Sanksi Adat Mantan Pemangku Pura Puseh Desa Taro Kelod Diatensi Kanwil Kemenkumham

  • 20 Januari 2022
  • 08:45 WITA
  • Gianyar
  • Dibaca: 1994 Pengunjung
Kanwil Kemenkumham Provinsi Bali melakukan mediasi dan klarifikasi terkait sanksi adat yang dilaporkan seorang warga Desa Taro Kelod, Rabu (19/1). Foto : suaradewata.com

Gianyar, suaradewata.com - Kantor Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Bali memberikan kasus khusus terkait sanksi adat yang dijatuhkan kepada I Ketut Warka selaku mantan Pemangku Pura Puseh Desa Adat Taro Kelod, Desa Taro, Kecamatan Tegallalang. Mediasi dan dengar pendapat dilakukan di kantor Desa Taro, Rabu (19/1). 

Rombongan Kemenkumham Bali meminta klarifikasi dari Prajuru Adat dan pihak terkait dalam sebuah pertemuan di aula Kantor Desa Taro pada Rabu (19/1). Kepala Bidang HAM Kemenkumham Bali, Rita Rusmarti mengatakan kedatangannya untuk meminta penjelasan dari pihak Prajuru. Mengingat sebelumnya, tepatnya 6 Januari 2022 keluarga Ketut Warka mendatangi kantor Pelayanan Komunikasi Masyarakat (yankomas) Kemenkumham Bali. "Kami punya Yankomas, siapapun yang merasa terindikasi haknya terlanggar boleh mengadukan ke kami. Nah dari warga Desa Adat Taro Kelod ini (Ketut Warka) ini datang tanggal 6 Januari 2022. Bahwa mereka merasa didiskriminasi," jelas Rita. Dugaan diskriminasi yang dimaksud yakni dibebaskan dari hak dan kewajiban sebagai Krama adat, berhenti sebagai pemangku, diputus sambungan air swadaya, penutupan saluran irigasi, hingga pelarangan membuat sumur bor. "Kami juga menerima informasi bahwa yang bersangkutan minum dan mandi memanfaatkan air tadah hujan. Hal ini yang ingin kami pastikan ke Prajuru. Agar bisa kami mediasi kemudian memberikan rekomendasi," jelasnya.

Rita memastikan Kemenkumham tidak memihak siapapun. "Kami bukan memutuskan salah benar. Kami memediasi. Kami punya kewajiban selaku tim Yankomas tidak boleh memihak," jelasnya. Setelah mendapatkan penjelasan dari Prajuru, Rita mengaku belum bisa memutuskan. "Jadi ada beberapa keinginan dari desa adat kami sudah catat. Ini harus kita koordinasikan lagi dengan yang mengeluh didiskriminasi (Ketut Warka). Harapan kami, tetap mengupayakan damai," terang Rita Rusmarti.

Sementara itu, Bendesa Adat Taro Kelod I Ketut Subawa meluruskan bahwa berhentinya Ketut Warka sebagai Pemangku Pura Puseh Desa Adat Taro Kelod adalah keinginan I Ketut Warka sendiri. "Dia yang mohon berhenti per tanggal 6 Desember 2016 lalu. Lokasinya di Pura Puseh Bale Agung Desa Adat Taro Kelod, bahkan saat paruman sakral," jelasnya. Sedangkan terkait sanksi kanorayang, kata Subawa tak seseram yang dibayangkan. "Hanya dibebaskan dari hak dan kewajibannya sejak Tahun 2019. Kami harap sejak saat itu mereka menyadari kesalahan, tapi di setelah 2 tahun justru kembali berulah," jelasnya.

Namun demikian, Bendesa Ketut Subawa membenarkan desa adat telah memutus saluran air swadaya dan irigasi. "Sebenarnya dua tahun ini kami sudah toleransi. Air itu dipakai tapi tidak pernah kami tagih kewajiban pembayarannya, tapi karena belum ada niat mematuhi awig-awig dan pararem, desa adat sepakat menutup itu," ujarnya. Bendesa juga menyayangkan adanya pengakuan pasca pemutusan air swadaya ini, Ketut Warka sekeluarga minum dan mandi dengan air tadah hujan. Bendesa Ketut Subawa memastikan hal itu tidak benar. "Tidak benar itu. Tidak mungkin juga, karena mereka sudah punya sumur bor di warungnya," jelasnya. Polemik ini diakui sudah membuat situasi di Desa Adat Taro kurang nyaman. Terlebih di Desa Taro yang sudah cukup dikenal dengan beragam prestasi bidang lingkungan. "Harapan kami agar tetap nyaman di desa adat. Beliau mau mengakui kesalahannya, bergabung kembali dengan masyarakat kami," ujarnya.

Sebelumnya diberitakan, keluarga Jro Mangku I Ketut Warka, mantan pemangku Pura Puseh, Desa Adat Taro Kelod, Kecamatan Tegallalang, Gianyar kena sanksi adat. Gara-gara memperjuangkan kepemilikan tanahnya hingga dua kali menang perkara di pengadilan, keluarga Jro Mangku Warka dikenai sanksi adat, bahkan aliran air ke rumah dan sawahnya diputus. Jro Mangku Warka juga diberhentikan sebagai pamangku Pura Puseh.

Jro Mangku Warka menceritakan, semua berawal ketika dia hendak memperjuangkan tanah leluhur seluas 21 are. Jro Mangku Warka memiliki bukti kuat kepemilikan tanah. Selama ini, tanah tersebut ditempati oleh seorang warga.

“Awalnya, masalah perkara pribadi dengan I Sabit cs. Setelah di ranah pengadilan, kami selaku penggugat pada tahun 2017 memenangkan perkara. Kami atas nama I Ketut Warka,” ujar Jro Mangku Warka didampingi putranya, Wayan Gede Kartika, saat ditemui di rumahnya kawasan Desa Adat Taro Kelod, Selasa (11/1).

Menurut Jro Mangku Warka, saat hendak mengeksekusi tanah tersebut, I Sabit melakukan upaya perlawanan di tingkat banding Pengadilan Tinggi (PT) Denpasar hingga kasasi di Mahkamah Agung (MA). “Di tingkat PT dan MA, kami kembali menang,” papar Jro Mangku Warka.

Disebutkan, saat hendak mengeksekusi tanah tersebut, pihak Desa Adat Taro Kelod masuk. Jro Mangku Warka mengatakan, desa adat mengklaim bahwa dari 21 are tanah tersebut, 8 are di antaranya merupakan Pekarangan Desa (PKD). “Sampai di sana, desa adat menggugat kami di pengadilan. Saat sidang di PN Gianyar, kami kembali memenangkan perkara dengan putusan NO,” kenang Jro Mangku Warka.

Jro Mangku Warka mengisahkan, setelah menang pengadilan buat kedua kalinya itulah, keluarganya dikenakan sanksi adat sejak tahun 2019. “Semua kewajiban saya, termasuk urunan, arah-arahan, dan apapun bentuknya diskup desa adat. Intinya, kami dibebaskan,” katanya.gus/nop


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER