Pengamat: Glorifikasi Berlebih, Buat G-20 Tertutup dari Kritik

  • 12 Oktober 2022
  • 10:40 WITA
  • Denpasar
  • Dibaca: 1471 Pengunjung
Konferensi pers masyarakat sipil di Denpasar, Selasa (11/10).

Denpasar, suaradewata.com - Glorifikasi berlebih atau pengagung-agungan terhadap penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di Bali November 2022 mendatang telah menyebabkan pertemuan para pemimpin dunia yang menguasai lebih dari 80 persen ekonomi global tersebut tertutup dari kritikan. Untuk itu kritik harus dihadirkan, terutama menyangkut apa manfaat G-20 untuk Indonesia, khususnya Bali sebagai tuan rumah.  

Hal ini terungkap dalam diskusi santai dan Konferensi Pers Komunitas Masyarakat Sipil, bertempat di Kubu Kopi Denpasar, Selasa (11/10/2022). Hadir sebagai pembicara Aktivis Lingkungan dan Sosial, Hendro Santoyo serta Koordinator Pro Demokrasi Bali, Nyoman Mardika.  

Dalam kesempatan tersebut Nyoman Mardika menyampaikan, bahwa Glorifikasi terhadap event-event besar yang diadakan di Bali, termasuk KTT G-20 sering terjadi. Hal ini membuat kritik terhadap event-event tersebut menjadi tidak ada. Padahal menurutnya kehadiran event-event tersebut harus dipertanyakan, disikapi, dan dikritisi seberapa besar manfaatnya bagi Bali. 

"G-20 menjadi hal yang ditunggu-tunggu oleh orang Bali. Di momentum G-20 ini ada harapan bahwa pariwisata Bali tumbuh dengan cara menghadirkan pimpinan-pimpinan Dunia. sebuah harapan inilah yang disebut Glorofikasi, jadi sesuatu yang harus dibangga-banggakan, bahkan dirayakan," terang Mardika. 

Padahal menurut Mardika, penyelenggaraan event-event Internasional, termasuk KTT G-20 tidak langsung berdampak bagi masyarakat Bali, terkhusus masyarakat tingkat menengah ke bawah seperti petani, buruh, nelayan, serta disektor-sektor pekerja kasar yang sebagian besar diisi oleh masyarakat Bali.  

"Sejauh ini agenda-agenda G-20 belum berdampak langsung kepada sektor-sektor seperti pertanian, kepada nelayan, atau kepada buruh-buruh kasar untuk membangkitkan pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat Bali secara keseluruhan. Cenderung masyarakat Bali sebagai penonton bukan penikmat agenda-agenda tersebut," ungkapnya. 

Lebih lanjut ia menyatakan bahwa tidak semua masyarakat mengetahui apa agenda-agenda yang dibahas dan dirumuskan di dalam G-20. Padahal agenda yang dibahas tersebut kemungkinan berdampak pada lahirnya sebuah kebijakan yang merugikan, tidak hanya bagi Indonesia bahkan Bali.  

Sementara itu, Hendro Santoyo, mengatakan, forum G-20 merupakan sebuah kebutuhan negara-negara di belahan bumi Utara yang menguasai Industri dan keuangan global. Melalui hal ini menurut Hendro, keanggotaan G-20 sebetulnya tidak dilahirkan setara. 

Lebih lanjut, Hendro, mengatakan, G20 ini adalah satu upaya sistematis dari negara-negara Utara yang menjadi penguasa sesungguhnya dari perhelatan-perhelatan global untuk membuat negara-negara berkembang tunduk pada protokol investasi negara Utara. 

"Kita harus melihat secara kritis kapan G-20 dibangun, anggotanya dulu siapa saja, mengapa Indonesia bisa masuk, kenapa ada beberapa negara Afrika," terang Hendro.ran/nop


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER