DPRD Bali Gagal Selesaikan Kisruh Go-Jek

  • 21 Desember 2015
  • 00:00 WITA
  • Denpasar
  • Dibaca: 2660 Pengunjung

Denpasarsuaradewata.com - DPRD Bali, akhirnya gagal menyelesaikan kisruh antara para driver dengan manajemen PT Go-Jek Bali. Hal ini terungkap dalam pertemuan yang digelar Komisi I DPRD Bali bersama manajemen PT Go-Jek Bali, perwakilan driver, serta Dinas Tenaga Kerja dan Dinas Perhubungan Bali, di Gedung Dewan, Senin (21/12).

Dalam rapat yang dipimpin Ketua Komisi I DPRD Bali Ketut Tama Tenaya, itu dewan mencoba menyelesaikan kisruh yang sudah berlangsung beberapa pekan ini. Sayangnya, dari pertemuan tersebut para driver Go-Jek belum mendapatkan keadilan, sebagaimana mereka perjuangkan selama ini.

Ini terjadi lantaran manajemen Go-Jek meminta para driver menandatangani surat pernyataan. Bahkan surat pernyataan tersebut, terkesan memaksa para driver untuk mengakui kesalahannya.
 
Surat pernyataan dimaksud harus diteken di atas meterai, sekaligus driver Go-Jek harus membayar denda yang besarannya Rp 200.000 sampai jutaan rupiah, jika ingin kembali sebagai driver Go-Jek. Tanpa membayar denda tersebut, suspend massal (penghentian sementara menerima pekerjaan) tidak dibuka. Artinya, para driver Go-Jek tidak akan bisa menerima orderan pekerjaan.

Sementara di sisi lain, dari ribuan driver Go-Jek di Bali, tampaknya tidak mau kehilangan pekerjaan. "Hampir sebagian besar sudah mau membayar ganti rugi, meski tanpa diketahui fakta dan data atas kesalahan yang kami lakukan," kata salah seorang driver Go-Jek yang mengaku bernama Agus, pada pertemuan tersebut.

Menurut dia, semula pendapatan para driver Go-Jek per hari rata-rata Rp 200.000 - Rp 400.000. Kondisi ini membuat para driver berani meninggalkan pekerjaan tetapnya selama itu. Ketika itu, tarif yang berlaku Rp 18 ribu untuk jarak 1-5 km. Apabila lebih dari jarak tersebut, maka dikenakan tarif dengan kelipatan Rp 18 ribu.

"Namun tarif yang diberlakukan sekarang Rp 1000 per km, sehingga pendapatan driver Go-Jek anjlok. Bahkan untuk mengejar angka Rp 100 ribu per hari saja, sangat susah," kata Agus.

Beban para driver kian bertambah, sebab harus membayar cicilan HP pada perusahaan sebesar Rp 14 ribu perhari dan membayar cicilan jaket dan help Rp 10 ribu per hari. "Sehingga uang yang harus disisihkan setiap harinya Rp 24 ribu untuk membayar cicilan pada perusahaan," bebernya.
 
Pada kesempatan itu, Agus juga mengakui bahwa dirinya pernah melakukan orderan fiktif. Ia berdalih, biaya pulsa yang cukup mahal sehingga tidak memungkinkan dirinya harus menghubungi balik ke Central Go-Jek. Kalau terus komunikasi balik dengan biaya pulsa mahal dan tarif murah, pihaknya akan rugi total.

"Sebaliknya, PT Go-Jek tidak pernah tahu kerja driver di lapangan di bawah terik matahari dan hujan. Apa yang kita alami di lapangan managamen PT Go-Jek tidak pernah tahu dan daripada bangkrut lebih baik putus hubungan kemitraan,” tandasnya.
 
Sementara perwakilan manajemen PT Go-Jek yang mengaku bernama Dony, menyebutkan, pihaknya di Bali tidak bisa berbuat banyak dengan sistem dari pusat. Pihaknya sendiri sudah melakukan beberapa langkah untuk perbaikan sistem yang ada. Namun demikian, semuanya diputuskan oleh pusat karena semua menjadi kewenangan pusat.

Terkait persoalan surat pernyataan, disebutkan bahwa hal itu sebagai upaya untuk membuat efek jera pada driver, agar tidak mengulangi perbuatannya untuk menerima orderan fiktif. "Kita tidak pernah memaksa pada driver untuk menandatanganinya. Kalau driver memang bisa membuktikan sesuai dengan data, silahkan dibuktikan dengan data,” tegasnya.
 
Ketua Komisi I DPRD Provinsi Bali Ketut Tama Tenaya, usai pertemuan mengatakan, persoalan ini adalah persoalan internal antara PT Go-Jek dengan para drivernya. Namun demikian, perkembangannya di Bali sangat pesat sehingga pihaknya meminta Dinas Perhubungan Provinsi Bali untuk mulai membatasi keberadaan angkutan Go-Jek di Bali.
 
Tama Tenaya mengakui, Go-Jek memang dibutuhkan sebagai pelayanan transportasi pada masyarakat, lantaran transportasi publik di Bali dianggap belum mampu memberikan pelayanan. Namun demikian, payung hukumnya belum ada.

"Kita khawatir, nantinya akan muncul Go-Jek liar dan mematikan ojek-ojek lokal yang sudah ada. Apalagi Go-Jek bukan saja untuk melayani angkutan orang, akan tetapi melayani pengiriman paket barang dan pembelian makanan. Jangan sampai paket pelayanan yang tersedia dimanfaatkan untuk peredaran barang yang bukan-bukan,” pungkasnya.san


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER