Perkawinan Padagelahang Disoroti Akademisi

  • 05 Agustus 2016
  • 00:00 WITA
  • Denpasar
  • Dibaca: 4674 Pengunjung
suaradewata.om

Denpasar, suaradewata.com – Sejak munculnya Perkawinan Padagelahang memang menuai kontroversi.Disatu sisi Perkawinan yang menitikberatkan pada kesepakatan antar keluargaini mampu menjadi alternative, namun disisi lain meninggalkan berbagai persoalan serius. Mulai dari perebutan keturunan, melaksanakan kewajiban, hingga perdebatan sengit dalam pembagian warisan. Sistem perkawinan yang dipopularkan Pakar Hukum dan Adat Bali Prof Wayan P. Windya itu menjadi perbincangan hangat dalam Diskusi Kamisan yang digagas Akademisi IHDN Denpasar dengan mengusung tema "Menyoal Dampak Hukum Adat Perkawinan Padegelahang di Bali" yang berlangsung di kantor PHDI Bali Jl Ratna no 71, Denpasar, Jumat ( 05/08/2016).

Perkawinan padagelahang sendiri merupakan sebuah model perkawinan dengan konsep saling memiliki yang dilatarbelakangi dengan masing-masing pasangan pengantin dalam keluarga sebagai anak tunggal. Atau bisa juga sebagai anak yang dipercaya untuk meneruskan kewajiban dan warisan. Sistem perkawinan ini dibeberapa daerah di Bali memiliki berbagai nama diantaranya negen dua, mapanak bareng, hingga nadua umah.

"Yang berat juga bagi mereka yang berbeda wangsa. Ini sangat dilema sekali. Atau tidak menutupkemungkinan bagi mereka yang menikah dengan etnis lain atau agama lain. Bahkan dengan WNA meskipun mustahil (menggunkan perkawinan Padegelahang, red),"kata Antroplog IHDN Dr I Nyoman Yoga Segara.

Meskipun perkawinan Padegelahang kian popular di masyarakat namun tak sepenuhnya diterima baik oleh krama Bali. Mengingat berbagai faktor internal yang masih mengganjal. Seperti garis keturunan (purusa), kepercayaan reinkarnasi hingga pembagian warisan. Sehingga implikasi-implikasi bidang budaya, agama dan sosial masih membelit.

Disamping itu, sejauh ini awig-awig di desa pakraman belum mengakomodir perkawinan Padagelahang. Sehingga porsi tawar sistem perkawinan ini belum diakui secara legal oleh desa adat. "Yang masih bisa diterima adalah memandik, nyentana dan ngerorod,"kata Gede Sutarya, Dosen Fakultas Brahma Widya IHDN Denpasar menambahkan.

Pengalaman sulitnya menerim konsep kawin pagelahang diakui I Gusti Nara Kusuma. Warga Gianyar yang juga peserta diskusi, kemarin itu dalam waktu dekat, ia akan melangsungkan pernikahan putra tunggalnya dengan calon pengantin asal Badung. Namun, sayang perkawinan yang dilangsungkan tidak mulus. Sebab, sang calon mantu merupakan pewaris tunggal dalam keluarga besarnya. Sehingga, pihak perempuan menawarkan perkawinan padagelagang sebagai solusi. Namun, Nara Kusuma beserta keluarga belum sepenuhnya bisa menerima mengingat berbagai pertimbangan.

"Bukan bermaksud membangkitkan feodalisme. Memang wangsa kami berbeda. Disamping itu pertimbangan status keturunan nantinya. Karena kami percaya reinkarnasi. Sehingga saya masih bingung sebagai orang tua. Memang anak saya dan pacarnya saling cinta sejak lama,"tuturnya. Ia berharap forum diskusi tersebut bisa mencarikan solusi terbaik. Sehingga kedua belah keluarga bisa menerima.

Alit dari pihak PHDI Bali memaparkan tujuan dari perkawinan dalam agama Hindu untuk melanjutkan keturunan, dan melaksanakan yadnya. Dalam prosesnya, apa pun bentuknya, perkawinan tidaklah diatur baku dalam Hindu. Melainkan fleksibel asalkan ada kesepkatan antar duabela pihak keluarga. Bahkan, dalam Hindu ia menegaskaN perkawinan sah dilakukan dengan siapa saja atas dasar cinta. Tidak memandang jabatan, status sosial atau kasta. "Karena reinkarnasi itu ditentukan oleh karma wasana masing-masing. Embel-embel wangsa, titel dan seterusnya tidak berarti,"tambahnya. Terkait sistem perkawinan, dalam diskusi menekankan pentingnya kesepakatan bersama. Jika padagelahang dIpilih, tentu perlu diatur batasan-batasan hak dan kewajiban secara tertulis.

Para akademisi pun mendesak agar PHDI memikirkan lembaga khusus dalam menangani pra nikah dalam menyikapi berbagai kasus pernikahan dalam umat Hindu semacam lembaga konseling.Ags/gin


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER