Menakar Tenaga Kerja Lokal menghadapi MEA 2015?

  • 16 Juli 2015
  • 00:00 WITA
  • Nasional
  • Dibaca: 2110 Pengunjung

Opini, suaradewata.com - MEA 2015 atau masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 yang lebih dikenal dengan AEC 2015 adalah bentuk integrasi ekonomi ASEAN dengan adanya sistem perdagangan bebas antar negara-negara ASEAN. Dengan adanya MEA/AEC perdagangan barang,jasa,modal dan investasi antar anggota Asean secara bebas dapat dilakukan tanpa adanya halangan gografis.

Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang merata dan menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal dan kesatuan basis produksi .suatu tantangan yang sadar tidak sadar sudah di depan mata,kesiapan pemerintah maupun sektor swasta dalam mempersiapkan baik infrastruktur maupun SDM ( Sumber Daya Manusia) yang mumpuni menjadi suatu keharusan, yang menjadi pertanyaan besar adalah Bagaimana Indonesia mampu menghadapi AEC 2015 dengan baik sementara Kualitas SDM dalam negerinya masih belum mampu bersaing bahkan Untuk pekerja-pekerja yang bekerja diluar Negeri lebih banyak di sektor informal yang pendidikannya rendah?

Dengan adanya MEA 2015 yang sudah di hadapan mata para pemangku jabatan dan para stakeholder serta seluruh elemen rakyat Indonesia harusnya lebih bersatu dan tidak apatis terhadap keadaan sekitar karena ini adalah salah satu bentuk penjajahan gaya baru, Penjajahan gaya baru atau penguasaan suatu bangsa dimasa kini dan kedepan dilakukan dengan pendekatan apa yang dikenal sebagai perang modern dengan bentuknya pertama, Cultur Warfare, kedua, Legal Walfare, ketiga, Economical and Financial Walfare, keempat, Teknological Walfare, kelima, Social and Historical Walfare, dan salah satu yang sedang terjadi dan mengekalasi dengan koheren melalui MEA 2015 adalah Ekonomi dan keuangan kita tidak terasa sebagian besar telah dikuasai oleh kekuatan asing. Hal itu terjadi karena peraturan-peraturannya telah bergeser justru berpihak kepada asing, bukan kepada rakyat. Hal di atas merupakan cara ampuh negara lain menancapkan kuku-kukunya di Tanah Air kita lantas menghisap semua kekayaan alam, ekonomi dan menghancurkan budaya kita.

Permasalahan tenaga kerja asing seringkali menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung usai baik bagi Negara “importir” maupun Negara-negara “eksportir” Tenaga Kerja, Indonesia sejak lama sudah menjadi pengekspor Tenaga kerja  yang terkenal murah di berbagai Negara tujuan khususnya di kawasan-kawasan Asean seperti Malaysia, Singapura, Brunei dan Filipina.

Presiden Jokowi dalam pidatonya di KTT APEC di Beijing, 8-12 November 2014 lalu meminta agar negara-negara Asia Pasifik datang dan menanamkan modalnya di Indonesia ditanggapi dengan sangat antusias oleh Cina. Cina kemudian langsung membuat rencana investasi besar-besaran di Indonesia.

Sebagai tindak lanjut dari penandatanganan nota kesepahaman itu, Wakil Perdana Menteri Cina Liu Yandong, datang ke Indonesia pada tanggal 27 Mei 2015. Dalam sambutannya di Auditorium FISIP UI, Yandong mengatakan bahwa akan mengirimkan banyak warga negaranya untuk datang ke Indonesia demi mencapai kerjasama yang ideal antara Indonesia dan Cina dalam berbagai bidang.

Sampai pada akhirnya, migrasi besar-besaran 10 juta warga Cina ke Indonesia. Migrasi itu terkait dengan investasi besar Cina di Indonesia. Kedatangan warga Cina berpeluang memunculkan isu-isu politik yang luar biasa dahsyat. Selain itu akan menimbulkan persaingan budaya antara Warga Cina dengan Pribumi. Terjadi pertarungan untuk mempertahankan siapa yang lebih dominan.

Regulasi ketenagakerjaan bahwa TKA yang bekerja di Indonesia harus sesuai dengan keahlian dan menempati jabatan tertentu serta bertujuan untuk mentransfer ilmu kepada pendambingnya yakni warga negara Indonesia dengan waktu yang ditentukan. Namun, faktanya TKA seperti di Lebak Provinsi Banten dan Manokwari Provinsi Papua sebagian besar adalah buruh. Ini berarti pemerintah sama saja menyakiti rakyat dengan mempersempit peluang kerja, di saat angka pengangguran di Indonesia masih tinggi. Pemerintah terkesan tunduk pada kemauan investor.

Implikasinya bahwa kerjasama Cina-indonesia itu memang bisa menguntungkan Indonesia dengan mendapat investasi besar-besaran dari Cina. Namun sebaliknya bisa juga berpotensi merugikan Indonesia terutama memunculkan isu-isu strategis.

Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia harus bisa mengambil manfaat dari MEA 2015 nanti. Disamping untuk memenangkan persaingan di MEA 2015  pemerintah juga perlu fokus dan serius dalam urusan tenaga kerja. Jangan sampai mengorbankan banyak Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang sudah mempertaruhkan segalanya demi penghidupan yang lebih layak di negeri orang dimana Negara kita sendiri malah mengimpor tenaga kerja asing (TKA) ke Indonesia.

Dari kasus ini jelas menunjukkan bahwa visi Trisakti dan Nawa Cita yang diusung oleh Jokowi-JK tidak mampu diterjemahkan secara baik oleh menteri-menterinya. 10 juta lapangan kerja baru yang dijanjikan oleh pemerintah Jokowi-JK ternyata dijawab dengan banyaknya pekerja asing yang bekerja di Indonesia di sektor-sektor yang seharusnya bisa dikerjakan oleh anak-anak bangsa. Kondisi seperti itu tidak bisa dibiarkan dan harus segera diselesaikan. Untuk itu diharapkan Kementrian dan lembaga terkait segera mengatasinya. Perimbangannya tidak cukup satu berbanding 10, akan tetapi satu pekerja asing harus didampingi dengan 50 pekerja Indonesia.
Kita ini bangsa yang besar, bukan bangsa tempe. Kita harus percaya pada kekuatan bangsa kita sendiri. Kita sangat welcome dengan investor asing akan tetapi aturan dan kepentingannya harus lebih mengutamakan kepentingan Indonesia bukan sekedar orientasi profit semata.

 

L.N. Santi Parwati, Penulis adalah Pemerhati masalah Sosial, Aktif pada Lembaga Pengembangan Arus Global untuk Kemandirian.


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER