Rangkul Din Minimi Untuk NAD yang Lebih Baik

  • 25 Januari 2016
  • 00:00 WITA
  • Nasional
  • Dibaca: 2270 Pengunjung

Opini, suaradewata.com- Gerakan bersenjata atau separatis  di Provinsi Nangroe Aceh Darusalam (NAD), masih menjadi ancaman nyata bagi keamanan daerah.  Gerakan bersenjata  yang dikomandoi oleh Nurdin Bin Ismail Amat  atau yang dikenal Din Minimi mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka adalah salah satu gerakan yang disegani oleh aparat keamanan di Pusat dan Daerah. Nama Din Minimi muncul di akhir tahun 2014, ketika ia menyatakan perang terhadap Gubernur Aceh Zaini Abdullah, yang mantan menteri luar negeri GAM, dan wakilnya, Muzakir Manaf, yang mantan panglima Tentara Nasional Aceh (TNA).  Ancaman ini dipicu oleh kekecewaan  terhadap pemerintahan Aceh yang dianggap menelantarkan kesejahteraan mantan kombatan GAM. 

Din Minimi merupakan ketua kelompok bersenjata yang disebut kerap membuat kekacauan dan melawan pemerintah. Keberadaan mereka pun paling dicari,  diburu dalam keadaan hidup atau mati. Din Minimi dilahirkan di Desa Keude Buloh, Kecamatan Julok, Aceh Timur, dari pasangan Ismail-Sapiah.  Din Minimi  bergabung dengan GAM sejak Tahun 1997 di bawah pimpinan almarhum Tgk Kaha. Adiknya bernama Hamdani alias Sitong, tewas dalam pertempuran antara GAM dengan aparat tahun 2004. Adik ke tiganya, Mak Isa alias si Bukrak, hilang sejak konflik, dan hingga kini tidak diketahui hidup atau mati. Dan terakhir adik bungsunya, Azhar, kini pengangguran dan berdomisili di Aceh Timur.

Din Minimi mengatakan Pemerintahan Gubernur Zaini Abdullah dan Wakil Gubernur Muzakir Manaf  telah lalai melaksanakan amanah MoU Helsinki, khususnya dalam memenuhi hak- hak para mantan kombatan GAM dan korban konflik. Masih banyak jalan desa yang hancur, rakyat terus makan debu, sedangkan yang kenyang adalah pimpinan Aceh dan kawan-kawannya. Kami akan melawan pemerintah sampai tetes darah terakhir.

Aparat kepolisian di Aceh menyebut berbagai tindak kekerasan, seperti merampok, membunuh dan meneror, dilakukan oleh kelompok eks kombatan GAM tersebut. Dalam berbagai kesempatan, Din Minimi mengatakan, aksi itu mereka lakukan sebagai protes terhadap kebijakan pemerintah Aceh yang dianggap tidak memperhatikan nasib eks kombatan GAM.        Pada dasarnya embrio dari gerakan bersenjata  khususnya di Aceh  muncul karena ketidakpuasan mantan kombatan GAM terhadap pemerintah provinsi NAD yang dulunya adalah mantan petinggi-petinggi GAM. Masalah ketidakadilan dan kesenjangan kesejahteraan yang akhirnya membuat mantan kombatan GAM  terus memperjuangkan hak-haknya yang kurang diperhatikan oleh Pemprov. NAD.

Sepakterjang kelompok Din Minimi yang meresahkan tersebut membuat pemerintah daerah tidak dapat berbuat banyak dan  membuat pemerintah pusat turun tangan agar keamanan daerah berlangsung kondusif.  Pemerintah dalam hal ini Badan Intelijen Negara (BIN) dapat melakukan pendekatan yang persuasif untuk merangkul kelompok Din Minimi, dan secara resmi pada 29 Desember 2015 pagi, mereka telah menyerahkan diri kepada otoritas keamanan Indonesia.          

Kepala BIN, Sutiyoso, mengatakan, setelah melalui proses negosiasi maka mereka mau menyerahkan diri.  Saya datang ke markas mereka,   memerlukan tiga sampai empat jam untuk sampai ke kamp mereka, dan kita negosiasi pada  Senin, malam,  28 Desember 2015. Penyerahan diri Din Minimi  diikuti oleh 120 orang anak buahnya, mereka kemudian menyerahkan 15 pucuk senjata.  Langkah negosiasi pemerintah dengan kelompok Din Minimi ini dilakukan karena sesuai kebijakan  pemerintah yang mengedepankan  pendekatan halus   dalam menghadapi kelompok separatis atau kelompok bersenjata.  Mereka akan kita berikan amnesti, seperti kelompok lainnya.

Pemberian pengampunan ini, karena mereka bersedia menyelesaikan masalah ini dengan  baik-baik dan menyerahkan senjatanya. Kasus Din Minimi tetap diselesaikan melalui proses hukum, tetapi nantinya akan mendapat amnesti, karena  mereka  bukan mau memisahkan diri tetapi kecewa dengan elit GAM yang berkuasa.  Kepala BIN sudah melakukan koordinasi dengan pemerintah Aceh dalam proses negosiasi dengan Din Minimi dan mengharapkan agar tuntutan Din Minimi dan kawan-kawan misalnya pemberian rumah kepada anak yatim pimpinan eks GAM- segera ditindaklanjuti oleh pemerintah Aceh.

Dalam menghadapi ancaman gerakan bersenjata atau gerakan separatisme di Aceh, pemerintahan Indonesia yang diwakilkan oleh Kepala BIN  telah melakukan terobosan-terobosan secara menyeluruh dan damai dengan melakukan pendekatan halus bukan dengan pendekatan bersenjata. Keberhasilan dalam penyelesaian masalah gerakan bersenjata di  NAD ini  menjadi pelajaran penting untuk menyelesaikan masalah separatisme di daerah lainnya di Indonesia.

Untuk mengatasi permasalahan gerakan bersenjata dan separatis di Indonesia, pemerintah akan terus melanjutkan dan mengembangkan kebijakan yang telah diambil selama ini, yaitu tidak lagi  menggunakan kekuatan militer, tetapi prioritas utama, pendekatan perdamaian dengan  dialog dan meningkatkan kesejahteraan melalui pemerataan pembangunan.

Konsep penyelesaian damai secara bermartabat  harus  terus diterapkan pemerintah dalam pencegahan dan penanggulangan separatisme di daerah lain. Penyelesaian secara bermartabat bertujuan agar pihak gerakan bersenjata atau separatis tidak akan kehilangan muka untuk melepaskan aspirasinya. Peningkatan pelayanan publik untuk  mewujudkan Aceh yang bebas dari gerakan separatis dan teror perlu terus dilakukan agar sosialisasi terhadap pentingnya menjaga keutuhan dan kedaulatan NKRI dapat terus dilaksanakan dengan baik.

Adiansa, penulis adalah tokoh pemuda Bengkulu/pemerhati gerakan separatis

 

 


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER