Peran Pemuka Agama Moderat Tangkal Radikalisme

  • 18 November 2021
  • 08:10 WITA
  • Nasional
  • Dibaca: 1136 Pengunjung
google

Opini, suaradewata.com - Radikalisme merupakan salah satu ancaman besar bangsa Indonesia. Masyarakat pun mendorong peran pemuka agama moderat untuk berperan aktif dalam menangkal narasi radikal keagamaan.

Radikalisme keagamaan merupakan salah satu ancaman terhadap rusaknya semangat Bhineka Tunggal Ika, pemikiran radikal menunjukkan bahwa keyakinanku benar dan selain keyakinanku salah, padahal Indonesia telah mengakui 6 agama.

Narasi radikal dengan isu agama tentu bisa dilawan dengan cara hadirnya dai moderat yang memiliki wawasan wasatiyah di tengah masyarakat. Wakil Direktur Pascasarjana Universitas Ismal Negeri Alauddin Makassar, Sulawesi Selatan, Dr Andi Aderus, mengatakan perlu ada kaderisasi dari moderat untuk mengimbangi narasi keagamaan radikal yang terus ada di masyarakat.

Menurut Andi, keberagaman dan kekayaan bangsa ini menjadi faktor pendorong Indonesia menjadi sasaran empuk kelompok radikal. Latar belakang kesukuan, budaya dan agama yang mencolok kerap menjadi isu yang digunakan untuk narasi perpecahan.

Termasuk isu antinasionalisme yang juga menolak kearifan lokal dengan membenturkan antara nasionalisme dan agama. Oleh karena itu, salah satu pimpinan Darud Dakwah Wal-Irsyad (DDI) ini, menanggulangi radikalisme tidak cukup dilakukan dengan pendekatan hukum yang menyangkut ideologi.

Andi mengatakan radikalisme harus dilawan dengan pemahaman dan penguatan ideologi kebangsaan dan narasi agama. Dirinya juga menilai, perlu adanya kewaspadaan terhadap narasi radikal yang dapat memeceh belah masyarakat dengan menunggangi isu agama karena terbukti pola narasi ini kerap berhasil menciptakan kegaduhan di tengah masyarakat.

Menurut Andi, ada beberapa faktor yang menyebabkan naradi dari kelompok radikal mudah diterima masyarakat, di antaranya adalah kurangnya wawasan keagamaan, terlalu bersemangat dalam beragama dan kebiasaan masyarkat menilai sesuatu hanya di permukaanya saja. Dia mengatakan masyarakat mudah terkesan dengan label-label yang ditampilkan dan ditawarkan seperti syariah, Islam dan sunnah tanpa mengkajinya lebih mendalam.

Ia juga mengapresiasi peran pemerintah saat ini yang melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah membentuk gugus tugas pemuka lintas Agama dengan menggandeng para tokoh lintas Agama untuk melawan narasi radikal dengan moderasi beragama yang menyejukkan.

Gerakan radikal kerap melakukan rekrutmen melalui berbagai akun media sosial. Sasaran mereka biasaya menyangkut pada anak muda yang akan dicuci otaknya untuk diberikan paham radikalisme. Sementara itu, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Azyumardi Azra mengungkapkan bahwa paham radikal yang menganggap pemahamannya paling benar juga telah menyusup ke sekolah menengah melalui guru.

Hasil survei dari lembaga kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP), yang dipimpin oleh Prof Dr Bambang Pranowo, yang juga merupaka Guru Besar sosiologi Islam di UIN Jakarta pada 2010 lalu menunjukkan bahwa hampir 50 % pelajar setuju dengan tindakan radikal.

Masuknya radikalisme di kalangan pelajar antara lain dipengaruhi oleh guru atau pengajar yang berafiliasi atau bersimpati terhadap organisasi yang berkeinginan mengganti Pancasila dengan ideologi transnasional. Kelak hal tersebut akan mengarahkan anak-anak untuk mendukung paham khilafah.

Data tersebut juga menunjukkan 25 % siswa dan 21 Guru menyatakan bahwa Pancasila tidak relevan lagi. Sementara 84,8 % siswa dan 76,2 % guru setuju dengan penerapan syariat Islam di Indonesia. Hal yang patut digarisbawahi adalah radikalisasi ini biasanya berawal dari dangkalnya pemahaman agama.

Sehingga diperlukan upaya untuk mengenalkan Islam yang moderat, toleran dan berkeadilan khususnya kepada para generasi muda . Jangan sampai generasi muda menjadi insan yang terpapar paham radikal.

Dalam sebuah kuliah umum bertajuk pencegahan radikalisme dan penguatan identitas bangsa yang diselenggarakan Fakultas Filsafat UGM. Mantan teroris Machmudi Haryono alias Yusuf, mengajak kepada para milenial untuk tidak terjebak dalam kubangan radikalisme.

Yusuf menuturkan agar para mahasiswa dapat memahami sesuatu secara komprehensif. Jika ada suatu berita ataupun pemahaman, maka cobalah untuk mencari pembanding yang lain agar tidak terjebak dengan hal yang itu-itu saja.

Dirinya mengaku menjadi jihadis karena dipicu oleh Perang Bosnia. Setelah melihat videonya, ia jadi ingin tahu lebih jauh kenapa ada konflik dan muncul rasa simpati kenapa hal tersebut bisa terjadi.

Dai moderat tentu saja memiliki literasi yang baik tentang pemahaman jihad, sehingga generasi muda mampu memaknai jihad yang tidak melulu soal perang, Dai moderat juga berperan untuk menangkal narasi-narasi yang berpotensi merusak semangat kebhinekaan.

Muhammad Zaki,  Penulis adalah kontributor Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER