RKUHP Tidak Melarang Kebebasan Pers

  • 21 Agustus 2022
  • 20:30 WITA
  • Nasional
  • Dibaca: 1435 Pengunjung
Ilustrasi, Foto/Suber: Google

Opini, suaradewata.com - Beberapa Pasal dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dianggap kontroversial karena diprediksi melarang kebebasan pers, karena ada larangan menghina presiden dan wakil presiden. Prediksi ini salah karena pers masih dibebaskan dalam membuat berita, yang dilarang adalah hinaan, bukan kritikan.

Wartawan  menjalankan tugasnya untuk menulis berita dan menyiarkannya pada masyarakat. Seorang wartawan alias jurnalis meliput acara lalu menuliskannya di surat kabar atau media online. Posisi mereka sangat dihormati masyarakat karena menjadi corong dari kabar-kabar terkini di Indonesia maupun di dunia. Mereka meliput banyak berita, termasuk peresmian RKUHP menjadi KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).

Masyarakat juga menyimak baik-baik beberapa  Pasal dalam RKUHP. Apalagi ada banyak Pasal yang merombak UU yang telah berusia lebih dari 100 tahun tersebut. Sementara para jurnalis ada yang merasa ketakutan karena ada Pasal-Pasal yang dianggap melarang kebebasan pers. Padahal tidak ada yang dilarang, hanya saja diatur agar lebih baik lagi dan sesuai dengan norma-norma di Indonesia.

Politisi Yasonna Laoly menyatakan bahwa pemerintah tidak melarang kebebasan pers di tanah air. Namun kebebasan yang diberikan bukan berarti tidak terbatas, karena jika terlalu liberal akan menjadi anarkis. Misalnya di RKUHP bagian Pasal contempt of court, yang melarang publikasi dari hasil pengadilan secara tertutup, karena bisa mempengaruhi independensi pengadilan.

Yasonna melanjutkan, jika ada publikasi padahal sudah jelas sidangnya tertutup, maka sama saja dengan menuliskan berita dari narasumber. Padahal sudah jelas bahwa wawancaranya off the record. Jika jurnalis nekat menuliskanya maka sama saja tidak menjaga kredibilitasnya sendiri.

Dalam artian, hal ini sama saja dengan melanggar kode etik jurnalistik, karena tidak menghargai narasumber dan pengadilan. Ulah oknum wartawan yang seperti ini yang akan diatur oleh RKUHP, guna menjaga kualitas berita dan mencegah praktik-praktik yang melanggar aturan dan norma. Oleh karena itu, diharap pers jangan emosi dulu karena Pasal-Pasal dalam RKUHP harap dipahami terlebih dahulu.

Yasonna melanjutkan, pers dilindungi oleh UU Pers. Dalam artian, tidak mungkin RKUHP melarang kebebasan pers dan bertentangan dengan UU lain. Diharap para wartawan sabar dan tidak menolak RKUHP mentah-mentah, karena memang masih berstatus RUU dan belum disahkan oleh pemerintah.

Pasal-pasal lain dalam RKUHP yang dianggap melarang kebebasan pers adalah Pasal 218 yang berisi larangan untuk menghina presiden dan wakil presiden. Isi dalam Pasal ini jangan dijadikan serangan terhadap pemerintah, yang dianggap melarang kerja wartawan yang suka mengkritik. Mereka perlu membedakan antara kritikan dengan hinaan.

Dalam negara demokrasi, kritikan terhadap pemerintah memang diperbolehkan. Namun lama-lama pemberitaan terhadap pemerintah berubah drastis, dari kritik yang membangun menjadi kritik yang menghancurkan dan berujung hinaan. Hinaan inilah yang dilarang, dan selain melanggar hukum negara juga melanggar norma masyarakat dan hukum agama.

Kritikan keras yang berujung hinaan terjadi pasca gerbang reformasi dibuka. Sejak tahun 1998, masyarakat merasakan kebebasan berekspresi, termasuk kebebasan pers. Jika dulu para jurnalis takut untuk mengkritik pemerintah karena bisa dibreidel medianya (ditutup secara paksa), maka saat ini mereka boleh mengkritik. Mereka tak lagi takut akan ancaman dan serangan petrus.

Namun sayang sekali kritik yang ada di media massa dan elektronik rata-rata malah menghujat. Bahkan ucapan Presiden Jokowi atau Wakil Presiden K.H. Ma’ruf Amin juga bisa ‘digoreng’ alias dibelokkan maksudnya, sehingga bisa membuat kehebohan di masyarakat. Ada juga media elektronik yang memotong video berisi ucapan sang presiden tetapi karena hanya berupa potongan, tidak bisa menampilkan maksud pidato yang sebenarnya.

Pasal-pasal di RKUHP juga mengatur agar tidak ada kegilaan di media elektronik, karena saat ini rata-rata berita hanya berisi narasi pendek tetapi judulnya click bait alias tidak ada hubungan antara judul dengan isi berita. Metode ini memang bisa menaikkan kunjungan ke situs media tersebut. Namun bisa memperkeruh suasana dan membuat masyarakat ikut-ikutan menghujat pemerintah, padahal maksudnya tidak seperti itu.

Perilaku-perilaku oknum jurnalis yang memotong video, mengedit video dan membalikkan fakta yang sebenarnya, menghina presiden, dan menulis berita click bait lah yang diatur dalam RKUHP. Mereka tidak bisa mengulangi perbuatan jeleknya karena takut akan dicokok oleh aparat keamanan dan diancam hukuman penjara sebagai efek jera. Justru RKUHP hadir untuk membersihkan pers dari oknum-oknum nakal seperti ini.

Pemerintah membuat RKUHP agar ada revisi KUHP agar hukum pidana di Indonesia diatur dan disesuaikan dengan zaman, karena akar hukum KUHP adalah hukum warisan Belanda. RKUHP dibuat untuk mengatur masyarakat dan juga pers. RUU ini tidak pernah melarang kebebasan pers, malah membuat pemberitaan-pemberitaan makin jernih dan tidak hanya menjual click bait semata.

Abdul Razak, Penulis adalah kontributor Nusa Bangsa Institute


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER