Membangun Keharmonisan dan Kedaulatan NKRI

  • 25 Agustus 2015
  • 00:00 WITA
  • Nasional
  • Dibaca: 4364 Pengunjung

Opini, suaradewata.com - Keharmonisan ditengah-tengah bangsa Indonesia telah tercoreng oleh kejadian di Tolikara Papua, sehingga untuk menyikapi hal tersebut tidak dapat dilakukan dengan emosi tetapi dengan menyerahkan seluruhnya kepada aparat kepolisian (hukum) sehingga kita secara bersama-sama harus meredam dampaknya dengan bergandengan tangan tanpa membeda-bedakan suku, agama, dan ras. Ancaman bagi keharmonisan bangsa saat ini bukanlah kejahatan konvensional tetapi proxy war, dimana para pelaku selalu menggunakan pihak ke-3 sehingga sulit menentukan siapa kawan atau lawan. Proxy war tersebut yaitu menyebarkan rasa dengki, tanamkan degradasi moral, materialistis, egois dan lainnya. Untuk itu, mari selalu berpegang teguh kepada Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan UUD 1945, kedepankan musyarawah untuk menyelesaikan berbagai masalah, seringlah mengadakan kegiatan-kegiatan komunitas untuk menjaga kebersamaan yang baik dan selalu waspada dan bijak dalam menyikapi isu-isu yang bersifat SARA yang disampaikan oleh kelompok-kelompok yang tidak bertanggung jawab. Mengutuk dan menyesalkan tindakan oleh kelompok orang yang tidak bertanggung jawab yang bertentangan dengan Norma Agama, norma kemanusiaan, dan norma hukum sebagaimana tercantum dalam Pancasila dan UUD 45. Saling menghormati dan toleransi dalam kehidupan umat beragama dan suku sehingga tetap terpelihara suasana yang kondusif, aman, tentram dan tertib, rukun serta damai sehingga semakin kokohnya keutuhan NKRI.

Asing Memperkeruh

Pemerintah harus waspada terhadap adanya upaya negara asing bermain dalam Kasus Tolikara Papua. Adanya indikasi tersebut ditemukan dari beberapa sumber masyarakat. Ulah provokasi dan pelanggaran yang dilakukan Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) seperti mewajibkan warga Tolikara jika tidak mengecat kediamannya seperti ruko, rumah, dan trotoar jalan diwajibkan dengan warna biru dan putih dengan bendera Israel. Jika tidak dikenakan sanksi denda Rp 500 ribu dan bagi pendatang akan diusir. Tidak hanya penduduk Muslim, seluruh masyarakat Tolikara ikut diwajibkan mengecat rumah mereka dengan warna bendera Israel. Masyarakat di Kabupaten Tolikara mengaku jika tidak mengikuti aturan GIDI, mereka akan diusir.  Alasan  pengecatan tersebut dalam rangka menyambut kedatangan pendeta dari Israel (Benjamin Berger). Untuk itu, sangat urgent dilakukan negara agar segera membekukan GIDI dan juga melakukan penangkapan terhadap orang-orang yang terlibat langsung atau tidak langsung terhadap insiden di Tolikara. Bukan tanpa alasan mengapa GIDI harus dibekukan karena tanpa disadari insiden Tolikara sebenarnya proses awal dari tindakan terorisme dan provokasi ifeltrasi asing. Untuk itu, seluruh pihak/elemen/elite yang lebih mementingkan upaya-upaya pencegahan sebelum masalah tersebut terjadi. Jika ada hal yang mengganggu ketertiban dan keamanan harap dibicarakan secara bersama agar tidak membesar atau meluas.

Jangan Memberikan Janji

Upaya penanganan separatisme di Indonesia termasuk di Papua oleh pemerintah secara komprehensif masih terus dilakukan melalui pendekatan kesejahteraan, namun demikian, sebagian kecil  masyarakat  Papua masih ada yang mendukung kelompok perjuangan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Dukungan ini utamanya lahir dikelompok masyarakat yang masih sulit terjangkau pembangunan atau belum maksimal merasakan hasil pembangunan karena faktor geografis yang sulit di Papua. Sehingga secara umum gerakan ini dapat ditemui di daerah pedalaman atau daerah pegunungan. Masih adanya kelompok yang menuntut Papua merdeka sebagai harga mati sebagai bentuk pemaksaan kehendak. Upaya kelompok tersebut menolak melakukan dialog dengan pemerintah dan hanya menginginkan Papua merdeka.  Bagi bangsa Indonesia, Papua merupakan bagian integral dari NKRI, tidak ada negara dalam negara. Sekecil apapun  gerakan separatis tidak bisa didiamkan harus dibasmi sampai keakar-akarnya dan ditindak secara tegas sesuai ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.  Bila terjadi  ketidakadilan dan penyelewengan, kita harus berikan  masukan dan koreksi. Tetapi, tentu bukan dengan cara melakukan aksi-aksi separatisme dan kekerasan bersenjata. Namun, dengan pendekatan wawasan kebangsaan dalam kerangka NKRI dan pelaksanaan pembangunan disegala bidang untuk mensejahterakan masyarakat di Papua. Perlu diingat “Jangan janji yang diberikan namun pelaksanaan nyata yang dibutuhkan”.

Membangun Kerangka NKRI

Di dalam mengejar ketertinggalan di Papua, pemerintah  terus melakukan upaya-upaya termasuk memberlakukan otonomi khusus, walaupun  nampaknya belum mencapai hasil sebagaimana yang diharapkan.  Upaya memberikan kesadaran, pemahaman dan pencerahan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kerangka NKRI dan  wawasan kebangsaan pada diri masyarakat Papua, perlu terus dilakukan secara terus menerus agar masyarakat di Papua sadar bahwa dirinya merupakan bagian dari bangsa Indonesia dari Sabang sampai Marauke yang memiliki beragam suku, bahasa, adat istiadat dan memiliki ciri khas masing-masing daerah. Terutama pembangunan sarana  dan prasarana infrastruktur untuk menjalankan roda perekonomian Papua sehingga kesejahteraan masyarakat akan terpenuhi. Hidup dalam NKRI yang menunjukan satu atas keberagaman memuat lebensphilosphie, yang tinggi dalam konteks eksistensi Indonesia. kehidupan bersama dalam rumah Indonesia adalah kemampuan merawat Indonesia dari berbagai ruang kehidupan di Indonesia, yang berdasarkan pada penguatan menjaga rasa kebersamaan dalam setiap langkah manusia Indonesia guna mencapai kebaikan hidup bersama.“Semua pihak dan seluruh lapisan masyarakat di Indonesia untuk tidak mudah terprovokasi, menjunjung tinggi konstitusi, mempererat persatuan dan kesatuan bangsa serta memelihara dan mempertahankan persaudaraan yang telah terjalin, kerukunan, keamanan, ketentraman dan ketertiban masyarakat agar kegiatan pembangunan dapat berjalan dengan lancar demi terwujudnya masyarakat yang sejahtera, agamis dan produktif.”

Terciptanya Komitmen Media Massa

Media penyiaran adalah medium raksasa yang setiap saat hadir sebagai ruang publik yang menjadi cermin bagi siapapun yang menontonnya. Dampaknya demikian besar terhadap keberlangsungan kehidupan manusia. Perkembangan sosial politik di dalam masyarakat bangsa ini tidak bisa dipisahkan dari bagaimana semuanya direpresentasikan di dalam berbagai media komunikasi, khususnya televisi. Dunia sosial politik dan dunia televisi adalah dua dunia yang saling berhubungan di dalam masyarakat informasi dewasa ini meskipun ada relasi yang problematic di antara keduanya. Demokrasi di Indonesia sedang mencari bentuk. Dalam eksperimentasi politik yang demokratis ini, masa transisi acapkali membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk sampai pada bentuk sistem demokrasi yang solid. Media massa dalam pemberitaannya mempunyai moral obligation, untuk mempertahankan dan mendorong semangat masyarakat menjalani masa transisi ke era demokratisasi. Dalam masyarakat transisi acapkali terjadi apa yang disebut cultural inertia, yaitu kecenderungan masyarakat tidak suka dengan perubahan yang berlarut-larut, kecuali mereka yakin betul bahwa perubahan itu akan membawa perbaikan. Sebab itu masyarakat sering merindukan aspek-aspek positif keadaan masa lalu. Banyak orang yang mulai menganggap, keadaan sebelum reformasi dianggap lebih aman, lebih stabil dan lebih normal, sehingga mereka cenderung tidak tahan dengan masa transisi dan setuju dengan bentuk pemerintahan represif seperti pada masa orde baru. Padahal kalau sampai set back pada bentuk sistem politik yang lama, itu berarti sebuah tragedi bagi Indonesia. Di sinilah media perlu mendorong proses demokratisasi, termasuk mendorong perubahan-perubahan yang lebih reformatif.Media massa Indonesia menghargai privasi dan hak azasi secara umum. Kendati media massa mengungkap berbagai hal seakan-akan didasarkan pada people’s right to know, namun tidak semua aspek kehidupan layak diungkap di media. Hak masyarakat untuk mengetahui hanya relevan untuk peristiwa-peristiwa publik yang memang jika diungkap memberikan nilai tambah bagi masyarakat luas. Untuk itu, pada dasarnya media yang demokratis harus memwujudkan 3 karakteristik, yakni pertama, terdapat independensi dari media yang ada, artinya tidak ada campur tangan baik dari pemerintah maupun monopoli swasta, termasuk di sini kepentingan pasar. Kedua, media memiliki pertanggungjawaban secara profesional baik kepada masyarakat maupun kepada pengguna/khalayak. Ketiga, sistem media harus tetap menjamin adanya keberagaman, baik secara politik maupun sosial.

NKRI harga mati!! tidak boleh lepas!!.

Fajri Permana adalah Pengamat Masalah Bangsa


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER