Mengapa Konflik Tolikara Terjadi?

  • 04 Agustus 2015
  • 00:00 WITA
  • Nasional
  • Dibaca: 10325 Pengunjung

Opini, suaradewata.com - Beberapa waktu lalu masyarakat Indonesia telah digegerkan dengan pemberitaan tentang adanya konflik horizontal, konflik mengatasnamakan agama. Konflik tersebut terjadi di Tolikora Papua, tepatnya pada tanggal 17 juli 2015 yang sekaligus bertepatan dengan hari raya idul fitri 1436 H. Berdasarkan pemberitaan dari berbagai media massa bahwa konflik yang terjadi saat akan melaksanakan sholat idul fitri tersebut menyebabkan ruko dan masjid terbakar dan juga menewaskan 1  orang serta beberapa orang luka-luka.

Namun demikian, terlepas dari dampak dari insiden tersebut hal yang harus diperhatikan secara seksama adalah lebih tentang penyebab konflik agama tersebut. Pasalnya berdasarkan isu yang berkembang bahwa konflik tersebut hanya di tengarai oleh hal sepele, yaitu speaker yang digunakan oleh warga muslim untuk menyuarakan atau mengajak sholat idul fitri secara berjamaah.

Menariknya adalah mengapa hal yang begitu sepele tersebut dapat menjadi sumber terjadinya konflik antar agama di Indonesia. Bukankah berdasarkan UUD 1945 Pasal 29 telah dijelaskan bahwa setiap warga Indonesia berhak untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing masing dan negara Indonesia menjamin sepenuhnya hak-hak tersebut. Selain itu, di dalam pelajaran dan pendidikan sehari-hari baik semasa kecil hingga dewasa pun kita telah diajarkan tentang nilai-nilai toleransi antar umat beragama.

Jika melihat konflik di tolikora tersebut dimana ditengaai oleh hal yang sepertinya sangat sepele, maka wajar jika kiranya kita memiliki asumsi yang sedikit negatif. Mungkinkah ada aktor intelektual di balik kejadian tersebut? Apa motifnya? dan apa sebenarnya tujuan besar dari kejadian tersebut?

Mengacu hal itu, kiranya terdapat beberapa hipotesa atas kejadian tersebut, diantaranya yaitu:

1.        Konflik mengatasnamakan agama tersebut adalah dendam lama yang menghangat kembali, baik dendam masyarakat asli Papua atau dendam di daerah lain yang dimanfaatkan saat pelaksanaan kegiatan di Papua

2.        Konflik mengatasnamakan agama tersebut adalah settingan oknum tertentu dalam hal ini tindakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) atau anasir asing yang tidak suka dengan kedamaian dan ketentraman di Papua dengan tujuan agar masyarakat di Papua kembali bergejolak

3.        Konflik tersebut murni disebabkan karena keteledoran para pemangku dan tokoh-tokoh masyarakat karena belum berhasil memberikan rasa aman, nyaman dan tentram bagi masyarakat Indonesia yang ada di Papua

Terlepas dari hal itu semua, kiranya konflik yang terjadi di Tolikora Papua perlu menjadi pembelajaran bagi kita semua bahwa konflik yang mentasnamakan Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA) masih menjadi isu strategis yang sangat rentan ditunggangi oleh kepentingan oknum-oknum tertentu. Mungkin saat ini di Tolikora Papua, namun jika tidak segera ditindak lanjuti secara cepat oleh berbagai pihak khsusunya pemerintah maka tidak menutup kemungkinan konflik yang sama dapat kembali terulang, meskipun di daerah yang berbeda.

Selain itu, hal yang harus menjadi perhatian adalah sikap media dalam menanggapi suatu masalah tertentu. Media massa tersebut entah dengan alasan apa bukannya berupaya untuk memberikan pemberitaan secara bijak namun justru terkesan menyulut emosi masyarakat. Padahal fungsi media adalah sebagai media control bukan media provokator. Dimana pemberitaan media massa tersebut diantaranya adalah :

a.       Liputan6.com

Sebelumnya menerbitkan berita “Puluhan Rumah dan Tempat Ibadah di Tolikara Papua Dibakar”. Namun kemudian dihapus. Artikel kedua adalah "JK: Rumah Ibadah di Papua Dibakar Dipicu Soal Speaker" yang juga akhirnya dihapus.

b.      MetroTVNews.com

Sebelumnya membuat berita “Saat Imam Takbir Pertama, Sekelompok Orang Datang dan Lempari Musala di Tolikara” kemudian diganti judul menjadi “Amuk Massa Terjadi di Tolikara”. Berita Kedua, mereka juga membuat berita “Musala Dibakar di Tolikara Papua, Kapolri Minta Warga Berdamai” kemudian diganti judul menjadi “Tolikara Rusuh, Kapolri Minta Warga Berdamai”. Selaitu, mereka juga membuat berita “Kasus Pembakaran Musala, JK Minta Warga Papua Saling Menghormati” diganti judul menjadi “Rusuh di Tolikara, JK Ingatkan Warga Saling Menghormati”. Tidak hanya judul namun isi dan kontennya pun banyak di rubah.

c.       Tempo.co

Sebelumnya membuat berita “Rusuh di Wamena, Warga Diungsikan” yang kemudian diganti dengan berita “Rusuh di Tolikara, Warga Diungsikan”. Selanjutnya, mereka membuat berita “Bentrok Wamena Bermula dari Salat Ied, JK: Semua Tahan Diri”, kemudian diganti dengan berita “Bentrok Tolikara Bermula dari Salat Id, JK: Semua Tahan Diri”. Tidak hanya itu isi berita pun berubah.

Sumber : http://screensay.com/article/1250/berita-tolikara-berubah-ada-apa-dengan-media

Untuk itu, kiranya diperlukan kerjasama dari berbagai pihak baik itu pemerintah (TNI/ Polri dan pemerintah daerah), tokoh masyarakat, tokoh adat, maupun tokoh pemuda termasuk media massa guna menjaga kondusifitas daerah dan sikap toleransi antar umat beragama. Karena bangsa dan negara ini tidak akan dapat tumbuh berkembang menjadi negara maju jika setiap antar pribadi masyarakatnya masih mempermasalahkan hal-hal sepele yang justru hanya akan membuat negara ini terpecah belah. Kita punya Pancasila yang merupakan falsafah yang bersumber dari akar kepribadian kita namun tidak dipedomani dan dilaksanakan secara maksimal, Semoga bangsa ini dapat menghargai perbedaan antar sesama. Amin.

Moh. Rifky Gambiro, Penulis adalah pemerhati masalah sosial, aktif pada Kajian Kebangsaan untuk Kerukunan dan Kesejahteraan.


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER