Wayang Wong Sakral dan Duplikat Desa Tejakula Warisan Budaya Dunia

  • 06 Agustus 2023
  • 18:35 WITA
  • Buleleng
  • Dibaca: 1715 Pengunjung
Penari Wayang Wong di Lovina Festival, Jumat, (21/7). 

Buleleng, suaradewata.com- Wayang Wong merupakan tarian sakral yang dimiliki Desa Adat Tejakula yang telah mendapat sertifikat sebagai warisan budaya dunia oleh Unesco dipentaskan saat Piodalan di desa setempat. Selain versi sakral Wayang Wong juga memiliki versi duplikat yang dikhususkan untuk pertunjukan kesenian sebagai tontonan para tamu maupun undangan gelaran kesenian. Demikian disampaikan Ketut Artha Swatara selaku Koordinator Penari Wayang Wong usai pentas di Lovina Festival, Jumat, (21/7). 

 

Lebih jauh disampaikan oleh Swatara, Wayang Wong Sakral yang berkedudukan di Pura Pemaksan dipentaskan 2 kali saat Pengebek Piodalan dan Pengelebar di Pura Khayangan Tiga, Pura Pemaksan dan Pura Dangka dan hanya boleh dipentaskan di Desa Adat Tejakula. 

 

Lebih lanjut ujar Swatara, Wayang Wong yang pentas hari ini merupakan Wayang Wong Duplikat dari Sekeha Guna Merti yang beranggotakan 40 orang sebanyak 25 penari dan 15 penabuh."Wayang Wong Duplikat sejak tahun 1990 an telah sering tampil baik di luar negeri dan dalam negeri maupun di hotel-hotel sebagai seni pertunjukan. Wayang Wong Duplikat hanya kostum dan tapel yang diduplikatkan. Diciptakan sejak tahun 1970 an oleh Penglingsir seniman Guru Sujana dan Bapak Tusan atas permintaan tamu-tamu sebagai seni tontonan,"jelasnya.

 

Dijelaskan bahwasanya Wayang Wong merupakan sebuah tarian yang menceritakan kisah pewayangan Ramayana 7 Kanda dengan penari memakai topeng baik sebagai pasukan Hanoman, Raja, maupun Dewi dan Parwa cerita Mahabrata tanpa menggunakan topeng. 

 

"Anggota penari yang disebut krama dan di luar krama namun berkeinginan maturan untuk menari dipersilahkan. Total 200 krama secara turun tumurun ngayah sebagai penari. Konon jika tidak meneruskan menjadi krama akan mengalami ketidak beruntungan," ungkapnya. 

 

Disinggung tentang sejarah Wayang Wong, terang Ketut Swatara sangat berhubungan terbentuknya sejarah desa dan kesenian desa. "Dahulu sejumlah kelompok dari Bangli dan Blahbatuh Gianyar membawa kesenian Gambuh dengan Parwa ke Desa Tejakula dan menjadi alkulturasi budaya tercipta kesenian Wayang Wong," tuturnya. 

 

Untuk regenerasi penari Wayang Wong, pihaknya bekerjasama dengan Camat Tejakula mengajar anak-anak hanya dengan membawa sampah plastik sudah bisa belajar tarian Wayang Wong."Saat ini sebanyak 40 anak sangat antusias belajar menari sambil membuat kerajinan Ecobrik dari sampah plastik . Pengajarnya saya sendiri, anaknya Jro Dalang dan dari Krama," imbuhnya. 

 

Dipenghujung dirinya berharap Wayang Wong khas Tejakula tetap eksis seperti dulu dikenal oleh banyak orang, diberikan wadah berkreasi. Pihaknya akan terus belajar dari para maestro dan menurunkan ke anak cucunya, sehingga Wayang Wong ini tetap ajeg dan lestari.sad/adn


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER