Usulan Dana Aspirasi Harus Ada Kajian

  • 17 Juli 2015
  • 00:00 WITA
  • Nasional
  • Dibaca: 3210 Pengunjung

Opini, suaradewata.com- Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) atau disebut juga  dana aspirasi untuk setiap anggota DPR per tahun sebesar Rp 20 miliar akhirnya disahkan juga dalam rapat paripurna DPR, pada Selasa, 23 Juni 2015,  di gedung DPR Senayan, Jakarta.Dari 10 Farksi yang ada, tujuh fraksi mendukung yaitu Fraksi Golkar, Gerindra, Demokrat, PPP, PAN, PKB dan  PKS, Sementara  Fraksi Partai NasDem, Fraksi Hanura, dan Fraksi PDI Perjuangan menyatakan penolakan. Keputusan tersebut menimbulkan pro dan kontra, antara lain dari berbagai elemen yang ada  karena dana aspirasi antara lain  dianggap akan memangkas peran dari pemerintah daerah.

Miryam S Haryani, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Hanura, pada 24 Juni 2015 mengatakan permintaan untuk menolak Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) alias dana aspirasi tersebut sudah disampaikan kepada Presiden, karena dalam implementasinya dana aspirasi  rawan penyelewengan. Pengajuan dana aspirasi oleh DPR tersebut sangat tidak sesuai dengan semangat pencegahan dan pemberantasan korupsi serta pemerataan pembangunan di Tanah Air. 

 Andreas Susetyo, politisi PDIP, mengatakan  Presiden seharusnya menolak usulan dana aspirasi, karena program tersebut mempunyai sejumlah dampak negatif,  meski DPR mengesahkan payung hukumnya melalui sidang paripurna. Pengajuan dana aspirasi DPR tersebut masih belum final menyusul belum adanya pernyataan dari pemerintah untuk ikut membahas usulan dana itu. Semua tergantung Presiden apakah program ini akan disetujui apa tidak. Selain berisiko diselewengkan oleh DPR sebagai pengusul dan pemerintah daerah sebagai pelaksana proyek, dana tersebut juga berisiko tumpang tindih dengan rencana kerja pemerintah (RKP) yang sudah disusun matang oleh pemerintah sesuai dengan musrenbang.

Resiko penyelewengan juga dinyatakan oleh  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sudah dimintai pendapat oleh pimpinan DPR sebelum mengesahkan peraturan DPR yang menjadi payung hukum usulan dana aspirasi. Zulkarnain, Wakil Ketua KPK, berpendapat bahwa usulan dana aspirasi tersebut mampu memunculkan masalah yang lebih serius. Untuk itu, KPK meminta DPR untuk lebih berhati-hati dalam mengimplementasikan dana aspirasi tersebut. Implementasi dana aspirasi yang sudah sesuai dengan UU MD3 tersebut masih memerlukan sistem yang antara lain mengatur petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan.  Semua lini, baik pemerintah dan DPR harus siap mengelola dana tersebut.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus, mengatakan, rencana anggota DPR untuk meminta dana aspirasi telah memangkas peran pemerintah daerah, karena sebagian besar pembangunan infrastruktur di daerah adalah tanggung jawab pemerintah daerah (Pemda).Pembangunan infrastruktur di daerah sebenarnya telah dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Adapun beberapa infrastruktur dalam skala besar biasanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat atau kementerian yang terkait.Mempertanyakan sikap pemerintah daerah yang berdiam diri atas usulan dana aspirasi itu. Tidak adanya kritik atau penolakan dari pemda patut dicurigai sebagai upaya pemda untuk mendapat keuntungan melalui pencairan dana aspirasi.

Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti, mengatakan  mekanisme pengalokasian dana aspirasi DPR tidak sejalan dengan rencana pembangunan nasional. Ini karena perbaikan infrastruktur daerah sebagian besar merupakan tanggung jawab pemerintah daerah. Berharap Presiden Joko Widodo segera menyatakan sikap untuk menolak usulan dana aspirasi.Presiden dapat beralasan bahwa dana aspirasi tersebut menyalahi ketentuan yang diatur dalam perencanaan nasional, melampaui pengelolaan negara, dan mendegradasi kerja dan fungsi DPR.

Sekretaris Jenderal, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra),  Yenny Sucipto, mengatakan mendukung penolakan dana aspirasi, karena dana aspirasi menyalahi Undang-Undang Keuangan Negara yang mengatur kewenangan penentuan anggaran di tangan pemerintah. Dana aspirasi juga akan menimbulkan ketimpangan wilayah karena disalurkan berdasarkan anggota DPR. Sistem perwakilan akan menguntungkan wilayah padat penduduk karena akan mendapat dana aspirasi lebih besar dibanding daerah yang sedikit pemilihnya.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Andrinof A. Chaniago, mengatakan Pemerintah menolak usul DPR  untuk memasukkan dana aspirasi ke dalam RAPBN 2016. Usulan dana yang dikemas dalam Program Pembangunan Daerah Pemilihan ini bertentangan dengan Nawa Cita atau sembilan program prioritas yang menjadi visi dan misi pemerintah Presiden Joko Widodo.     Presiden menolak usulan dana ini karena tidak sesuai dengan kewenangan Dewan dalam penentuan anggaran. Dewan hanya berwenang melakukan pengawasan, sementara penentuan anggaran menjadi kewenangan eksekutif.

Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang mengatakan kelemahan dalam birokrasi untuk menyelenggarakan pembangunan memang diakui ada. Tetapi justru dengan adanya kelemahan itu, DPR harus bisa memperbaiki persoalan birokrasi dengan memberikan masukan ke pemerintah pusat.

 Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kallapada 2 Juli 2015 terhadap usulan Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) atau dana aspirasi  menyatakan dana aspirasi sama dengan dana taktis, dana taktis ialah dana cadangan untuk hal-hal atau keperluan yg mendadak (mendesak) yang tidak dapat direncanakan sebelumnya sehingga sulit untuk dipertanggungjawabkan dalam bentuk laporan, Menteri saja tidak punya dana taktis.

 Mempertanyakan perbedaan dana aspirasi dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dibahas bersama pemerintah dengan DPR. Postur APBN selama ini merupakan cermin dari proses politik anggaran yang dirancang bersama DPR berdasarkan aspirasi rakyat yang berkembang. DPR tidak salah juga memberikan saran ke pemerintah, tapi hanya aspirasi bukan dana aspirasi.  Mengkhawatirkan jika usulan dana aspirasi DPR sebesar Rp 11,2 triliun diluluskan pemerintah, maka anggota Dewan Perwakilan RakyatDaerah (DPRD) juga latah dan meminta alokasi serupa di daerah.  Ketimbang menerima dan mengesahkan dana aspirasi, lebih baik pemerintah fokus pada mempercepat perizinan dan pencairan dana daerah yang diyakini mampu mempercepat pembangunan di daerah.

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Taufik Kurniawan mengatakan,kami hargai sikap dan pandangan fraksi, apapun sikap mereka. Silakan bagi yang mau menggunakan haknya. Bagi yang tidak mau menggunakan, juga tidak apa-apa. Pihaknya akan memberikan usulan dana aspirasi dari ketujuh fraksi tersebut  bukan hanya ke Presiden, tetapi juga ke Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Anggota Komisi VI DPR fraksi Golkar Muhammad Sarmuji menyatakan munculnya wacana dana aspirasi disebabkan karena birokrasi di Indonesia yang lemah. Indonesia, menempati ranking 12 sebagai negara yang birokrasinya paling buruk di dunia. Kelemahan birokrasi ini yang membuat perencanaan pembangunan menjadi terhambat.Teorinya eksekutif mengeksekusi dan parlemen mengawasi. Tetapi ada bagian dimana muncul celah-celah yang tidak dilaksanakan birokrasi. Dana aspirasi ini ditujukan untuk mengatasi celah akibat birokrasi. Pihak yang dianggap paling mengetahui celah birokrasi adalah parlemen karena ada masukan dari aspirasi konstituen di daerah pemilihannya (dapil). Agar lebih efektif menurutnya perwakilan di tiap dapil bisa bertemu untuk menyepakati persoalan apa yang paling mendasar dan akan dialokasikan ke kabupaten mana. Cara tersebut bisa menghapus fakta adanya kelemahan-kelemahan dalam pembangunan di daerah.

 Mantan anggota DPR fraksi PAN M. Yasin Kara mengatakan pada 2004, total APBN sebanyak Rp500 triliun dan penyerapan anggaran hanya 70 persen. Tidak terserapnya semua anggaran disebabkan karena ada pemborosan yang terjadi dalam birokrasi. Akibatnya dalam pengawasan anggaran tersebut, DPR berhadapan dengan birokrasi.Birokrasi yang terlampau tinggi mengakibatkan anggaran tidak dirasakan masyarakat. Akibatnya DPR dinilai tidak bekerja. Kompensasinya sekarang DPR minta Rp20 miliar untuk dibawa ke daerah.

Pro dan Kontra Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) atau  dana aspirasi mencerminkan elemen masyarakat peduli akan permasalahan  pembangunan yang ada.  Namun demikian, usulan dana aspirasi tersebut sebaiknya perlu dikaji kembali,karena dana yang anggarannya akan diupayakan masuk ke dalam APBN 2016 untuk menjadi platform perealisasian pembangunan daerah pemilihan apakah nantinya  memang akan berkontribusi untuk pembangunan yang masyarakat inginkan atau tidak. Karena uang yang akan dikeluarkan untuk program dana aspirasi sebesar 11,2 trilyun tidak sedikit, karena itulah,  banyak pertanyaan-pertanyaan dari elemen masyarakat terkait dana aspirasi tersebut yang dikhawatirkan dapat menjadi sumber korupsi baru dan  mengakibatkan permasalahan-permasalahan hukum lainnya.

Pengkajian yang perlu dilakukan antara lain, berkaitan dengan  program tersebut apakah akan berbenturan dengan program pemerintah yang berasal dari dana APBN atau tidak, sejauh mana program tersebut berisiko diselewengkan oleh DPR sebagai pengusul dan pemerintah daerah sebagai pelaksana proyek, apakah dana aspirasi juga akan menimbulkan ketimpangan wilayah karena disalurkan berdasarkan anggota DPR dan sistem perwakilan yang nantinya akan menguntungkan wilayah padat penduduk,  karena akan mendapat dana aspirasi lebih besar dibanding daerah yang sedikit pemilihnya,apakah dana aspirasi dapat memangkas peran pemerintah daerah, karena sebagian besar pembangunan infrastruktur di daerah adalah tanggung jawab pemerintah daerah (Pemda), karena pembangunan infrastruktur di daerah sebenarnya telah dianggarkan dalam APBD dan beberapa infrastruktur dalam skala besar biasanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat atau kementerian yang terkait, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya, yang tidak bertentangan dengan aturan yang ada.

Namun demikian, disetujui atau tidak dana aspirasi tergantung dari Presiden Jokowi,  Yang paling penting adalah  penggunaan  dana aspirasi  pastinya memerlukan sistem yang lebih konkretantara lain mengatur tentang petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan, aturan yang jelas dan ada fungsi kontrol yang jelas  terkait penggunaan dana aspirasi tersebut, dan juga  kesiapan DPR  dan instansi  terkaitdiperlukandalam pengelolaan dana aspirasi tersebut agar tidak menimbulkan permasalahan di kemudian hari.

Bahrul SE, penulis adalah pemerhati pembangunan pedesaan

 


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER