KAMI Barisan Sakit Hati Pilpres 2019

  • 31 Agustus 2020
  • 09:35 WITA
  • Nasional
  • Dibaca: 1948 Pengunjung
google

Opini,suaradewata.com - Para tokoh nasional seperti Din Syamsudin membentuk Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia karena merasa negeri ini perlu diselamatkan. Dalam deklarasinya, KAMI membacakan 8 tuntutan. Masyarakat malah menertawakannya, karena ujaran kebencian yang disiarkan dalam deklarasi, menunjukkan sakit hati saat calonnya kalah dalam Pilpres 2019.

Koalisi aksi menyelamatkan Indonesia adalah kumpulan dari para tokoh sepuh yang memiliki nama di Indonesia. Ada Din Syamsudin, Said Didu, Gatot Nurmantyo, Rocky Gerung, dan lain-lain. Mereka bersatu dengan alasan ingin mengkritik pemerintah yang dianggap selalu menyengsarakan rakyat. Deklarasi KAMI diadakan di Tugu Pancasila agustus lalu dan dihadiri banyak orang.

Alih-alih mendapat perhatian publik, keberadaan KAMI malah dinilai hanya cari muka. Karena hanya bisa berkoar-koar menjelaskan kesalahan pemerintah. Padahal mereka bilang bahwa tujuannya adalah menyelamatkan Indonesia yang dianggap sebagai kapal karam. Namun malah melenceng jauh dan menganggap pemerintahan yang sekarang kurang bijaksana, dan sebagainya.

Dalam pembacaan 8 tuntutan juga dilakukan hingga 2 kali. Menurut Rocky Gerung, hal ini agar benar-benar didengarkan oleh pemerintah. Isi tuntutan itu juga tidak jauh dari ujaran kebencian yang tak berdasar fakta. Dari sini kita bisa melihat kemarahan mereka karena merasa tidak dianggap. Bagaimana bisa menyelamatkan Indonesia jika kerjanya hanya marah?

Saat deklarasi sudah terlihat mereka hanya mengekspresikan rasa kecewa terhadap pemerintah. Mengapa harus pemerintah yang diserang? Karena calon presiden yang didukung saat Pilpres 2019 lalu gagal total. Mereka jadi menjelekkan pemerintah yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo dan menuntut berbagai hal dengan alasan Indonesia butuh diselamatkan.

Sudah jelas kalau KAMI adalah barisan sakit hati, karena prediksinya gagal total. Jika calon idola mereka menang, maka akan berharap kecipratan jabatan. Setidaknya salah satu dari mereka bisa jadi menteri, gubernur, atau pejabat lain. Namun ketika calonnya kalah, harapan hanya jadi angan-angan kosong. Mereka gigit jari dan akhirnya berbalik memusuhi pemerintah.

Politisi Abdul Kadir Karding menyatakan bahwa deklarasi KAMI bisa diartikan sebagai kumpulan orang yang kalah dalam pemilihan presiden. Jika dilihat dari nama-nama anggota KAMI, maka mereka dulu memang pendukung calon yang kalah. Jadi gerakan KAMI adalah lanjutan atas kekecewaan mereka karena jagonya gagal total.

Padalah jika dilihat dari segi umur dan pengalaman, para anggota KAMI sudah dalam kategori senior. Namun tak bisa menempatkan diri dan menerima kekalahan dengan legowo. Saat idolanya kalah, bukannya mengucapkan selamat kepada rival, malah bersatu untuk menjelekkan. Bagaimana bangsa ini bisa maju jika para tokoh tak dapat mencontohkan sikap ksatria?

Jika mereka berniat ingin menyelamatkan Indonesia, maka tak usah saling menyalahkan. Karena kita hanya butuh solusi, bukan pelemparan hate speech dan omong kosong. Apakah mereka tidak ingat pepatah ‘tong kosong nyaring bunyinya’? Seribu omongan saat deklarasi bisa disorot media tapi nihil simpati, karena hanya bisa jual kata-kata dan tuduhan tak berdasar.

Aksi menyelamatkan Indonesia tak hanya dilakukan dengan deklarasi. Namun dengan kerja dan kerja, seperti yang dicontohkan oleh Presiden Jokowi. Mereka bisa berdeklarasi lalu mendirikan perusahaan join venture, dan bisa menyerap banyak tenaga kerja serta otomatis mengurangi pengangguran. Langkah seperti ini yang dibutuhkan oleh rakyat, bukan hanya pidato.

Gerakan KAMI dinilai hanya mencari muka dan perkumpulan dari orang yang sakit hati karena jagoannya kalah dalam pemilihan presiden 2019. Mereka jadi membenci pemerintah dan sibuk menyalahkan, dan tuduhan itu tidak berdasarkan kenyataan. Masyarakat sudah hafal modus mereka dan mengabaikan KAMI, karena hanya ingin cari panggung.

Saby Kosay, Penulis adalah mahasiswa Papua tinggal di Yogyakarta


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER