Mewaspadai KAMI Sebagai Gerakan Makar

  • 14 September 2020
  • 18:35 WITA
  • Nasional
  • Dibaca: 2008 Pengunjung
google

Opini,suaradewata.com - KAMI bersikeras bahwa organisasi ini bukan bertujuan politis. Namun masyarakat sudah cerdas dan mampu mengenali modus mereka yang terus menjelekkan pemerintah. Bahkan ada indikasi makar dalam koalisi yang dideklarasikan tanggal 18 agustus kemarin. Karena mereka menuntut agar presiden dilengserkan.

Ketika KAMI mengadakan deklarasi di Tugu Proklamasi pertengahan agustus lalu, masyarakat heran, mengapa para tokoh senior bersatu dengan rukun? Namun semua stigma positif buyar ketika mereka membacakan 10 tuntutan KAMI kepada pemerintah. Karena Indonesia tak bisa diselamatkan jika orang-orangnya hanya saling menyalahkan.

Masyarakat makin lelah dengan ocehan para anggota KAMI yang makin tidak jelas dan hanya bisa berpidato hate speech namun kosong makna. Mengapa mereka sebegitu bencinya terhadap pemerintah, terutama Presiden Joko Widodo? Dugaan pertama, mereka merasa keki karena idolanya kalah 2 kali berturut-turut. Yakni di pilpres 2014 dan 2019.

Dugaan kedua, KAMI berambisi agar salah satu anggotanya jadi presiden di pilpres 2024 mendatang. Jadi mereka makin menjelek-jelekkan pemerintah karena ada ketakutan akan ada perubahan peraturan mengenai masa jabatan presiden. Karena Jokowi sudah 2 kali menjabat. Padahal tidak mungkin beliau mengubah aturan tentang masa jabatan, karena sudah terikat Undang-Undang.

 KAMI juga terindikasi melakukan tindakan makar karena mereka ngotot ingin mengadakan sidang istimewa agar presiden diturunkan dari jabatannya. Menurut politisi Kapitra Ampera, tuntutan ini menjelaskan bahwa KAMI hanya organisasi yang ingin makar tapi membungkusnya dengan gerakan moral. Sangat licik dan tidak tahu malu.

Apa salah Jokowi sehingga harus dimakzulkan? Menurut pakar hukum tata negara Feri Amsari, seorang presiden bisa dilengserkan dengan syarat ia terbukti korupsi, melakukan perbuatan tercela, kena kasus pidana berat, atau mengkhianati negara. Ia juga harus mundur ketika terbukti menyuap dan tak memenuhi syarat fisik dan mental sebagai presiden.

Realitanya presiden kita terbukti tidak pernah melakukan kesalahan-kesalahan fatal tersebut. Jadi ia tak bisa dipaksa mundur. Jika dlihat dari banyak anggota KAMI, ternyata dulu aktif dalam gerakan 2019 ganti presiden yang gagal. Jadi sekarang tetap menuntut dengan kedok gerakan moral seperti KAMI.

 Jika KAMI bilang bahwa pemerintah tidak bisa mengelola negara, di sebelah mana kesalahannya? Buktinya kita masih bisa survive dalam masa pandemi. Harga sembako masih stabil dan stoknya selalu tersedia di pasar dan minimarket. Daya beli masyarakat tidak anjlok, malah banyak yang membeli sepeda impor dan barang-barang lain yang mahal.

Begitu juga dengan tuduhan KAMI bahwa pemerintah tidak bisa mengatasi efek badai corona. Kenyataanya semua pihak mulai dari dokter, pengusaha, hingga rakyat biasa mendapat bantuan. Para tenaga kesehatan mendapat tambahan honor di luar gaji resmi. Pengusaha UMKM dapat modal tambahan dan pengurangan pajak, serta pengurangan bunga pinjaman.

Para pengangguran bisa mendapat keterampilan dengan mengikuti program kartu pra kerja. Sementara banyak orang mendapat BLT dari pemerintah, berupa uang tunai atau paket sembako. Jika pemerintah sudah sebaik ini, mengapa masih dicurigai? Jadi sudah jelas kebencian KAMI terhadap presiden Jokowi hanya berdasar alasan pribadi yang dibesar-besarkan.

Pemakzulan presiden adalah ide gila karena jika pemimpin sebuah negara diganti secara tiba-tiba, bisa terjadi kekacauan. Program yang sudah direncanakan bisa rusak karena dihentikan oleh pemimpin selanjutnya. Para mentri bisa diganti dan berakibat pada kementrian. Rakyat makin bingung karena negara serasa bubrah.

Oleh karena itu, KAMI harus diwaspadai karena terbukti ingin mendongkel pemerintah dan memakzulkan presiden, tanpa ada alasan yang logis. Alih-alih mendapat simpati, mereka malah jadi bahan tertawaan karena ingin mengganti presiden yang sangat dicintai rakyat. Jangan mudah terprovokasi oleh ocehan mereka.

Aditya Akbar, Penulis adalah kontributor Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER