Lagi, Soal Bendera Aceh

  • 21 Agustus 2015
  • 00:00 WITA
  • Nasional
  • Dibaca: 3423 Pengunjung

Opini, suaradewata.com- Sejak tahun 2013 lalu  Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)  mengesahkan Qanun Aceh Nomor 3 tentang lambang dan bendera Aceh. Bendera Aceh yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yaitu warna dasar merah dengan garis putih dan hitam. Di tengahnya terdapat bulan sabit dan bintang berwarna putih. Bendera tersebut mirip dengan bendera yang digunakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) saat konflik berkecamuk. Pantas saja kalau pemerintah pusat menolak bendera tersebut dan meminta untuk mengubah agar tidak sama dengan bendera GAM, tetapi Pemerintah Provinsi Aceh serta DPRA tetap mempertahankannya sampai saat ini. Demikian pula dengan masyarakat Aceh yang selama ini mendukung pejuangan GAM, sudah sering  kali mengibarkan bendera tersebut,  meski akhirnya diturunkan oleh aparat keamanan. Pada saat Qanun disahkan, masyarakat yang berada di daerah yang sebelumnya merupakan basis GAM secara beramai-ramai langsung menaikan bendera Aceh tersebut, dan melakukan unjuk rasa ketika aparat keamanan menurunkan bendera-bendera tersebut.  Aksi protes itu bukan saja oleh masa yang berasal dari Komite Peralihan Aceh (KPA) saja, tetapi juga diikuti para calon legislatif yang berasal dari Partai Aceh.

Nampaknya pemerintah Aceh memanfaatkan masalah lambang dan bendera Aceh ini guna  menuntut beberapa kewenangan yang selama ini menjadi  tugas pemerintah  pusat. Pemerintahan Jokowi/JK melalui Mendagri kemudian menyatakan pemerintah pusat memberi tambahan dua kewenangan terkait masalah  pertanahan, yakni Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB). Sedangkan  daerah lain  hanya memiliki  sembilan kewenangan saja,  yakni izin lokasi, pengadaan tanah untuk kepentingan umum, penyelesaian sengketa tanah garapan, penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan.  Berikutnya, penetapan subyek dan obyek retribusi tanah serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee, penetapan tanah ulayat, pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong, dan perencanaan penggunaan tanah wilayah. Sementara di sektor migas, pemerintah memberi sinyal persetujuan kepada Aceh untuk mengelola sumber minyak dan gas yang berada di luar Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sejauh 12 mil dari garis pantai. Terkait hal ini pemerintah  meminta agar dalam mengelola pertambangan di pulau-pulau terluar dan pesisir di Aceh, harus sesuai dengan hukum yang berlaku yaitu pada batas 12 mil laut dari garis pantai. Namun ternyata pemerintah Aceh menolak dan mengartikan  sama seperti zaman kerajaan sampai Selat Malaka.

Desakan pemerintah pusat agar Aceh mengubah bendera sudah dilakukan sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Kementerian Dalam Negeri  sudah belasan kali mengadakan pertemuan dengan para pemangku kepentingan Aceh untuk mengubah bendera, namun hasilnya masih nihil. Tarik ulur perihal bendera Aceh sepertinya masih akan alot, bahkan Gubernur Aceh, Zaini Abdullah dengan enteng  mengatakan pemerintah pusat mestinya tidak perlu mempermasalahkan bendera dan fokus pada pembahasan kewenangan Aceh sebagai daerah otonomi khusus, karena tidak ada permasalahan dengan bendera. Intinya sampai sekarang pemerintah Aceh belum merubah Qanun tentang lambang dan bendera Aceh sesuai dengan aturan pemerintah. Pemerintah pusat  berpegang teguh pada Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah. Dalam Pasal 6 Ayat (4) disebutkan bahwa,  desain logo dan bendera daerah tidak boleh mempunyai persamaan dengan desain logo bendera organisasi terlarang atau gerakan separatis. Posisi pemerintah pusat tetap sama, masih menunggu usulan pemerintah Aceh untuk mengubah Qanun.

Biar bagaimanapun pemerintah harus bisa memaksa pemerintah Aceh untuk mengubah lambang dan bendera Aceh, bukan saja karena  hal itu bertentangan dengan aturan  perundang-undangan yang berlaku, tetapi jika tetap dibiarkan langkah itu pasti akan diikuti daerah lain. Jika Aceh boleh memiliki lambang dan bendera sendiri yang identik dengan lambang dan bendera gerakan separatis, masyarakat daerah lain yang terdapat gerakan separatis juga akan menuntut hal yang sama.  Kita semua mengetahui saudara-saudara kita di Papua ketika membentangkan  bendera bintang kejora dalam setiap aksi unjuk rasa, selalu mendapat tindakan represif dari aparat keamanan. Demikian juga dengan mereka yang berasal dari Maluku, sejauh ini sudah puluhan aktivis yang tergabung dalam Repbulik Maluku Selatan (RMS) diproses hukum dan masih  berada dalam penahanan di berbagai lembaga pemasyarakatan, hanya karena diketahui mengibarkan bendera benang raja. Jika masalah lambang dan bendera Aceh dibiarkan berlarut-larut dan pemerintah tetap menolak bahkan menindak pengibaran bendera Papua Merdeka dan RMS, pemerintah akan dianggap  menerapkan standar ganda dan rawan digugat di pengadian internasioanl terkait pelanggaran HAM.

Sebenarnya  salah satu fasilitator perdamaian Aceh, Juha Chirstensen sudah  menyatakan bahwa dalam MoU (nota kesepahaman), bendera Aceh tidak boleh sama dengan bendera GAM. Permasalahan bendera harus segera diselesaikan oleh Pemerintah Aceh dengan Pemerintah Pusat,  agar tidak menimbulkan rasa tidak saling percaya. Juga antara pemerintah pusat dengan daerah lain. Karena itu sebenarnya tidak ada alasan kuat dari pemerintah Aceh dan DPRA untuk segera mengubah Qanun tersebut, jika memang tidak memiliki agenda tersembunyi. Apalagi pemerintah pusat sudah memberikan tambahan kewenangan kepada Pemprov Aceh. Dugaan agenda tersembunyi sebenarnya sudah diwanti-wanti Ketua DPR, Agung Laksono sehari setelah penanda tanganan perjanjian damai antara pemerintah RI dengn GAM. Dalam dalam pidato pengantar masa sidang DPR di Gedung DPR, Agung Laksono meminta pemerintah mewaspadai kemungkinan adanya agenda tersembunyi dari pihak-pihak lain pasca penandatanganan MoU itu. Karena itu patut juga diduga ada  Hidden Agenda dalam pengesahan bendera Aceh, mungkin ada kekuatan asing yang ikut bermain dalam pengesahan Bendera Aceh.

Pemerintah Aceh serta DPRA terlihat tidak serius menanggapi permintaan pemerintah pusat untuk mengubah Qanun Aceh nomor 3 tersebut, maka sekarang bola berada ditangan pemerintah. Sepanjang bendera Aceh masih tetap sama dengan bendera GAM, pemerintah pusat tidak boleh  mengakui lambang dan bendera itu,  kalau disetujui sama saja dengan pemerintah  turut melegalkan gerakan separatis yang menjurus pada pemisahan diri dari NKRI. Sesuai konsensus internasional tidak boleh ada negara yang melegalkan gerakan separatis.  Pemeritah pusat diminta memberikan  batas waktu kepada pemerintah Aceh utuk menyelesaikan permasalahan ini. Jika sampai batas waktu yang ditentukan, ternyata  bendera Aceh belum diganti pemerintah dapat memerintahkan aparat keamanan untuk menangkap dan memproses secara hukum setiap orang yang mengibarkan atau diketahui menyimpan bendera Aceh. Perlakukan mereka sama dengan aparat keamanan memperlakukan aktivis separatis di daerah lain selama ini. Langkah tegas ini diperlukan,  karena tidak boleh ada negara dalam negara.

Dengan adanya resafel kabinet terutama penggantian Menko Polhukam,  masyarakat Indonesia yang sangat mencintai keutuhan NKRI berharap pemerintah pusat dapat segera menyelesaikan permasalahan ini, tanpa perlu menunggu itikat baik dari pemerintah Aceh agar  mau menyelesasikannya. Langkah tegas demi menjaga stabilitas politik harus ditegakan agar plesetan Indonesia dimasa depan akan kehilangan Papua dan Sumatera hanyalah slogan kosong semata.

Andreawaty, penulis adalah pemerhati masalah bangsa

 


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER