Isu Ancaman Separatisme Politis Kedaerahan 2015

  • 25 Januari 2015
  • 00:00 WITA
  • Nasional
  • Dibaca: 9492 Pengunjung

Opini, suaradewata.com-  Muncul polemic isu ancaman separatis mejelang Pilkada 2015. Pernyataan Bupati Kutai Timur, Kalimantan Timur, Isran Noor, yang mengancam akan memisahkan diri dari NKRI jika pengajuan Otonomi Khusus (Otsus) untuk Kalimantan Timur ditolak pemerintahan Presiden Jokowi?  Selain itu, ancaman separatism oleh seorang kepala daerah merupakan isu politis yang akan membangkitkan tuntutan disintegrasi berbagai pemerintah daerah lainnya. Pertanyaannya, bagaimanakah sikap Presiden Jokowi dan Mendagri selanjutnya?

Separatisme politis,  menurut Wikipedia.com, adalah suatu gerakan untuk mendapatkan kedaulatan dan memisahkan suatu wilayah atau kelompok manusia (biasanya kelompok dengan kesadaran nasional yang tajam) dari satu sama lain (atau suatu negara lain). Istilah separatism ini biasanya diperhalus dengan istilah  “determinasi diri”.

Separatisme, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah suatu paham yang mengambil keuntungan dari pemecah-belahan dalam suatu golongan (bangsa). Sementara, Separatisme politis, adalah suatu gerakan (pemikiran atau tindakan) untuk mendapatkan kedaulatan sendiri, dan memisahkan suatu wilayah atau kelompok manusia (biasanya kelompok dengan kesadaran nasional yang tajam) dari satu sama lain (atau suatu negara lain). Gerakan separatis biasanya berbasis nasionalisme atau kekuatan religius.

Sementara, menurut Dewi Fortuna Anwar dalam bukunya “Konflik Kekerasaan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi-Politik dan Kebijakan di Asia Pasifik”, bahwa separatism berkaitan erat dengan pembentukan negara. Sejumlah gerakan separatis memiliki sejarah panjang rasa benci kepada pemerintah pusat dan kelompok suku atau agama yang dominan.

Semboyan bangsa Indonesia “Bhinneka Tunggal Ika” ditujukan sebagai jawaban atas perbedaan, muncul dikarenakan beragamnya budaya bangsa ini. Ratusan suku bangsa dengan bahasanya masing-masing, dengan kekayaan alam melimpah di setiap pelosok negeri, serta ribuan pulau melengkapi kekayaan negara ini. Memiliki dua sisi mata pedang, keberagaman yang dimiliki dapat menjadi kekayaan tersendiri, atau menjadi sumber perpecahan.

Bicara isu separatism politis. Ancaman dalam bentuk apapun oleh siapapun, atau kelompok manapun memisahkan diri dari NKRI itu jelas separatis. Siapapun di republic ini tidak dibenarkan mengeluarkan kata-kata itu, apalagi seorang bupati dan tokoh parpol serta organisasi kepala daerah sekelas Isran. Separatisme, baik tindakan atau perkataan harus dilibas tanpa pandang bulu dan apapun alasannya. Karena di era ini,  hampir tidak ada varian kebijakan pusat yang tidak bisa dikomunikasikan, apalagi isu  “Otonomi Daerah” (Otda) telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda).

Kalau tidak sesuai kan tinggal komunikasikan, apabila tidak juga sesuai ya tempuh upaya-upaya legal yang terhormat. Bukan mengumbar pisah dari NKRI. Itu jelas tidak mendidik rakyat. Otonomi daerah telah member ruang yang cukup luas bagi pemerintah daerah untuk mengatur daerahnya sendiri secara otonom. Walaupun dalam praktiknya, daerah masih tergantung pada pusat, terutama soal dana. Pengajuan apapun, harusnya tetap dalam kerangka yang satu, yaitu keutuhan bangsa. Pernyataan Bupati Kutai tersebut dapat berkembang menjadi sangat berbahaya, karena secara terbuka mengancam pemerintah pusat dengan mengatasnamakan rakyat Kaltim.

Sebagaimana dikutip pemberitaan media pada 5 Januari 2015, Bupati Kutai, Isran Noor mendukung langkah masyarakat dan beberapa kepala daerah di Kalimantan Timur yang meminta otonomi khusus (Otsus) ke pemerintah pusat. Isran mengatakan, “harus ada keberanian untuk menolak syarat-syarat yang mungkin diajukan oleh pemerintah pusat terkait permintaan otsus ini”. Saat ditanya wartawan setempat, bagaimana jika tuntutan tersebut tidak disetujui? Bupati Kutai mengatakan, “jika tuntutan kepala daerah dan masyarakat Kaltim tidak digubris oleh pemerintah pusat, Isran menegaskan lebih baik Kaltim memisahkan diri atau bercerai dengan pemerintah Indonesia. Kalau nggak disetujui, ya mohon maaf saja Pak Presiden, kami bercerai saja. Lebih baik kami ngurus diri kami sendiri saja. Sudah, kasihan nanti pusat terlalu repot ngurusi Kalimantan”.

Jika menilik struktur sosial di Indonesia yang sangat majemuk, secara horizontal berupa adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku bangsa, agama dan adat istiadat serta secara vertical ditandai dengan perbedaan lapisan kelas atas dan bawah yang disebabkan oleh uang dan kekuasaan. Keragaman yang ada di Indonesia jelas sangat kompleks dan tidak dapat dibandingkan dengan negara lain. Oleh karena itu, sangat sulit untuk dapat menemukan berntuk integrasi sosial yang dapat menghindarkan Indonesia dari bahaya perpecahan. Hal itu diperparah dengan pembangunan yang tidak merata antara pemerintah pusat dan daerah. Misalnya, belum meratanya implementasi pembangunan daerah di wilayah Kalimantan,  sementara pulau Borneo mempunyai kekayaan sumber daya alam yang luar biasa.

Faktor kelemahan peraturan perundang-undangan yang tidak mengayomi juga menjadi sorotan dalam diskusi ini. Undang-undang no 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disorot oleh salah satu peserta diskusi sebagai peraturan yang “cacat”. Undang-undang tersebut dianggap memberikan kekuasaan terlalu besar terhadap bupati dan mengeliminasi beberapa kewenangan gubernur sehingga control terhadap daerah amat lemah. Korupsi dan inefisiensi pemanfaatan anggaran oleh daerah tidak lepas dari sasaran bahasan. Menyalahkan pemerintah pusat sepenuhnya tentu tidak bijak. Penyerapan anggaran yang kurang sempurna oleh daerah juga harus diperbaiki untuk mengembalikan kepercayaan rakyat daerah.

Tidak hanya menguraikan masalah-masalah dan factor penyebabnya, pemikiran separatism politis yang mengancam keutuhan NKRI perlu dicari solusi langkah mediasi hukum, dan bentuk antisipasinya. Dari sisi sosial, jalan keluar mengatasi kekecewaan rakyat daerah, terutama mengenai pembagian pendapatan daerah, adalah dengan transparansi. Selama ini, rakyat daerah tidak pernah mendapatkan informasi tentang transparansi pengelolaan hasil sumber daya alamnya. Bagi penyebab separatisme yang berakar dari gejala sosial, tidak ada solusi lain, kecuali propaganda rasa nasionalisme, pemerataan pembangunan,  kesejahteraan rakyat, dan penguatan ideology Pancasila sebagai pemersatu bangsa

Ancaman separatism Bupati Kutai yang menjadi polemic publik di berbagai media dan sosial media saat ini, setidaknya menjadi warning alarm bagi konsepsi “Revolusi Mental” pemerintahan Presiden Jokowi pada 2015. Terlebih,  sebentar lagi Indonesia akan menyelenggarakan pesta demokrasi, Pilkada 2015. Akan pecahkah Indonesia?

UntungSuropati, Penulis adalah Pemerhati masalah Sosial


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER