KAMI tidak Mendapat Simpati Masyarakat

  • 20 Agustus 2020
  • 16:20 WITA
  • Nasional
  • Dibaca: 1620 Pengunjung
google

Oleh : Deka Prawira )*

Opini, suaradewata.com - Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) merupakan sekelompok elit yang belum bisa move on dari Pemilu 2019 lalu. Kelompok ini terkesan terlalu elit karena hanya memunculkan tokoh-tokoh besar dan membawa banyak kepentingan politik praktis.

Pengamat politik Karyono Wibowo menilai, gerakan KAMI masih sangat elitis, belum mengakar dan belum membumi. Gerakan ini akan mendapatkan dukungan masyarakat jika gerakan ini murni untuk memperkuat bangsa dan negara, selaras dengan aspirasi rakyat, namun sebaliknya jika gerakan ini hanya sebatas gerakan moral tapi keluar dari nilai moral justru gerakan ini hanya gerakan elite tanpa simpati dari masyarakat.

            Hal serupa juga dikatakan oleh Indria Samego selaku pengamat politik dari LIPI. Ia menilai, KAMI bisa mendapat ruang di hati rakyat jika berhasil menawarkan solusi atas masalah yang dihadapi publik saat ini.

            Lalu apa benar gerakan KAMI merupakan gerakan moral seperti yang digaungkan oleh para deklarator dan inisiator dari koalisi tersebut?

            Erik Pituah Hapedrik selaku pegiat politik dari Komite Muda Nusantara (KMN) mengatakan, mudah sekali membaca jenis kelamin politik dari gerakan yang berisi tokoh nasional, tokoh akademisi dan tokoh agama tersebut.

            Erik menilai, wacana yang dibangun oleh KAMI bukan tiba-tiba muncul, tapi sudah dikonsolidasikan dan dikondisikan untuk menggiring perspektif publik untuk kepentingan tertentu. Oleh karena itu, baginya tidak mungkin gerakan tersebut netral dan begitu saja muncul.

            Menurutnya, cara membaca jenis kelamin dan arah politik KAMI adalah dengan melihat dari subyek kelompok tersebut. Ia mengatakan bahwa para deklarator KAMI merupakan kelompok yang menjadi korban kontestasi politik Pilpres 2019 karena tidak berhasil merebut kekuasaan.

            Kelompok ini tampak mengedepankan narasi pesimistik dengan mengibaratkan Indonesia seperti Kapal Karam, mereka menggunakan narasi ini untuk menembak kursi kekuasaan.

            Melihat unsur tersebut, Erik menyampaikan bahwa arah perjuangan dari KAMI sudah jelas yakni memberikan stigma negatif kepada pemerintah dengan melakukan agitasi propaganda, sehingga sebagian masyarakat merasa empati dan berpihak kepada mereka.

            Pada kesempatan berbeda, Ketua umum DPP GMNI Arjuna Putra Aldino menilai anggapan Indonesia telah gagal merupakan penilaian yang terlalu terburu-buru. Pasalnya saat ini menurut Arjuna, Semua pihak memang sedang berupaya agar Indonesia dapat segera keluar dari masa pandemi yang tidak diinginkan oleh semua orang.

            Direktur Eksekutif Political Institute, Risat Sanger menyatakan bahwa pemerintah perlu mendapat dukungan yang kuat dari semua elemen masyarakat dalam mengatasi covid-19. Namun sayangnya terdapat beberapa kelompok tertentu yang justru membuat upaya pemerintah seolah-olah dijegal. Padahal seluruh pemerintahan di berbagai negara sedang bekerja keras menekan dampak buruk pandemi covid-19 tersebut.

            Ari Junaedi selaku pengamatkomunikasi politik justru mempertanyakan apa yang dilakukan oleh Rocky Gerung Cs. Iamempertanyakan apa urgensi mendesak atas dilaksanakannya deklarasi KAMI dengan kondisi bangsa yang tengah melawan pandemi covid-19. Dirinya menilai justru lebih baik jika energi para deklarator KAMI digunakan untuk aksi nyata kemanusiaan.

            Staf Dosen di Universitas Indonesia (UI) ini merasa khawatir, keberadaan KAMI hanya akan berujung pada pemenuhan aspirasi kelompok orang yang kecewa terhadap pemerintahan Joko Widodo.

            Tentu saja pemerintah memerlukan kritik sebagai masukan untuk mengambil kebijakan strategis. Namun deklarasi yang dilakukan oleh KAMI ditengah krisis ini hanyalah sesuatu yang mubazir di ranah politik, apalagi tidak ada kekuatan parpol dalam deklarasi terebut.

            Kita juga bisa berasumsi bahwa pamor mereka yang tergabung dalam KAMI memang meredup setelah Pemilu 2019. Apalagi pihak yang diusung telah bergabung dalam koalisi yang sebelumnya menjadi lawan politiknya. Mereka tentu memiliki peluang kecil bagi mereka yang tak memiliki kompetensi dan kapabilitas yang cukup ketika mengincar satu posisi menggiurkan.

            Pembentukan KAMI menjadi salah satu bukti bahwa barisan sakit hati memang benar adanya. Wujud fisi mereka juga cukup mentereng karena merupakan representasi kaum intelektual dan bahkan merupakan para petinggi di berbagai ormas dan lembaga tinggi, namun peran mereka masih dipertanyakan.

            Kiranya sudah lebih dari cukup kita melihat barisan sakit hati tersebut koar-koar dengan narasi pesimistis dan berpotensi mengganggu kondusifitas sosial politik.

 

)* Penulis aktif dalam Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER