Waspada Infodemi dan Hoax Seputar Covid-19

  • 16 April 2022
  • 15:15 WITA
  • Nasional
  • Dibaca: 1371 Pengunjung
Ilustrasi, Foto/Suber: Google

Opini, suaradewata.com - Salah satu ancaman di masa pandemi adalah arus informasi yang terlalu deras sehingga muncul infodemi bahkan hoax, di mana ada banyak sekali berita tentang covid-19 tetapi tidak semuanya benar. Masyarakat diminta untuk cermat dalam menyaring berita dan mewaspadai penyebaran infodemi hingga hoax.

Pandemi sudah kita jalani selama dua tahun. Kita bergulat habis-habisan melawan Corona dengan vaksinasi, menjaga protokol kesehatan, dan mencari informasi tiap hari. Misalnya berapa jumlah pasien Covid-19 hari ini? Apa varian virus terbaru? Sampai ke cara-cara pengobatan alternatif agar terhindar dari ganasnya Corona.

Sayangnya informasi ini bertransformasi menjadi infodemi. Menurut WHO, infodemi adalah informasi mengenai pandemi Covid-19 yang terlalu banyak. Sayangnya informasi ini malah membingungkan saking banyaknya dan mirisnya, mayoritas info tersebut adalah berita palsu alias hoax.

WHO menyebutkan bahwa informasi dalam infodemi mencakup upaya yang disengaja untuk menyebar informasi yang salah. Tujuannya adalah untuk merusak respon kesehatan masyarakat dan mendorong agenda suatu kelompok atau individu. Dampaknya adalah membahayakan kesehatan fisik dan mental, meningkatkan stigma pasien Corona dan penyintasnya, serta berdampak pada kepatuhan masyarakat terhadap sistem kesehatan.

Dokter Radha Agrawal dari Rumah Sakit Overlake Washington menyatakan bahwa ada pasiennya yang tidak mempercayai diagnosisnya akibat infodemi. Penyebabnya karena mereka tidak mengalami anosmia (kehilangan fungsi indra penciuman) padahal jika kena virus Covid-19 varian Omicron dan bergejala ringan maka tidak kena anosmia. Meskipun hasil tes menunjukkan positif Corona.

Contoh infodemi yang selanjutnya adalah tuduhan bahwa tiap pasien yang masuk Rumah sakit akan “dicovidkan,” sehingga dampaknya banyak orang yang enggan untuk rawat inap meski kondisinya parah. Hal ini amat merugikan karena pengobatan mereka jadi tidak maksimal. Padahal yang benar adalah tiap pasien memang wajib tes PCR untuk mengetahui ia positif Corona atau tidak, sehingga bisa positif akan diisolasi di ruangan khusus.

Selain itu, contoh infodemi lain adalah klaim bahwa berbagai herbal bisa mencegah dan mengobati Corona. Masyarakat jadi berburu jahe, kunyit, dll sehingga harganya sempat melonjak. Padahal ini adalah sebuah misinformasi karena memang herbal menyehatkan tubuh dan meningkatkan imunitas. Namun tidak otomatis membuat tubuh jadi anti Corona karena harus diiringi dengan vaksin sampai 3 kali dan menjaga protokol kesehatan.

Penyebaran hoax juga mengesalkan karena bisa menggagalkan misi untuk memberantas Corona. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) per 12 april 2022 telah memblokir lebih dari 5.000 hoax yang beredar di dunia maya. Pemblokiran dilakukan terus-menerus agar tidak memakan banyak korban dari masyarakat awam.

Pasalnya, ada kalangan masyarakat yang belum mengerti. Mereka mengira tiap informasi yang tersebar, baik di media online, media sosial, atau broadcast di grup WA, adalah valid seperti berita di surat kabar nasional. Padahal bisa saja hoax itu ada di media online abal-abal yang tega menampilkannya demi traffic website yang tinggi. Atau bisa jadi mereka memakai teknik clickbait, dengan judul yang heboh padahal isinya hoax yang tak karuan.

Masyarakat harus mewaspadai tiap hoax yang beredar agar tidak kejeblos. Misalnya ketika ada yang bilang bahwa vaksin berbahaya karena mengandung chip. Padahal sudah jelas chip adalah benda padat yang tak bisa larut dalam cairan vaksin. Kita harus saring informasi sebelum sharing dan jangan asal klik. Akan tetapi wajib cek dulu kebenaran suatu berita tentang Corona.

Selama pandemi kita bebas membaca berbagai berita terutama di media online. Akan tetapi jangan berbuat kesalahan dengan terjebak infodemi dan menyebarkan hoax. Waspadalah akan berita-berita yang beredar di internet karena tidak semuanya benar.

Deka Prawira, Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER