Merawat Kesaktian Pancasila

  • 11 Februari 2015
  • 00:00 WITA
  • Nasional
  • Dibaca: 8130 Pengunjung

Opini, suaradewata.com- Penyakit laten yang menghawatirkan di kalanganmasyarakatsaatiniadalah mulai lunturnya secara pelan-pelan nilai-nilai Pancasila. Di kalangan elite politik, misalnya, gejala itu terlihat saat sila kelima Pancasila yang berbunyi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” mulai tak lagi menjadi landasan perjuangan. Pancasila sekadar tercantum dalam anggaran dasar/anggaran rumah tangga.

Para elite politik malah terjebak dalam pragmatisme dan transaksionalisme politik yang buntutnya semakin membuat rakyat sengsara. Tarik menarik dua blok besar yang menimbulkan kegaduhan politik amat sangat di parlemen—antara Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP)—dalam memperebutkan “kue Senayan” beberapa waktu lalu merupakan bukti telanjang bahwa nilai-nila Pancasila mulai luntur di kalangan elite.

Sementara itu, di ranah sosial, menggeliatnya konflik komunal dan horizontal di berbagai daerah, mulai dari Madura, Lampung, Poso, Papua, hingga soal Gereja Yasmin di Bogor yang hingga kini masih selalu panas-dingin—menandakan bahwa nalar kebhinekaan sudah tak lagi terpatri dalam diri setiap individu masyarakat Indonesia. Tak heran bila hasil survei CSIS dan LIPI pernah mengatakan bahwa kekerasan atasnama agama meningkat dari tahun ke tahun. Inilah ironi di tengah bangsa ini yang telah memiliki format kewarganegaraan ideal sekaligus agung bernama Pancasila.

Sebab, dalam tataran kebijakan dan operasional, nilai-nilaiPancasilaseperti tidak hadir. Ideologi Pancasila tidak membumi dalam realitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Padahal tujuan bangsa Indonesia berbangsa dan bernegara sesuai yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Kesenjangan antara visi dan misi dalam berbangsa dan bernegara dengan implementasi dalam kehidupan nyata, telah menyebabkan masyarakat menjadi korban.

Masyarakat yang mengalami tekanan ekonomi, banyak mengalami stres dan bahkan depresi, sehingga mudah mengamuk yang diwujudkan dalam bentuk konflik sosial seperti konflik antara sesama warga sekampung dan kampung lain, konflik antarasesama mahasiswa dan pelajar, konflik antara warga dengan pengusaha, konflik antara warga dengan aparat, dan lainsebagainya. Tak berlebihan bila Prof.AzyumardiAzra, dalam tulisannya di media, pernah menyebut Indonesia sebagainegeritawuran.

Amnesia Pancasila

Salah satu sebab kenapa konflik komunal dan horizontal tidak kunjung padam adalah karena nilai-nilai Pancasila telah dilupakan. Sila pertama dari Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, mengandung spirit bahwa masyarakat Indonesia harus percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan mengamalkan ajaran agama yang dianut sesuai yang tercantum dalam kitab suci, untuk meraih keselamatan, kemajuan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sila ini mengajarkan pentingnya manusia Indonesia membangun hubungan vertical dengan Sang Penciptadan hubungan horizontal kepada sesama manusia, meski berbeda agama.

Namun kini apa yang terjadi. Meski nilai tersebut termaktub ke dalam butir pertama sila Pancasila, akan tetapi sentimen antar-agama kerap terjadi. Konflik masalah rumah ibadah, pengeboman gereja, dan sentimen-sentimen agama lainnya terus menjadi tontonan yang tak pernah usai. Ini tentu menjadi ironi di tengah bangsa Indonesia yang katanya sangat menunjung nilai-nilai toleransi.

Silakedua, yaitu“Kemanusiaan yang adildanberadab”, mengajarkan kepada seluruh bangsa Indonesia supaya mengamalkan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab.Tapi kenyataan, nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab semakin redup dikalangan bangsa Indonesia. Kini mulai dari para elitehinggamasyarakat luas justru lebih gandrung mengamalkan budaya materialistik, hedonistic dan pragmatik. Akibatnya idealisme  yang diajarkan sila kedua dari Pancasila dikalahkan oleh kepentingan sesaat, dan berlaku prinsip “menghalalkan segala cara”.

Sila ketiga, “Persatuan Indonesia”kini nyaris tidak dipedulikan karena para elitemenggunakan jargon “persatuan”hanya untuk menggalang dukungan massa dalam rangka mencapai suatu tujuan.Setelah tujuan tercapai, persatuan Indonesia ditanggalkan. Inilah ironi Indonesia di era Reformasi. Persatuan Indonesia mengalami ancaman, karena Bhinneka Tunggal Ika, hanya diucapkan tetapi tidak diamalkan. Sila keempat, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Sila ini telah dikesampingkan karena kerakyatan telah dipimpin oleh kekuatan uang. Masalah permusyawaratan telah ditinggalkan dengan implementasi “voting”yang sesungguhnya merupakan import dari budaya Barat.

Sila kelima, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Sila ini kini tinggal nama saja, karena implementasinya nyaris tidak ada. Keadilan sosial mustahil terwujud kalau sistem ekonomi yang diamalkan adalah sistem liberalism dan kapitalisme. Sistem ekonomi yang diserahkan pada mekanisme pasar, akan melahirkan ketidakadilan sosial. Inilah yang terjadi di Indonesia.

Spirit Keadilan Sosial

Merujuk pembukaan UUD 1945 dan sila-sila dari Pancasila terutama silakelima, dapat ditegaskan bahwa spirit para pendiri bangsa Indonesia ialah memajukan seluruh bangsa Indonesia melalui perwujudan keadilan sosial. Sila kelima dari Pancasila, diidealkan para pendiri bangsa ini untukmewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan mendayagunakan seluruh kekayaan alam yang dikuasai oleh negara untukdipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

Untuk memastikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dapatdiwujudkan, maka dtetapkan pasal 33 UUD 1945 ayat; (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asaskekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasaihajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; 3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnyadikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarkemakmuran rakyat.

Harus diakui bahwa pasal yang sangat penting dalam UUD 1945 untuk memastikan bahwa tujuan Indonesia merdeka diwujudkan, hanya sering dikutip para ilmuan ketika menyampaikan presentasi dalam seminar dan pertemuan ilmiah lainnya, tetapi pengamalannya, di masa Orde Baru maupun di masa Orde Reformasi tidak nampak. Oleh karena dalam membangun ekonomi tidak merujuk kepadapasal 33 UUD 1945 sebagaimana dikemukakan di atas, makaperwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia semakinjauh dari yang diharapkan.Pembangunan yang dilaksanakan hanya semakin memperkayaorang-orang yang sudah kaya, sehingga semakin memperlebarjurang sosial antara yang kaya dan mayoritas masyarakat Indonesiayang miskin dan kurang pendidikan.

Kembali ke Pancasila

Karena itu, sudah saatnya bangsa ini kembali ke Pancasila. Masyarakat Indonesia tidak boleh amnesia terhadap Pancasila. Nilai Pancasila harus menjadi “batu pijak” dari setiap kebijakan para elite politik. Ini artinya, setiap kebijakan harus “mengerami” terlebih dahulu nilai-nilai Pancasila.

Kata “keadilan” yang merupakan nilai paling menonjol dari esensi Pancasila haruslah menjadi acuan bagi setiap kebijakan yang ada. Begitu halnya “kesetaraan” yang menjadi nilai adiluhung Pancasila harus terus dipegang erat bagi setiap individu masyarakat. Nilai Pancasila mengharamkan adanya penistaan agama dan kelompok. Nilai Pancasila justru mengajak semua pihak, tanpa membedakan SARA untuk duduk berdampingan saling mengisi dan gotongroyong.

Itu karena Pancasila sejatinya adalah konsensus yang menjamin semua warga memiliki kesamaan hak dan kewajiban seraya tunduk pada rule of law (supremasi hukum). Dalam Pancasila tersirat pesan bawa warga minoritas mendapatkan ruang untuk ikut berpartisipasi dalam pemecahan masalah umum tanpa perlu takluk terhadap kebudayaan atau masyarakat dominan (mayoritas). Seperti kata John Rawls (Theory of Justice, 1994) bahwa posisi warga adalah sama di dalam tatanan negara, itulah pesan penting dari Pancasila.

LukmanHarunSatria, penulis adalah Pemerhati Ideologi

 


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER