Peran Strategis Ulama Menangkal Radikalisme ISIS

  • 19 November 2015
  • 00:00 WITA
  • Nasional
  • Dibaca: 2889 Pengunjung

Opini, suaradewata.com - Kekerasan atas nama agama dan radikalisme, kendati memiliki legitimasi teologis, namun, karena ekspresi kekerasan sering dibungkus dengan agama, maka kemudian kekerasan lebih kental nuansa dan motif agamanya dibandingkan dengan motif lainnya. Pada dasarnya agama hanya diperalat untuk pencapai tujuan tertentu. Faktor situasional seperti dominasi golongan mayoritas, orientasi agama yang belum pasti, serta perlakuan yang tidak adil membangkitkan kecenderungan untuk melakukan tindakan kekerasan. Kita dituntut untuk tidak terjebak dalam hal itu. Para pengikut ISIS atau kelompok radikal  lainnya itu lahir dan berkembang di tengah orang-orang yang dangkal pengetahuan agamanya.

Serangan Teror ISIS kembali melanda Eropa, yakni serangan para teroris yang menewaskan 158 orang di enam tempat di Kota Paris, Prancis Jumat 13/11/2015. Insiden itu menjadi serangan teroris terbesar dua tahun terakhir. Sebab pada awal tahun ini 7/1/2015 penyerangan kantor majalah Charlie Hebdo Paris terkait dengan karikatur Nabi Muhammad yang dianggap melecehkan Agama Islam yang menyebabkan 12 jurnalis tewas juga di klaim oleh Jaringan Al-Qaeda. Kemudian penyerangan penyerangan di supermarket Kosher.

Serangan-serangan teroris tersebut sudah barang tentu membangkitkan traumatis Prancis dan Negara-negara lain di Eropa serta meningkatkan ketakutan kepada berbagai aksi lanjutan ekstrimis agama dan ekstrimis jihadis yang telah diradikalisasi oleh konflik di Suriah dan tempat lainnya di Timur Tengah dan Afrika Utara.

 Bentuk simpati masyarakat dunia terhadap tragedi teror Paris membuat hati terenyuh, mulai dari menyalakan secara bersama cahaya lampu berbentuk bendera Prancis di berbagai landmark dunia hingga kiriman doa dan dukungan yang meluas di jejaring sosial. Semua orang di dunia kini menundukkan kepala sejenak untuk menyampaikan bela sungkawa serta mendoakan agar tragedi tersebut segera diatasi serta tidak terulang kembali.

Presiden Indonesia Joko Widodo menyebutkan terorisme di dunia tidak bisa di tolelir apapun bentuk dan alasannya, sementara itu Kapolri Jenderal Badrodin Haiti menyebutkan telah mengeluarkan perintah kepada jajaran Polri hingga level terbawah secara berjenjang untuk mengantisipasi agar serangan atau teror tidak terjadi di Indonesia. Dimana hal itu semua dilakukan guna merespons aksi teror di Paris Prancis beberapa waktu lalu.

Karenanya dengan berbagai perbedaan karakteristik persoalan dibanding Prancis atau kawasan Eropa, Indonesia juga wajib ikut waspada terhadap serangan-serangan teror ini. Mengingat penyebaran faham fundamentalis di negeri ini cukup kental. Fenomena bergabungnya Warga Negara Indonesia ( WNI ) dengan kelompok Negara Islam (IS) bukan lagi menjadi rahasia.

Ancaman serangan ISIS ke Indonesia pernah terjadi pada tahun 2014 lalu, dimana dalam video yang ada di youtube terdapat seorang laki-laki asal Indonesia yang mengaku bernama Abu Muhammad Al-Indonesi. Ia menyerukan ajakan untuk mendukung perjuangan ISIS dalam mewujudkan khilafah dunia. Ia juga menyindir Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, namun berkepribadian kafir, jauh dari Islam. Video tersebut kemudian menjadi awal munculnya ancaman serangan ISIS. Namun sebenarnya ada alasan lain mengapa Indonesia patut waspada terhadap ancaman ISIS. Alasannya adalah karena gerakan ISIS di Indonesia merupakan perpanjangan aksi-aksi terorisme yang pernah terjadi di negeri ini. Hal ini dikarenakan keduanya sama-sama mengusung cita-cita yang sama, yakni menegakkan syariat Islam di tanah air. Selain itu, berdasarkan berita-berita yang ada di media massa, konon kabarnya mujahid (para pejuang jihad garis keras) yang berjuang untuk mempropagandakan ISIS di Indonesia merupakan tokoh-tokoh lama. Para tokoh-tokoh lama beserta simpatisannya yang kita tahu sebagai bagian dari jaringan kelompok Jamaah Islamiyah, dikabarkan masih menjalin komunikasi intens dengan kelompok-kelompok radikal di Timur Tengah, termasuk dengan kelompok inti jaringan ISIS di Suriah dan Irak. Bisa jadi itulah yang membuat gerakan ISIS patut diwaspadai di Indonesia kerena ideologinya yang sangat radikal, bahkan tak segan untuk menghabisi nyawa siapa pun yang berbeda pandangan, termasuk ke sesama Muslim. Jelas hal tersebut sangat berlawanan dengan karakter Indonesia yang multikultur.

Kekerasan atas nama agama dan radikalisme, kendati memiliki legitimasi teologis, Namun, karena ekspresi kekerasan sering dibungkus dengan agama, maka kemudian kekerasan lebih kental nuansa dan motif agamanya dibandingkan dengan motif lainnya. Pada dasarnya agama hanya diperalat untuk pencapai tujuan tertentu. Faktor situasional seperti dominasi golongan mayoritas, orientasi agama yang belum pasti, serta perlakuan yang tidak adil membangkitkan kecenderungan untuk melakuakan tindakan kekerasan. Kita dituntut untuk tidak terjebak dalam hal itu.

Upaya pemerintah melalui Badan Nasional Penangulangan Terorisme (BNPT) bersama dengan elemen lainnya TNI-POLRI-BIN  untuk menangkal faham ini tidak akan terasa tanpa dukungan masyarakat terutama para ulama dan tokoh-tokoh agama yang menjadi ujung tombak dalam melihat perilaku orang yang tidak lazim di sekitarnya.

Karena para ulamalah yang memiliki tanggung jawab besar memberikan muatan yang benar kepada umat sehingga mematahkan setiap doktrinasi yang dilakukan setiap kelompok-kelompok radikal dan di bantu dengan masyarakat yang berperan penting dalam pencegahan aksi terorisme dengan semangat kesadaran dari warga bahwa terorisme bisa terjadi kapan saja dan dimana saja.  

Rama Ramadhan,Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial

 

 


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER