Save KPK, POLRI dan Indonesia

  • 19 Februari 2015
  • 00:00 WITA
  • Nasional
  • Dibaca: 5423 Pengunjung

Opini, suaradewata.com- Sejak Indonesia berdiri, sedikit tokoh nasional yang dapat dijadikan acuan sebagai tokoh yang bersih dari perbuatan penyalahgunaan keuangan negara atau korupsi. Dari Orde lama sampai  reformasi. Tokoh-tokoh yang dikenal bersih antara lain M. Hatta (wapres pertama) Hoegeng  (mantan Kapolri) dan mungkin sedikit nama yang mudah diingat oleh masyarakat Indonesia. Selebihnya bukan juga pejabat yang jelek, namun bisa dikatakan publik tidak mengetahui benar apakah pejabat itu bersih atau tidak khususnya di zaman Orde Baru yang lalu, karena dipemerintahan tersebut  dapat dikatakan tidak ada pejabat yang bermasalah dengan kasus korupsi karena pemerintahannya “otoriter”.

Namun terbalik 360 derajat, ketika di zaman reformasi dimana era keterbukaan dan era transparansi,  peranan pers, LSM dan elemen masyarakat lainnya ditambah berdirinya lembaga  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat memantau dari kinerja pejabat dan birokrasi baik di kalangan eksekutif, legislatif dan yudikatif  yang melakukan korupsi,  membuat pejabat semakin tidak nyaman apabila melakukan perbuatan tersebut. Banyak  pejabat-pejabat publik terkena kasus penyalahgunaan keuangan negara atau korupsi dari semua tingkatan dari tingkat daerah sampai ke tingkat pusat.  Hal ini tidak dipungkiri  peran lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sangat berpengaruh dan  masyarakat sangat mengapresiasi.

Saat ini Negara Indonesia membutuhkan orang-orang yang bersih dalam bekerja memberantas korupsi. Ibarat sapu, apabila sapu tersebut bersih maka ketika membersihkan ruangan semuanya menjadi bersih tidak ada yang tersangkut kotoran dari sapu tersebut.   KPK, Kepolisian dan Kejaksaan merupakan lembaga penegak hukum yang harus didukung masyarakat Indonesia, khususnya dalam pemberantasan korupsi.  Konflik KPK dengan lembaga Polri  yang saat ini ramai dan menjadi perhatian mayoritas masyarakat Indonesia hendaknya jangan terlalu dibesar-besarkan dan membuat semakin panas polemik tersebut. Intinya berdirinya lembaga KPK adalah untuk membantu dan dapat melakukan koordinasi dengan Kejaksaan dan Kepolisian di dalam pemberantasan korupsi.  Toh, penyidik-penyidik di KPK juga diisi oleh orang-orang pilihan di Kejaksaan dan Kepolisian.

Terkait Polemik KPK dengan Polri, dukungan pro dan kontra terhadap dua lembaga penegak hukum tersebut, berawal ketia KPK mentersangkakan calon Kapolri Komjen Budi Gunawan  (BG) ketika Komjen BG ditetapkan  sebagai calon tunggal untuk menjabat sebagai Kapolri oleh presiden Jokowi. Setelah itu Kepolisian dalam hal in Bareskrim mentersangkakan wakil ketua KPK Bambang Wijayanto dan menangkap Bambang, Jumat (16/1/2015) pagi. Penangkapan Bambang dalam rangka pemeriksaan sebagai tersangka kasus dugaan menyuruh memberikan keterangan palsu dalam sidang sengketa Pilkada Kota Waringin Barat di Mahkamah Konstitusi (MK) 2010. Kasus ini ditindaklanjuti Polri berdasarkan laporan dari masyarakat.

Terlepas polemik yang terjadi antara lembaga KPK dan Polri, sebenarnya permasalahan tersebut   berawal dari masalah personal yang berujung ke antar lembaga,selama ini antara KPK - Polri tidak ada masalah, seperti yang dikatakan Deputi Pencegahan KPK, Johan Budi.Apapun yang terjadi dengan kedua lembaga tersebut masyarakat harus menyerahkan kepada mekanisme yang berlaku, yang saat ini telah dilakukan oleh  Komjen Budi Gunawan mempraperadilan KPK ke PN Jakarta Selatan pasca ditetapkannya  dia menjadi tersangka kasus korupsi

 

Praperadilan yang dilakukan Komjen BG kepada lembaga KPK merupakan sebuah mekanisme hukum yang telah disediakan untuk menuntut apakah benar langkah KPK yang telah menjadikan tersangka Komjen BG sesuai dengan SOP yang ada di KPK. Begitu juga wakil pimpinan KPK Bambang Wijayanto, biarlah nanti pengadilan yang memutuskan apakah dia memang bersalah seperti yang disangkakan pada Pilkada Kota Waringin Barat,  seperti laporan masyarakat yang merasa dirugikan. Jadi masyarakat harus menunggu tidak boleh beranggapan bahwa lembaga  KPK atau kepolisianlah yang paling benar atas kasus ini.

Pidato  Presiden Joko Widodo dalam penutupan Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VI di Yogyakarta 11 Februari 2015  juga menguatkan  bahwa konflik antara Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bukan persoalan yang sederhana sehingga pemerintah  membutuhkan waktu untuk menguraikannya.

Statmen LSM Kemanusiaan Ketua Badan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Alvon Kurnia, yang mengatakan rencana eksekusi hukuman mati terpidana narkoba gelombang kedua ini jangan sengaja dihembuskan untuk menutupi ketidaktegasan Presiden Jokowi  dalam menuntaskan perseteruan antara Kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi, tidak juga benar, karena polemik KPK dan Polri berbeda dengan penuntasan pemberantasan narkoba diseluruh Indonesia.

Sikap tegas pemerintah dalam pemberantasan narkoba dengan rencana mengeksekusi kembali  terpidana mati bandar narkoba sebagai komitmen pemerintah untuk memberantas berkembangnya peredaran narkoba di tanah air. Sementara komitmen pemerintah untuk menuntaskan polemik KPK dengan Polri yang juga belum melantik Komjen BG, dan  menyerahkan kepada proses hukum juga sebagai sikap menunggu bahwa putusan yang nantinya diambil tidak merugikan hak warga negara didalam memperoleh haknya, khususnya hak Komjen BG didalam menjabat sebagai Kapolri.

Dengan putusan sidang Praperadilan di PN  Jakselyang memenangkanpraperadilan BG. Sebaiknyadisikapolehmasyarakat  tidak hanya save kepada KPK, maupun save kepada Polri. Masyarakat kita harus save kepada Indonesia. Apapun putusannya nanti, apakah Komjen BG menjadi Kapolri ataupun wakil ketua KPK Bambang Wijayanto mundur menjadi pejabat di KPK, semua harus tetap berjalan , baik KPK maupun  Kepolisian. Saat ini diperlukan adalah lembaga-lembaga penegak hukum harus diisi oleh orang-orang yang bersih tidak mempunyai potensi tersangkut hukum  dikemudian hari. Indonesia harus bebas dari korupsi dengan orang-orang profesional yang membantu proses tersebut agar nantinya pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla juga tidak tersandera di dalam mewujudkan harapan masyarakat Indonesia bebas dari praktek korupsi yang membuat pembangunan baik fisik maupun non fisik menjadi terbengkalai.

Agung Setia Budi, penulis adalah tokoh pemuda Bengkulu Selatan


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER