Presiden Harus Dilindungi Dari Penghinaan

  • 26 September 2015
  • 00:00 WITA
  • Nasional
  • Dibaca: 2124 Pengunjung

Opini, suaradewata.com - Di tengah derasnya arus globalisasi yang masuk kemasyarakat Indonesia, penguatan terhadap identitas bangsa  harus   menjadi agenda  penting yang  harus dimulai dengan hal  paling mendasar, yaitu  mengenal pada  simbol-simbol Negara. Mayoritas masyarakat kita masih banyak  yang menganggap bahwa simbol Negara hanya sebagai bentuk pajangan. Sebenanrnya dibalik itu semua,  simbol-simbol Negara mempunyai arti filosofis  mendalam yang juga mendeskripsikan pembentukkan Negara Indonesia. Maka penguatan terhadap pemahaman dan arti simbol Negara antara lain  untuk memperkokoh identitas bangsa.

Negara Indonesia mempunyai sejarah  dalam menyatukan masyarakatnya, yaitu dengan Pancasila. Pancasila mempunyai makna yang dalam sehingga Negara yang multikultur dapat bertoleransi di dalamnya. Pancasila juga tercantum pada lambang burung garudayang menjadi simbol negara.  Pengetahuan mengenai simbol-simbol Negara memang sudah banyak diketahui sejak pendidikan sekolah dasar sampai sekolah menengah atas. Tetapi tidak dibahas dengan detil makna yang terkandung. Jika pemahaman terhadap simbol-simbol Negara tersebut sudah ditanam dengan baik, maka akan memunculkan penghormatan yang tinggi terhadap Negara dan tidak menutup kemungkinan kecintaan terhadap negera semakin bertambah.

Setiap Negara memiliki simbol-simbol Negara, tidak terkecuali Indonesia. Simbol Negara Indonesia diantaranya, lambang burung garuda, bendera merah putih, bahasa Nasional, lagu kebangsaan Indonesia raya, dan lainnya. Simbol inilah yang harusnya dimengerti dan dihormati masyarakat, sehingga dapat memperkuat identitas Negara  Secara keseluruhan lambang Garuda Indonesia  melambangkan cita-cita bangsa Indonesia yang telah berhasil merebut dan mencapai kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan segala pemusatan pikiran, dan gerak dalam mencapai cita-cita pembangunan demi kemakmuran bangsa dan kejayaan Negara, sekaligus mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

Keberagaman bahasa daerah yang menjadi ciri khas masyarakat Indonesia yang beraneka ragam, harus membentuk kesatuan dalam penghormatan terhadap bahasa nasional yaitu dengan cakap menggunakannya dalam kondisi yang mengaruskan berbahasa Indonesia satu. Setiap daerah di Indonesia mempunyai keberagaman  dengan bahasanya yang berbeda pada setiap daerahnya. Banyak kita mendengar bahasa Jawa, Sunda, Betawi, Bali, Ambon, Aceh, dan sebagainya.  Bahasa daerah ini lah yang wajib harus ada dan tidak boleh punah keberadaannya. Dari beragamnya bahasa daerah tersebut sulit rasanya mempertemukan masyarakat yang berbeda daerah untuk berkomunikasi. Maka dibutuhkanlah bahasa persatuan yang bisa dimengerti untuk masyarakat masing-masing daerah yaitu bahasa Indonesia.

Pada Pemerintahan saat ini atau di era Presiden Jokowi, pengertian simbol negara, menjadi  pro dan kontra di masyarakat, khususnya jabatan presiden apakah termasuk sebagai simbol negara atau tidak.  Saat ini, zamannya kebebasan orang untuk bersuara, terkadang “suaranya” melebihi batas etika, pemerintah mengkhawatirkan kebebasan tersebut menjadi kebablasan khususnya menghina presiden sebagai orang yang harus dihormati, bisa sebagai simbol negara ataupun pemimpin negara Indonesia ini .

Oleh karenanya,  untuk menghindarinya, maka Pemerintah Jokowi menginginkan pasal penghinaan terhadap presiden masuk ke dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) melalui Pasal 263 ayat 1 RUU KUHP, yang berbunyi "Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.  Hingga kini konsep itu masih dalam proses pembahasan terkait bentuknnya nanti seperti apa.

Presiden Jokowi  mengatakan sepenuhnya menyerahkan kepada DPR untuk mengambil keputusan soal pasal Penghinaan Presiden.  Kalau   mengacu kepada negara lain, Presiden sebagai symbol of state,.  Pasal tersebut baru merupakan rancangan bahkan pemerintah yang lalu pun mengusulkannya dan kini kembali diusulkan.  Justru dengan pasal-pasal yang lebih jelas seperti itu, ketika seseorang ingin mengkritisi dan memberikan koreksi terhadap pemerintah bisa lebih jelas.  Tapi kalau tidak ada pasal itu bisa dibawa ke pasal-pasal karet.

Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) AM Hendropriyono setuju jika pasal penghinaan terhadap presiden dihidupkan kembali. Menurutnya orang yang menghina presiden memang layak diproses secara hukum. Memang banyak hal yang harus diperbaiki jika pasal tersebut benar akan dihidupan kembali. Mengusulkan agar pasal soal penghinaan presiden nantinya mengatur klasifikasi yang jelas mengenai perbuatan menghina, termasuk perbedaan antara menghina dan mengkritik.

Sebelumnya Ketua Bidang Hukum HAM dan Perundang Undangan DPP PDIP, Trimedya Pandjaitan mengatakan harus ada jalan tengah menyelesaikan persoalan pasal penghinaan pada presiden. Di mana pasal ini sudah dibatalkan oleh MK, namun presiden selaku kepala negara harus dilindungi dari ancaman penghinaan. Namun hingga kini konsep itu masih dalam proses pembahasan terkait bentuknnya nanti seperti apa.

Pengamat Hukum dari Universitas Trisaksi, Abdul Fikar Hajar mengatakan pasal penghinaan presiden tidak tepat bila dihidupkan kembali. Sebab   presiden bukanlah simbol suatu negara. Berdasarkan pasal-pasal yang dianut oleh Undang Undang Dasar 1945 tugas seorang Presiden sebagai kepala negara serta kepala pemerintahan dan bukan merupakan simbol negara. Presiden bertugas memegang kekuasaan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Kekuasaan presiden pun dibatasi oleh konstitusi dan pengawasan dilakukan oleh parlemen.

Berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2009 yang menjadi simbol negara adalah bendera, bahasa, dan lambang Negara  yang disebut dalam lagu kebangsaan bahwa  lambang negara ialah garuda pancasila. Selama ini, telah berkembang presepsi yang salah seolah-olah Presiden adalah simbol suatu negara. Sehingga pasal penghinaan presiden tidak tepat bila dihidupkan kembali. Presiden itu bisa berganti ganti orangnya dan penghinaan itu tidak jelas definisinya sehingga bisa disalahgunakan oleh presiden sebagai penguasa,  karena itulah MK membatalkannya.

Pasal penghinaan presiden yang selama ini ada juga merupakan warisan dari masa kolonial Belanda yang menganut sistem parlementer. Bertolak belakang dengan Indonesia yang menganut sistem presidensial. Dalam sistem parlementer yang dianut oleh Belanda, Raja dan Ratu merupakan simbol negara sehingga harus dilindungi serta dijaga martabatnya menggunakan pasal penghinaan. Sedangkan di Indonesia yang menganut sistem presidensial, pasal penghinaan presiden berpotensi menjadi tameng pemerintah yang berkuasa untuk menghalau kritikan tajam.

Sementara menurut pengamat Tata Negara M Nasef, Presiden harus tetap dijunjung tinggi.  Karena terdapat pula instrumen perundang-undangan yang mengatur penghinaan terhadap seorang individu. Sehingga bukan berarti ketika pasal penghinaan Presiden tidak dimasukkan dalam RUU KUHP, berbagai bentuk penghinaan Presiden tidak bisa diproses secara hukum.       

Pengamat Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Parahyangan (Unpar), Asep Warlan Yusuf menyatakan tidak sepakat jika penghinaan pada presiden dapat dipidana. Sebab, makna penghinaan pada presiden masih bias hingga kini. Jadi merumuskan konsepnya jangan langsung loncat ke KUHP, dibuat dulu definisi dan norma terkait penghinaan presiden. Saat ini belum ada UU khusus tentang konsep kehormatan dan kewibawaan presiden. Ini mestinya dibentuk dulu dalam sebuah UU baru.  Dari situ, nantinya akan dijelaskan secara detail apa itu konsep kehormatan dan wibawa presiden. Nanti juga diatur tindakan seperti apa yang digolongkan sebagai penghinaan presiden. Agar makna penghinaan menjadi tidak multitafsir. Sepakat bahwa presiden sebagai simbol negara mesti dihormati, namun, dengan langsung memasukkan pasal penghinaan presiden ke RUU KUHP, itu tidaklah tepat. Sebab penghinaan itu kan pasal karet, orang bisa subyektif memandang arti penghinaan itu.

Pengamat Hukum Tata Negara, Irman Putra Siddin menyatakan tak sepakat jika pasal penghinaan presiden masuk ke RUU KUHP yang baru. Konten serupa sudah pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Jadi pasal itu kan sudah pernah dibatalkan MK,kalau dihidupkan lagi berarti artinya melanggar konstitusi.

Pro dan Kontra elemen masyarakat dalam menyuarakan apakah Presiden termasuk simbol negara atau tidak merupakan cerminan masyarakat peduli kepada pemerintah. Namun demikian kita harus menyadari bahwa jabatan presiden, yang dipilih pada pelaksanaan Pemilu langsung  dipilih rakyat, kita harus menghormatinya. Kalau seandainya presiden dalam memimpin ada kekurangan, masyarakat boleh mengkritiknya asalkan membangun untuk mencarikan solusi, bukan menghina. Karena apabila menghina sama saja menghina rakyat Indonesia yang sudah mempercayakan Presiden Jokowi untuk memimpin Negara Indonesia  dalam 5 Tahun kedepan.

Kita harus mendukung,  pasal penghinaan terhadap presiden dihidupkan kembali, karena orang yang menghina presiden memang layak diproses secara hukum, walaupun nantinya pasal tersebut harus mengatur klasifikasi yang jelas mengenai perbuatan yang termasuk menghina atau hanya mengkritik, karena presiden selaku kepala negara harus dilindungi dari ancaman penghinaan. 

Sandi Saputra, penulis adalah pemerhati masalah sosial dan pemerintahan

 

 


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER