Suami Meninggal, Hak Istri pun Dihilangkan, Begini Tanggapan Komnas Perempuan

  • 23 April 2022
  • 20:30 WITA
  • Denpasar
  • Dibaca: 1338 Pengunjung
Suasana Kantor Komnas Perempuan di Jakarta, foto : google/SD

Denpasar, suaradewata.com - Nasib yang dialami Ni Luh Widiani sungguh pilu. Wanita asal Buleleng ini terus memperjuangkan haknya sepeninggal almarhum suaminya Eddy Susila Suryadi, pengusaha asal Tabanan. Namun dirinya justru bolak balik dipenjarakan. Ada apa dengan hukum?

Setelah sempat mendekam selama 1 tahun, wanita berparas ayu ini kembali menghadapi persiapan "Ketuk Palu" hakim PN Denpasar, itu setelah sebelumnya JPU dari Kejari Badung mengajukan hukuman yang cukup tinggi yaitu 4,5 tahun.

Keluh kesahnya pun mendapat sorotan dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Perempuan (Komnas Perempuan). Bahkan Komnas Perempuan bersurat ke Kepala Kejaksaan Agung dan Kabareskrim Mabes Polri, Dewi Kanti, Ketua Subkom Pemantauan Komnas Perempuan.

Dalam surat tersebut dibeberkan dari fakta hukum dan kronologis yang terjadi antara Ni Luh Widiani dengan keluarga dari alm. Eddy Susila Suryadi, yang awalnya merupakan konflik perdata dalam hukum waris yakni konflik peninggalan harta waris dari alm. Eddy Susila Suryadi.

Dimana mendiang suaminya adalah pemegang atau pemilik 99 persen saham PT Jayakarta Balindo. Konflik ini kemudian menimbulkan berbagai upaya hukum yang harus dihadapi Ni Luh Widiani dengan keluarga suaminya, baik secara perdata berupa gugatan pembatalan perkawinan maupun pidana.  

Menurut Komnas Perempuan, laporan ke polisi yang dilakukan keluarga dari alm. Eddy Susila Suryadi atas beberapa dugaan tindak pidana, menjadikan Ni Luh Widiani sebagai Perempuan Berhadapan dengan Hukum (PBH) dalam konteksnya sebagai terpidana. Hal itu merupakan upaya kriminalisasi tanpa henti. 

Komnas Perempuan menilai, Ni Luh Widiani yang kembali didakwakan dalam laporan polisi yang sama di tahun 2020 (LP/B/0574/X/Bareskrim/2020) dan telah memiliki putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap untuk dugaan tindak pidana yang berbeda merupakan bukti telah terjadinya kriminalisasi. 

Diketahui, untuk laporan yang sama, Widiani sudah diputus majelis hakim PN Denpasar yang diketuai Angeliky Handajani Day dengan hakim anggota, Heriyanti dan Konny Hartanto dengan pidana penjara 1 tahun dan 2 bulan. Perempuan kelahiran Kubutambahan, Buleleng itu dinyatakan terbukti bersalah menggunakan KTP palsu dari Eddy Susila Suryadi untuk mencatatkan perkawinannya di Disdukcapil Kota Denpasar. 

Menjelang hari bebas dari Lapas Kerobokan, Denpasar pertengahan Maret 2022 lalu, Widiani kembali diadili dengan laporan polisi yang sama. Jaksa Penuntut Umum (JPU), I Gusti Wirayoga sudah menuntut Widiani pidana penjara 4 tahun dan 6 bulan (4,5 tahun). Perempuan asal Kubutambahan, Buleleng itu menurut jaksa, terbukti bersalah telah melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan pemalsuan surat terhadap akta otentik.

"Berupa Keputusan Sirkuler dan Berita Acara Rapat Umum Luar Biasa Para Pemegang Saham PT Jayakarta Balindo," tulis dalam dakwaan JPU.  

Upaya kriminalisasi ini menurut Komnas Perempuan, menempatkan Widiani dalam posisi yang rentan sebagai perempuan yang ditinggal mati suami, dengan berbasis gender yang menjadi latar belakang dalam kasus yang dialaminya. 

Konflik yang menyebabkan Widiani dikriminalisasi dan terus berkelanjutan sehingga melanggar hak – haknya sebagai PBH. "Ini adalah upaya penolakan dari keluarga alm. Eddy Susila Suryadi untuk memberikan hak – hak Widiani dan anaknya," tulis dalam surat Komnas Perempuan.  

Dalam surat yang ditembuskan ke Ketua Komisi Yudisial, Ketua Komisi Kejaksaan RI, Ketua Komisi Kepolisian RI serta Ketua PN Denpasar tersebut, Komnas Perempuan mempertanyakan alasan dan dasar hukum yang menjadi acuan, dengan laporan polisi yang sama dengan perkara yang sudah diputus sebelumnya, kembali dilakukan proses penuntutan terhadap Ni Luh Widiani.  

Menurut Komnas Perempuan, hal tersebut bertentangan dengan perundang – undangan dan melanggar hak – hak Widiani sebagai PBH. Ditegaskan, Ketua Subkom Pemantauan dalam suratnya, mengingatkan, jangan sampai penggunaan hukum pidana sebagai alat untuk memiskinkan perempuan dalam konteks hukum waris. mot/red


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER