Menggunakan Pendekatan Budaya Untuk Selesaikan Masalah Papua

  • 13 November 2015
  • 00:00 WITA
  • Nasional
  • Dibaca: 3829 Pengunjung

Opini, suaradewata.com - Sejak akhir Orde Baru, pemerintah sudah melakukan  berbagai upaya untuk meyelesaikan konflik yang terjadi di Papua, baik itu konflik agama, konflik politik, maupun  konflik sosial,  namun  konflik tersebut tidak pernah surut dan terus teradi secara berulang-ulang. Umumnya para penggiat hak azasi manusia berpendapat bahwa terjadi kesalahan dalam pendekatan yang dilakukan, pemerintah dituduh  terlalu sering menggunakan pendekatan keamanan dan sedikit  sekali mengunakan pedekatan kesejahteraan. Padahal sejak tahun 2001 pemerintahan SBY sudah mencoba meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua dengan memberikan bantuan berupa Dana Otsus yang terus meningkat dari tahun ke tahun.  Pemerintah bahkan berani mengklaim bahwa  bantuan yang diberikan pemerintah pusat kepada Papua jauh lebih besar dari kontribusi yang diterima  negara dari Papua. Permasalahannya adalah meski dana Otsus yang diberikan begitu besar, rakyat Papua atau biasa disebutkan orang asli Papua (OAP) tetap miskin dan termarjimalkan. Disisi lain kemiskinan yang dirasakan OAP merupakan lahan subur bagi kaum separatis untuk mempengaruhi masyarakat disana mendukung perjuangan mereka memisahkan Papua  dari NKRI karena tidak merasakan hasil pembangunan yang dilakukan. Meski pembangunan diberbagai bidang sudah dilakukan, pemerintah juga  tidak bisa mengklaim sebagai suatu keberhasilan, karena kenyataannya masih banyak fasilitas yang kurang memadai disektor transportasi, pendididkan, kesehatan dan bidang-bidang lainnya. OAP masih merasa mereka dikesampingkan dalam pembagian kue pembangunan di Papua sehingga tergoda dengan ajakan kelompok  separatis, untuk apa masih terus mempertahankan Papua dalam bingkai NKRI.

Pendekatan Budaya

Lantas pendekatan model apa yang harus dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan berbagai permasalahan mendasar yang ada di Papua,  agar semangat untuk memperjuangkan pemisahan Papua dari NKRI paling tidak menjadi surut jika tidak bisa dihilangkan secara totol. Berbagai pakar  menganjurkan agar pemerintah selain melakukan pendekatan keamanan dan kesejahteraan, juga perlu melakukan pendekatan  kebudayaan melalui toleransi dalam kehidupan bermasyaraat dan beragama serta penguatan nilai-nilai kebangsaan. Diperkirakan langkah tersebut lebih efektif karena berbagai pendekatan yang sudah dilakukan selama ini tidak efektif menyelesaikan konflik di Papua. Apalagi banyak tejadi kasus pelanggaran HAM dan kekerasan yang disebutkan dilakukan oleh aparat pemerintah,  sebaliknya jika terjadi aksi kekerasan yang dilakukan  kelompok masyarakat yang ingin memisahkan Papua dari NKRI tidak pernah  dipermasalahkan oleh pengggiat HAM.  Pola pendekatan budaya dilakukan secara legal formal dengan mengajak  tokoh masyarakat, tokoh adat serta tokoh agama dan tokoh pemuda duduk bersama berdialog dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada. Diyakini jika para tokoh yang ada dapat memahami permasalahan yang dihadapi pada saat berdialog,  mereka akan melanjutkan apa  yang diterima kepada masyarakatnya dan sudah pasti masyarakat akan mematuhi saran dan petuah tokoh panutan meraka. Pemerintah sendiri tampaknya sudah  mengantisipai hal  ini jauh sebelumnya, terbukti beberapa waktu yang lalu Kepala Badan Intelijen Negara (BIN),  Sutiyoso  menyatakan bahwa institusinya telah membentuk satuan  tugas (Satgas) Damai Papua untuk menyelesaikan masalah di Papua  secara damai. Nantinya  anggota Satgas Damai Papua akan mendatangi  para tokoh yang disebutkan diatas untuk berdialog  secara terbuka sehingga tercipta rasa saling percaya antara aparat negara dengan masyarakat serta tokohnya.  Bahkan sangat diharapkan anggota Satgas mampu melakukan pedekatan dengan tokoh-tokoh gerakan separatis setempat untuk mengajak mereka kembali ke jalan yang benar, menghilangkan ide memisahkan Papua dari NKRI dan membangun Papua secara bersama-sama. Hanya saja karena cara kerja aparat telik sandi itu dilakukan secara  tertutup, masyarakat tidak mengetahui sampai sejauh mana hasil yang sudah dicapai. Untuk mengukur keberhasilan kinerja aparat telik sandi itu, barangkali hanya bisa dirasakan dengan  terciptanya rasa aman ditengah  kehidupan masyarakat.  Artinya jika tingkat kekerasan di Papua menurun, maka itu berarti aparat yang tergabung dalam Satgas Damai Papua berhasil menjalankan tugasnya dengan baik.  Cara kerja Satgas Damai Papua hendaknya juga bisa dilakukan oleh unsur keamanan lainnya TNI dan Polri, karena untuk bisa merubah sikap dan pandangan OAP terhadap pemerintah Indonesia harus dimulai dengan perubahan perilaku dan pendekatan aparat dalam kehidupan bersama tengah-tengah masyarakat Papua. Seperti apa wajah pemerintah Indonesia dimata OAP,  sangat tergantung pada perilaku aparat keamanan. Penampakan serta perilaku dengan wajar angker dan kejam serta penuh kekerasan sudah harus dibuang jauh-jauh dan  digantikan dengan wajah penuh hormat, sopan serta menimbulkan rasa persahabatan yang menjunjung tinggi dialog sebagai cara untuk penyelesaikan masalah.

Cara damai untuk menyelesaikan masalah Papua dengan mengedepankan dialog juga sudah ditunjukan Presden Joko Widodo, komitmen presiden itu mendapat sambutan baik dari tokoh adat, tokoh agama dan cendekiawan di Papua agar wilayah itu bisa segera bebas dari konflik. Komitmen Jokowi untuk melakukan dialog di Papua sudah dimulai sejak saat melakukan kampanye di Bumi Cendrawasih dan berkomunikasi dengan sejumlah tokoh penting. Jokowi menempati janjinya membangun komunikasi efektif dengan tokoh-tokoh yang layak dipercaya di Papua. Menurut presiden salah satu langkah penyelesaian konflik di tanah Papua adalah komunikasi intensif dengan masyarakat. Jika pendekatan komunikasi dan pendekatan kesejahteraan digabungkan, Papua akan menjadi salah satu provisi kaya di Indonedia. Jika upaya menjadikan Papua sebagai tanah damai tercipta, maka lapangan kerja akan terbuka lebar dan  dengan sendirinya diharapkan kesejahteraan masyarakat Papua akan meningkat pula. Karena itu sangat diharapkan agar langkah pemerintah mengedepankan dialog juga dilakukan oleh berbagai forum komunikasi yang merangkul semua unsur, salah satunya forum berkomunikasi antar pimpinan  umat beragama. Secara tidak langsung kerja forum tersebut dapat membantu  pemerintah dan aparat keamanan untuk menghindari terjadinya konflik agama. Terjadinya insiden pengrusakan rumah ibadah di Papua belum lama ini bukan karena  konflik agama, tetapi karena kurangnya komunikasi antara sesama pemimpin umat. Agar forum komunikasi ini lebih bermanfaat, pemerintah daerah perlu membentuk forum komunikasi antara umat beragama sampai ke tingkat kabupaten/kota di seluruh tanah Papua.

Diharapkan dengan adanya pendekatan budaya yang mengedepankan komunikasi dan dialog antar berbagai pihak  segera tercipta harapan Papua sebagai Tanah Damai.

Andre Penas, penulis adalah pemerhati masalah Papua

 

 


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER