Menilik Isu-Isu Krusial RKUHP

  • 27 Agustus 2022
  • 18:10 WITA
  • Nasional
  • Dibaca: 3604 Pengunjung
Ilustrasi, Foto/Suber: Google

Opini, suaradewata.com - Hukum pidana yang saat ini dimiliki dan berlaku hingga saat ini merupakan warisan hukum kolonial Belanda. KUHP merupakan warisan kolonial Wetboek van Srafrecht Voor Nederlands Indie 1915 yang merupakan turunan dari Wetboek van Srafrecht Negeri Belanda 1886. Ada beberapa alasan KUHP perlu pembaharuan untuk dapat mengakomodir dinamika perkembangan hukum khususnya pidana di Indonesia.

Pertama, KUHP saat ini dipandang tidak lagi sesuai dengan dinamika perkembangan hukum pidana nasional Indonesia. kedua, perkembangan hukum pidana di luar KUHP, baik hal tersebut berupa hukum pidana khusus maupun hukum pidana administrasi, untuk saat ini dapat dikatakan telah menggeser keberadaan sistem hukum pidana yang ada dalam KUHP. Dan ketiga, dalam beberapa perkembangan terlihat adanya duplikasi norma hukum pidana antara norma hukum pidana dalam KUHP dengan norma hukum pidana dalam undang-undang di luar KUHP.

Oleh sebab itu, perlu adanya pembaharuan dalam KUHP Pidana di Indonesia. Namun demikian ada beberapa pasal dapat dianalisis lebih lanjut karena menimbulkan adanya multitafsir.

Pasal Hukum Adat

Pasal 2 yang mengatur living law atau hukum yang hidup di masyarakat, dalam penjelasan, living law yang menentukan seseorang patut dipidana adalah hukum pidana adat. Pemenuhan kewajiban adat setempat diutamakan, jika perbuatan pidana yang dilakukan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) RKUHP. Kemudian, pemenuhan kewajiban adat setempat dianggap sebanding dengan pidana denda kategori II. Serta dapat dikenakan pidana pengganti untuk pidana denda, jika kewajiban adat setempat tidak dipenuhi atau tidak dijalani oleh terpidana (Pasal 96 RKUHP). Pidana pengganti dapat juga berupa pidana ganti rugi. Selain itu beberapa masyarakat adat sudah mempunyai aturan/hukumnya masing-masing yang juga menjadi acuan dalam menjalankan hukumanya.

Pasal Hukuman Mati

Pasal 100 mengatur pidana mati. Berbeda dengan KUHP yang menempatkan pidana mati sebagai pidana pokok. RKUHP menempatkan sebagai ancaman pidana paling akhir dijatuhkan dan sebagai pidana alternatif dengan pidana penjara waktu tertentu paling lama 20 tahun dan pidana penjara seumur hidup. Pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama 10 tahun apabila memenuhi persyaratan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 100 ayat (1).

Pasal Kehormatan Presiden

Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden
Usulan RKUHP Pasal 217, Pasal 218, dan Pasal 219 RKUHP tentang Tindak Pidana terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden masih menjaddi kontroversi. Beberapa negara yang menganut system demokrasi banyak yang mengatur hal ini. Jadi, kalau kemudian terhadap perbuatan yang sama yang ditujukan kepada kepala negara sahabat atau wakil negara sahabat itu diancam dengan pidana, maka kepada kepala negara sendiri diusulkan untuk dipidana, kalo ada yang mengusulkan tidak dipidana maka itu menjadi kurang tepat. Dalam negara demokrasi selain asas kebebasan yang terpenting juga asas kewibawaan Lembaga-lebaga negara juga harus dijaga, selain kedaulatan rakyat maka kedaulatan negara mealalui kewibawaan Lembaga-lembaga negara menjadi sangat penting dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Apalagi dalam system pemerintahan yang Presidensil maka siapapun presiden kewibawaan presiden sebagai fungsi kepala pemerintah dan kepala negara harus terjaga.

Penawaran untuk Melakukan Tindak Pidana (Dukun Santet)

Dalam RUU KUHP tidak diatur mengenai Pasal tentang dukun santet, melainkan hanya perbuatan yang dapat mencelakakan orang lain atau menimbulkan sakit bagi orang lain. Ini merupakan delik formil, bukan materiil. Sehingga, sepanjang yang bersangkutan itu menyatakan dirinya mempunyai kemampuan yang dapat mencelakakan orang lain atau menimbulkan sakit bagi orang lain itu sudah kena, tidak dilihat hubungan kausalitas antara akibat dan perbuatan.

Pasal tentang Unggas

Pasal yang berikutnya yang menjadi kontroversi yaitu Pasal 278 RUU KUHP tentang Gangguan terhadap Tanah, Benih, Tanaman dan Pekarangan masih diperlukan oleh para petani. Dengan masukan berbagai pihak,  sebaiknya  Pasal ini tidak hanya sebagai delik formil, melainkan juga materiil. Ini sangat luas akibatnya tidak hanya terjadi di kalangan petani, tetapi jugabisa di masyarakat umum, sehingga perumusan delik formal harus juga adanya kerugian bagi korban.

Pasal tentang Penganiayaan Hewan

Dalam pasal RUU KHUP tentang penganiayaan hewan dapat dikatakan menimbulkan kontroversi, hal ini disebabkan adanya kekaburan mengenai frasa “kemampuan kodratnya”. Semestinya perlu dijelaskan lebih lanjut yang dimaksud dengan kodrat dalam perspektif makhluk hidup khususnya untuk hewan.  Sehingga tidak menimbulkan multi tafsir mengenai pengenaan sanksi terhadap pelaku penganiayaan hewan.

Pasal Contempt of Court

Pasal mengenai gangguan dan pennghinaan terhadap proses peradilan (Contempt of Court) juga mengundang kontroversi. Pasal ini disebut merugikan jurnalis.
Ada ancaman pidana penjara paling banyak kategori II terhadap setiap orang yang pada saat sidang pengadilan berlangsung tanpa izin pengadilan merekam, mempublikasikan secara langsung, atau membolehkan untuk dipublikasikan proses persidangan.Markus menerangkan ketentuan itu berlaku terkait sarana live streaming pada saat sidang berlangsung.
"Yang dimaksud dengan yang dipublikasikan secara langsung misalnya adalah live streaming, audio visual yang tidak diperkenankan. Proses ini sebetulnya  tidak mengurangi kebebasan jurnalis atau wartawan untuk menulis berita atau mempublikasikannya. Karena dalam praktik persidangan itu sering adanya pemeriksaan beberapa saksi yang harus diperiksa. Bila nanti  dibolehkan live streaming tanpa izin dari hakim, itu saksi yang akan diperiksa kemudian itu sudah mengetahui keterangan-keterangan yang disampaikan oleh saksi yang sebelumnya. Selain itu ada beberapa persidangan yang memang bersifat tertutup karena masih obyek dan subyeknya harus dirahasikan, jadi tidak semua persidangan bersifat terbuka untuk umum.

Pasal Penodaan Agama

Penodaan agama ini diatur dalam Pasal 304 dan Pasal 305 RUU KUHP. Pasal 304 RUU KUHP berbunyi: "Setiap orang di muka umum yang menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V. tindak pidana tersebut perlu dikriminalisasi karena beberapa hal. Seperti, sifatnya sangat kriminogen (dapat menyebabkan terjadinya tindak pidana lain) dan viktimogen (secara potensial dapat menyebabkan kerugian berbagai kepentingan). Kemudian melindungi kepentingan individual (misalnya mencegah praktik penipuan). Serta melindungi religiusitas dan ketentraman hidup beragama yang dilecehkan oleh perbuatan syirik. Mungkin yang masih perlu didiskusikan tentang arti perbuatan bersifat permusuhan dan penodaan terhadap agama, ini perlu ada penjelasan tentang macam perbuatan dimaksud. Tetapi yang terpenting karena Indonesia merupakan Lembaga yang pluralism menjaga keutuhan bangsa dan NKRI menjadi utama, jangan sampai adanya provokasi atas nama agama yang dilakukan oleh kelompok tertentu dibiarkan yang arahnya akan memecah belah bangsa.

Pasal menggugurkan Kandungan

Pasal berikut terhadap ketentuan mempertunjukkan alat pencegah kehamilan dan alat pengguguran kandungan yang termuat dalam Pasal 414-Pasal 416 RUU KUHP. Sebab, ketentuan ini dikhawatirkan dapat menjerat relawan yang menggencarkan sosialisasi Keluarga Berencana (KB). Kemudian ini diberikan suatu penjelasan bahwa ketentuan Pasal 416 tidak ditujukan bagi orang dewasa melainkan untuk memberikan perlindungan kepada anak agar terbebas dari seks bebas. Jadi, di sini juga ada pengecualian jika dilakukan untuk program KB, pencegahan penyakit menular, kepentingan pendidikan dan untuk ilmu pengetahuan jika dilakukan diatur Pasal 416.

Pasal Perzinahan dan Kumpul Kebo

Pada Pasal berikotnya tentang perzinahan dan kumpul kebo hadir sebagai bentuk penghormatan terhadap lembaga perkawinan. Sebagaimana diketahui tidak ada satu pun agama di Indonesia yang membolehkan perzinahan. Selain untuk menjaga kesucian tali perkawinan juga untuk menjaga tujuan dari perkawinan bagi semua masyarakat dan generasi berikutnya.

Pasal Gelandangan

Pasal tentang Gelandangan, terkait Ini terkait dengan Pasal 431 RUU KUHP yang menyatakan bahwa setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I, Pasal yang mengatur mengenai sanksi bagi gelandangan, masih perlu dipertahankan karena tujuan adanya kertertiban dalam masyarakat. Mungkin yang perlu dipertimbangkan adalah sanksi denda dan alternatif sanksinya.

Pasal Perkosaan

Adanya perluasan makna terkait dengan perkosaan dalam RUU KUHP. Dalam Pasal 479 ayat 3, disebutkan yang termasuk ke dalam kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya, yakni memasukkan alat kelamin ke dalam anus atau mulut orang lain.

Selain itu, ada tambahan pemberatan hukuman berupa pidana 15 tahun penjara jika korban perkosaan adalah anak-anak. Pasal 479 juga mengatur mengenai pemberatan apabila korbannya adalah anak-anak, memaksa anak melakukan hubungan seksual dengan orang lain yang mengakibatkan luka berat atau mati. Hal ini masih relevan dalam melihat kejatan pemerkosaan makin marak dimasyarakat, sehingga perlu pemberatan sebagai efek jera bagi para pelaku.

DR. I Ketut Sukawati Lanang Putra Perbawa, SH.M.Hum, Dekan Fakultas Hukum Universitas Denpasar


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER