pelayanan untuk pasien yang tidak memiliki identitas atau terlantar. Sebab, pasien seperti ini sudah pasti dilayani oleh JKBM. Demikian halnya dengan masalah anak yang baru lahir dari ibu yang tercatat sebagai Penerima Bantuan Iuran dalam Kartu Indonesia Sehat (KIS).

"Ada katanya ketentuan harus mendapatkan rekomendasi dulu dari Dinas Sosial. Kalau itu betul, mohon maaf, saya anggap itu mengada-ada. Sudah tahu ibunya KIS, anaknya yang lahir pasti KIS. Jadi tidak perlu lagi rekomendasi Dinas Sosial. Kalau lahirnya Sabtu sore, besok Minggu libur, Senin Kepala Dinas Kesehatan pergi ke Jakarta, ruwet sudah,” pungkas Parta. san/ari


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER