Ada ApaTravel Warning AS Dan Australia?

  • 25 Januari 2015
  • 00:00 WITA
  • Nasional
  • Dibaca: 5827 Pengunjung

Opini, suaradewata.com – Paska beredarnya video ancaman kelompok ISIS kepada pemerintah Indonesia dan tragedy jatuhnya Pesawat Air Asia QZ 8501, Kedubes Amerika Serikat tiba-tiba mengeluarkan “travel warning” (peringatan perjalanan) bagi warga negaranya yang ingin berpergian ke Indonesia, khususnya ke Surabaya, JawaTimur. Ada konspirasi apakah dibalik munculnya kebijakan travel warning yang dikeluarkan AS itu?

Situs resmi Kedubes AS pada 03 Januari 2015, mengeluarkan “travel warning” (peringatan perjalanan) bagi warga negara AS yang ingin melakukan perjalanan ke Indonesia, khususnya ke Kota Surabaya, JawaTimur. Menanggapi isu tersebut, aparat keamanan kemudian mengamankan semua fasilitas objek vital gedung perhotelan, dan investasi property pusat perbelanjaan milik pengusaha AS di JawaTimur, seperti Hotel JW Marriott, Sheraton, Shangri-La, McDonalds, Kentucky Fried Chicken, pusat perbelanjaan dan tempat hiburan lainnya.

Pertanyaannya, apakah isu travel warning Kedubes AS itu dikaitkan dengan beredarnya video ancaman kelompok ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) kepada pemerintah Indonesia, dan tragedy jatuhnya Pesawat Air Asia QZ 8501, apa korelasinya?

Kemudian, pada 06 Januari 2015, situs resmi Kementerian Luar Negeri dan Perdagagan Australia juga tak mau ketinggalan dengan sekutunya (AS) untuk ikut-ikutan mengeluarkan “travel warning” bagi warganegaranya yang ingin melakukan perjalanan di Indonesia. Australia mengaitkan isu travel warningnya dengan situasi keamanan Indonesia dikaitkan dengan isu ancaman terorisme dari kelompok ISIS yang berada di wilayah Indonesia. Selain itu, juga dikaitkan dengan isu tragedy Bom Bali pada 2002, serta ancaman terorisme kelompok ISIS di berbagai kota besar di wilayah Indonesia.

Pertanyaannya, bagaimanakah kriteria status “travel warning” yang dikeluarkan Kedubes AS dan Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Australia itu? Apakah hubungan politik dan ekonomi antara Indonesia dengan AS dinilai Washington DC mulai bermasalah? Apakah ada hubungannya dengan kasus mundurnya seorang pejabat CIA dalam pemerintahan Obama dengan munculnya isu “travel warning” saat ini?

Dalam konteks hubungan geo-politik dan geo-ekonomi strategis antara Indonesia dengan AS dan Australia, maka kebijakan “travel warning” yang dikeluarkan kedua negara itu akan membawa dampak tersendiri, baik bagi Indonesia, AS maupun Australia. Kebijakan “travel warning” yang dikeluarkan AS dan Australia kepada Indonesia itu, jelas akan memunculkan isu “Islamophobia” baru di Indonesia, dan memprovokasi kebangkitan kelompok-kelompok radikal pendukung gerakan kelompok ISIS di wilayah Asia Pasifik. Dan, semua symbol investasi bisnis yang berafiliasi dengan kepentingan AS dan Australia di Indonesia, atau kawasan Asia Pasifik berpotensi akan dijadikan sasaran kelompok ISIS pada 2015.

Pertanyaannya, apakah ada scenario intelijen AS ingin menciptakan isu paranoid “Islamophobia” di wilayah Indonesia, bahwa saat ini keberadaan kelompok ISIS di Surabaya telah dinilai mengancam kepentingan bisnis ekonomi AS di JawaTimur? Atas dasar analisis intelijen CIA, atau kah analisis Konjen Kedubes AS di JawaTimur semata? Atau, apakah AS ingin melakukan operasi intelijennya di Indonesia?  Dan, apakah isu travel warning AS ada hubungannya dengan merapatnya Kapal Perang USS Samson AS di perairan Karimata sehubungan isu pencarian jatuhnya Pesawat Air Asia QZ 8501? Apakah kebijakan travel warning AS itu suatu bentuk politik diplomasi koersif, terutama jika dikaitkan kesiapan ekonomi Indonesia hadapi era Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015? Semua itu hanya sekedar asumsi publik.

Dalam buku berjudul “Dynamics of Coercion: American Foreign Policy and the Limits of Military Might”, Daniel Bymandan Matthew Waxman merumuskan definisi “diplomasi koersif”, pada dasarnya adalah sebuah strategi diplomasi, salah satu yang bergantung pada ancaman kekerasan dari pada penggunaan kekuatan militer. Jika kekuatan militer harus digunakan untuk memperkuat upaya diplomatic pada persuasi itu dalam bentuk aksi militer yang sangat terbatas, untuk menunjukkan resolusi dan kemauan untuk meningkatkan status keamanan ketingkat tinggi melalui aksi militer yang diperlukan.

Pertanyaannya, apakah AS dan Australia mengeluarkan kebijakan travel warning bagi warga negaranya yang ingin melakukan perjalanan ke Indonesia, adalah untuk melemahkan integritas Indonesia di mata public internasional, bahwa Indonesia belum berhasil memberantas kelompok ISIS di JawaTimur? Atau, adakah deal kepentingan intelijen ekonomi tersembunyi AS lainnya dibalik di munculkannya isu travel warning itu, justru ketika pemerintah Indonesia mampu menjaga stabilitas keamanan nasional pada peringatan Hari Natal danTahun Baru 2015?

Apapun alasannya, munculnya kebijakan travel warning yang dikeluarkan AS dan Australia jelas akan berdampak negative bagi kepentingan nasional Indonesia pada awal 2015. Kebijakan itu juga berpotensi mengganggu stabilitas hubungan diplomatic antara Indonesia dengan AS dan Australia, baik secara geostrategic politik dan ekonomi pada 2015. Selain Indonesia, isu travel warning AS dan Australia itu juga akan berdampak pada negara-negara di wilayah Asia Pasifik, jika dikaitkan dengan isu ancaman terorisme kelompok radikal pendukung ISIS di wilayah Asia Pasifik.

Selain mengancam perkembangan stabilitas ekonomi nasional, isu travel warning juga akan berdampak pada upaya security building terkait isu penanganan ancaman ISIS di dalam negeri, serta hubungan diplomasi Indonesia keluar negeri. Meskipun, Australia telah menurunkan status dari travel warning menjadi travel advisory pada 6 Januari 2014, namun ketegasan sikap pemerintahan Presiden Jokowi dalam menanggapi isu travel warning AS sangat diperlukan, terutama TNI, Polri dan Intelijen Negara. Jika, dikaitkan dengan komitmen pemerintah dalam penanganan isu ancaman global terorisme, khususnya ancaman dari kelompok ISIS kepada Panglima TNI, Densus 88 Polri, dan Banser NU di situs media sosial you tube beberapa waktu lalu. Terlebih, ISIS adalah “enemy of all”. Namun, jangan lupa motto CIA itu, “Enemy of my Enemy is my Friend?”.

Surya Kencana, Penulis adalah Pemerhati masalah Internasional

 


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER