Sidang Kasus Adat Pengastulan “Panas”, PH Ngotot Terdakwa Dihadirkan

  • 08 Desember 2022
  • 22:05 WITA
  • Buleleng
  • Dibaca: 1513 Pengunjung
I Gusti Putu Adi Kusuma Jaya, penasehat hukum terdakwa kasus adat Pengastulan, Buleleng. sd/ksm

Buleleng, suaradewata.com - Sidang terdakwa Nyoman Sukarsa dalam perkara 160/Pid.B/2022/PN Sgr, yang digelar di Pengadilan Negeri Singaraja sempat berlangsung panas, Kamis (8/12). Terjadi perdebatan antara Penasehat Hukum (PH) Terdakwa dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) disebabkan JPU tidak menghadirkan Terdakwa ke hadapan sidang.
“Kami tidak mau beropini atau mencoba mentafsirkan bunyi dari ketentuan dalam ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Jika dulunya covid-19 menjadi alasan, lalu setelah diumumkannya New Normal dan diwajibkannya vaksin sampai tingkat booster, apakah lagi yang menjadi penghalang untuk menegakan hukum undang-undang,” ujar Gus Adi, penasehat hukum terdakwa.
Pengacara asal Buleleng bernama, I Gusti Putu Adi Kusuma Jaya ini mengatakan ada hirarkhi perundang-undangan di Indonesia yang tentunya tidak dapat terus-menerus diabaikan dengan alasan-alasan yang sumir. Hak terdakwa dan penasehat hukum yang diatur dalam pasal pasal 64, pasal 152 Ayat (2), pasal 154 ayat (1), pasal 160 ayat (1) huruf a, pasal 196 KUHAP dan lainnya sangat jelas menyebutkan terdakwa disidangkan di pengadilan serta dipanggil masuk ke ruang sidang, bukan di dalam tahanan atau sel. 
“Saya hanya khawatir, KUHAP yang dipelajari seluruh Mahasiswa hukum, sarjana hukum, Praktisi hukum, hingga akademisi hukum di Indonesia bahkan luar negeri akan menjadi suatu pembelajaran yang sia-sia karena faktanya ada penerapan hukum yang berbeda serta sangat menyimpang dari perundang-undangan yang berlaku. Tentunya sia-sia dipelajari,” papar pengacara yang juga mantan wartawan senior asal Buleleng ini.
Dan mengenai alasan kesehatan terdakwa yang diutarakan JPU dalam persidangan menurutnya sangat tidak mendasar dan hal yang subyektif. Gus Adi mengatakan, sampai saat ini sudah diberlakukan vaksin booster yang kedua oleh pemerintah dengan alasan mencegah covid 19, terlebih lagi alasan yang diungkapkan lebih terkesan ketakutan yang berlebihan.
Gus Adi mengatakan negara ini tidak harus terus menerus ‘merampas’ hak-hak seorang terdakwa dan bahkan hak dari Pengacara yang diatur dalam undang-undang. Karena kebijakan yang diambil dalam melakukan sidang online pada perkara Pidana, sama sekali tidak melibatkan Pengacara maupun organisasi advokat. Sedangkan, dalam persidangan, pengacara juga turut terlibat dan diatur dalam hukum acara hingga undang-undang advokat.
“Anda bisa saksikan dihampir seluruh stasiun televisi maupun media elektronik yang ada terkait persidangan Terdakwa Ferdy Sambo dkk, Itu kenapa tidak dilakukan secara Ofline juga. Lihat juga sidang Perdata khususnya perceraian yang mewajibkan prinsipal dengan konsekuensi hadir dalam mediasi. Lalu bagaimana dengan azas setiap warganegara diperlakukan sama dihadapan hukum sementara ada diskriminasi yang saya pikir bukan hanya klien kami mengalaminya, tetapi banyak lagi terdakwa-terdakwa yang disidangkan online dengan kondisi jaringan yang bermasalah hingga perangkat serta tempat yang tidak mendukung. Apakah ini bentuk penegakan hukum tapi menggerus hak-hak asasi yang melekat kepada seorang terdakwa dan pengacara,” kata Gus Adi.
Selain itu, banyak lagi hak-hak terdakwa maupun pengacara yang tidak bisa digunakan salah satunya adalah berkoordinasi dalam melakukan pembelaan. Gus Adi mengungkapkan terkait tidak tersedianya tempat khusus oleh Rutan di Mako Polres Buleleng untuk menggunakan hak berkoordinasi tanpa didengar isi materi pembicaraannya sama sekali tidak bisa digunakan.
Bahkan fakta tidak bisa digunakannya hak untuk berkoordinasi terkait pembelaan pernah dialami hingga sempat bersitegang dengan pihak Polres Buleleng.
“Dalam undang-undang jelas diatur hak penasehat hukum termasuk terdakwa untuk berbicara setiap waktu pada pasal 69 KUHAP sama sekali tidak bisa kami dan terdakwa gunakan dalam melakukan pembelaan. Ini jelas pelanggaran atas undang-undang yang berlaku dan sangat merugikan terdakwa juga kami selaku penasehat hukumnya,” papar Gus Adi.
Selain hakim I Gusti Made Juliartawan, dua orang hakim anggota yang menyidangkan perkara 160/Pid.B/2020/PN Sgr adalah I Gusti Ayu Kade Ari Wulandari SH, dan Ni Made Kushandari SH., MH.
Senada dengan Gus Adi, Juliartawan di dalam ruang persidangan turut mengungkapkan sering mengalami kendala dalam mengadili sidang yang dilangsungkan secara online.
“Saya sudah bicara jelas dan keras kepada terdakwa, lalu kemudian dijawab terdakwa dengan kata ‘apa’ karena tidak mendengarkan suara saya dengan jelas. Terlebih lagi jika terdakwa yang ditahan kemudian harus dikarantina lagi ketika masuk rutan sampai 14 hari, ini kan menghambat persidangan lagi. Tapi silahkan Penasehat Hukum berkordinasi dengan pihak Rutan untuk pelaksanaan sidang oofline karena wewenangnya ada di Rutan,” kata Juliartawan yang sempat terkejut karena Terdakwa ternyata masih ditahan di rutan Polres Buleleng alias belum dipindah ke Lapas Singaraja.
Terkait eksepsi, Gus Adi menyampaikan 8 poin yang menjadi keberatannya terhadap dakwaan tim JPU antara lain status kepemilikan uang Rp60 juta yang diklaim milik adat sedangkan dalam dakwaan disebut uang tersebut dari kontribusi PT Adi Jaya, tempus delicti yang tidak jelas karena dalam dakwaan menyebut waktu terjadinya tindak pidana pada tanggal 29 Maret 2021 sedangkan disebutkan lagi terdakwa yang tidak bisa menunjukan uang pada tanggal 1 April 2021, hingga pada nama badan hukum PT Adi Jaya yang dinilai salah terkait beberapa bukti surat menyebutkan pengembang yang berinvestasi adalah PT Adi Jaya Abadi.
Terkait tidak dihadirkannya terdakwa dalam persidangan serta hal yang bertentangan dengan penerapan KUHAP, Humas Kejaksaan Negeri Buleleng, Ida Bagus Alit Ambara Pidada, tidak banyak berkomentar saat dikonfirmasi awak media. Pihaknya menyatakan bahwa alasan dilakukannya sidang online tetap pada alasan kesehatan terdakwa ketika dibawa keluar tahanan. ksm/ari


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER