Waspadai Provokator Yang Merusak Perdamaian Aceh

  • 15 Agustus 2015
  • 00:00 WITA
  • Nasional
  • Dibaca: 6371 Pengunjung

Opini, suaradewata.com - Bicara Aceh, tidak terlepas dari  kelahiran negara Republik Indonesia. Lima hari setelah Republik Indonesia diproklamasikan, Aceh menyatakan dukungan sepenuhnya terhadap kekuasaan pemerintahan yang berpusat di Jakarta. Dibawah Residen Aceh, yang juga tokoh terkemuka, Tengku Nyak Arief, Aceh menyatakan janji kesetiaan, mendukung kemerdekaan RI dan Aceh sebagai bagian dari NKRI. Pada 23 Agustus 1945, sedikitnya 56 tokoh Aceh berkumpul dan mengucapkan sumpah, kecuali Mohammad Daud Beureueh, seluruh tokoh dan ulama Aceh mengucapkan janji setia kepada Indonesia.

Di era pemerintahan Soeharto, terjadi industrialisasi di Aceh. Presiden Soeharto benar-benar mencampakkan adat dan segala penghormatan rakyat Aceh. Segala macam yang bertentangan dengan Islam dan adat rakyat Aceh, dilahirkan. Kekayaan alam Aceh dikuras melalui pembangunan industri yang dikuasai orang asing melalui restu pusat. Sementara rakyat Aceh tetap miskin, pendidikan rendah, kondisi ekonomi sangat memprihatinkan.  Melihat hal ini, Daud Beureueh dan tokoh tua Aceh yang tadinya sudah tenang kemudian bergerilya kembali untuk mengembalikan kehormatan rakyat, adat Aceh dan agama Islam. 

Pertemuan digagas tahun 1970-an. Mereka sepakat meneruskan pembentukan Republik Islam Aceh, yakni sebuah negeri yang mulia dan penuh ampunan Tuhan.  Mereka sadar, tujuan itu tak bisa tercapai tanpa senjata. Lalu diutuslah Zainal Abidin menemui Hasan Tiro yang sedang belajar di Amerika. Pertemuan terjadi tahun 1972 dan disepakati Hasan Tiro akan mengirim senjata ke Aceh. Zainal tak lain adalah kakak Tiro.  Karena, senjata tidak juga dikirim sehingga tokoh-tokoh Aceh seperti Hasan Asleh, Jamil Amin, Zainal Abidin, Ilyas Leubee, dan lainnya berkumpul di kaki Gunung Halimun, Pidie untuk membicarakan pergerakannya.Gerakan Aceh Merdeka (GAM) akhirnya didirikan pada 4 Desember1976.

Selama empat hari bersidang, Daud Beureueh ditunjuk sebagai pemimpin tertinggi. Sementara Hasan Tiro yang tidak hadir dalam pendirian GAM itu ditunjuk sebagai wali negara.  GAM terdiri atas 15 menteri, empat pejabat setingkat menteri dan enam gubernur. Mereka pun bergerilya memuliakan rakyat Aceh, adat, dan agamanya yang diinjak-injak Soeharto.  Keinginan Aceh untuk lepas dari NKRI dipicu  karenaAceh hanya dijadikan sebagai daerah eksploitasi sumber daya alam yang banyak menguntungkan pemerintah pusat dan bangsa asing. Kecemburuan sosial sebagai akibat program transmigrasi  yang mendatangkan orang Jawa dalam jumlah besar yang dianggap sebagai pesaing rakyat Aceh di daerahnya sendiri.Selain GAM, juga muncul gerakan Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) yang menuntut kemerdekaan Aceh melalui pelaksanaan referendum.

Pasca reformasi, masalah GAM di Aceh masih belum begitu kondusif masih ada tarik menarik kepentingan dari kedua belah pihak GAM dan pemerintah. Usaha meredakan ketegangan di Aceh telah diupayakan. Beberapa perundingan telah dilaksanakan, diantaranya, pada tanggal 9 Desember 2002 diadakan perundingan antara pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Jenewa, Swiss atas prakarsa Henry Dunant Centre, yang dikemas dalam program “Jeda Kemanusiaan”. Upaya perundingan ini belum dapat mewujudkan kehidupan damai di Aceh.

Pada tanggal 15 Agustus 2005, di Helsinki, Finlandia dengan Fasilisator Crisis Management Initiative pimpinan Martti Ahtisaari, Pemerintah Indonesia dan GAM,  akhirnya menyetujui Nota Kesepahaman (MoU) Perdamaian yang berisi: Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bersedia untuk menyerahkan seluruh senjatanya, Pemerintah Republik Indonesia setuju untuk menarik seluruh Tentara Nasional Indonesia yang dikirim ke Aceh, Pemerintah Republik Indonesia setuju untuk memberikan Otonomi Khusus untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam bingkai NKRI.

Faktor alamiah terjadinya tsunami, 2004,  juga telah mendorong sekaligus mempercepat kedua belah pihak untuk memikirkan terobosan-terobosan baru mengakhiri perang dan menyelesaikan masalah separatis yang telah berlangsung puluhan tahun. Kebutuhan akan dana bagi rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dan Nias turut mendorong dilakukannya perjanjian. Setelah musibah tersebut, seolah-olah sekat ideologis yang selama ini menjadi penghambat hubungan NKRI-masyarakat  Aceh dan pihak GAM relatif melunak, Pemerintah pusat memiliki peluang yang amat besar untuk masuk ke Aceh secara mudah dan diterima rakyat Aceh,  demikian pula dengan pihak luar, NGO’s domestik dan internasional untuk membantu rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh pasca-tsunami.

Wali Nanggroe, PYM Malek Mahmud Al-Haytar, mengajak kepada semua anggota legislatif untuk benar-benar menjaga kekompakan dalam memperjuangkan segala aspirasi rakyat Aceh. Dengan adanya kekompakan dan rasa sinergitas ini mampu menciptakan kesejahteraan Aceh dan bermartabat. Sebenarnya potensi Aceh itu tidak hanya dari segi kekayaan alamnya, namun juga sumber intelektualnya yang mampu melahirkan putra-putri Aceh dalam membangun Aceh. Peradaban masyarakat Aceh semakin hari semakin tenggelam. Karena kebanggaan masyarakat Aceh yang pernah berjaya semakin rendah akibat kurangnya rasa kekompakan dan rasa sinergitas dalam membangun Aceh.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh, Iskandar Usman Al-Farlaky, mengatakan  perdamaian di Aceh harus menjadi tanggungjawab bersama. Sejarah di Aceh telah mencatat, perang bukan solusi untuk memberantas kelompok bersenjata.    Meminta kepada pemerintah Aceh untuk duduk dan berpikir jernih menangani berbagai persoalan dengan bijak termasuk soal situasi terkini di Aceh. Kebanyakan dari mereka yang melakukan kekerasan bersenjata akhir-akhir ini juga mantan kombatan GAM. Mereka bagian dari konflik masa lalu yang belum tersentuh kesejahteraan, maka tugas pemerintah untuk melakukannya.

Hasil yang telah ditandatangani oleh kedua belah GAM dan Pemerintah RI  pihak pada 15 Agustus 2005 yang lalu, karena adanya keinginan yang kuat dari kedua pihak untuk melakukan kompromi, dan ini sebagai faktor penting dalam terwujudnya titik terang perdamaian.Sejak ditandatanganinya MoU Helsinki,  Aceh mulai memasuki kehidupan baru, GAM beritikad menghentikan keinginan untuk membentuk Negara Aceh Merdeka.

 Tugas pemerintahan di Aceh yangb  nota bene mantan pemimpin GAM, adalah dapat  menyakinkan segelintir  kelompok  yang masih melakukan perlawanan dengan kekerasan,  bahwa perdamaian adalah salah satu cara  dan langkah terbaik untuk membangun Aceh.  Perlawanan melalui senjata telah usai, jangan kita tergiring untuk mengkriminalisasi perdamaian yang telah kita wujudkan sendiri dengan  tangan sendiri oleh tangan orang lain.

 Statment Gubernur  Aceh Zaini Abdullah  yang menyatakan, pihak keamanan di Aceh siap untuk memerangi para perusak damai, yang membunuh dua anggota Kodim Aceh Utara di kawasan Nisam Antara, Senin 23 Maret dan pengedar narkoba yang menembak mati seorang anggota Sabhara Polres Pidie, di Tangse, Rabu 25 Maret harus kita dukung  sebagai tindakan dari  pemerintah yang menginginkan kepastian hukum dan melindungi warganya.   Karena saat ini Aceh sedang membangun untuk mengejar ketertinggalan dari provinsi lainnya. Masyarakat harus memberikan dukungan penuh kepada pemerintah agar pembangunan yang diinginkan masyarakat cepat terealisasi. Marilah  membangun Aceh secara bersama-sama setelah kita melewati berbagai fase antara konflik dan tsunami.

Diperlukan adanya visi dan misi yang sama dalam membangun Aceh sesuai dengan kepentingan nasional, mewaspadai adanya provokator atau segelintir oknum yang ingin memperkeruh suasana damai di Aceh.   Perlu kita sadari bahwa negara Indonesia ini tidak akan aman jika suasana Aceh masih belum aman dan kondusif. Perhatian pemerintah pusat dalam membangun Aceh benar-benar serius. Oleh karenanya rakyat Aceh harus kompak, tanpa adanya kekompakan maka Aceh ini akan terpecah belah.   Semua orang tahu bahwa Aceh pernah menjadi daerah modal bagi kemerdekaan RI, dalam proses kelahiran RI, rakyat Aceh mengorbankan segala-galanya, mulai tenaga, pikiran hingga harta benda yang tak terhitung jumlahnya.

Tengku Pasha, penulis adalah pemerhati masalah Aceh


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER