Disdukcapil Gianyar Akui Stafnya Keluarkan Akta Cerai Palsu

  • 03 September 2020
  • 10:35 WITA
  • Gianyar
  • Dibaca: 1766 Pengunjung
suaradewata

Gianyar,suaradewata.com - Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Gianyar menelusuri pelaku penerbitan akta perceraian bodong. Penelusuran sementara penerbitan akta bodong yang diterbitkan pada 17 Agustus itu, dilakukan oleh pegawai tenaga harian lepas (THL) di kantor tersebut berinisial, I Gusti BD. Sementara Disdukcapil Gianyar belum bisa memastikan sanksi untuk petugas THL tersebuy.

Kadisdukcapil Gianyar, Gede Bhayangkara saat dikonfirmasi Rabu (2/9/2020) mengatakan, berdasarkan hasil penelusuran, dalam aksinya I Gusti BD yang bertugas di pencetakan KTP, menggunakan user dan password dari pegawai lain berinisial IB OP yang bertugas sebagai pengupdate NIK. "Jadi yang menginput data dia (I Gusti BD-red), dengan memakai user petugas update NIK," katanya. Tidak diketahui bagaimana cara Gusti BD mendapatkan user dan password tersebut.

Bhayangkara mengatakan pelaku pencetakan I Gusti BD tetap masuk kantor Disdukcapil Gianyar hari ini. Namun pegawai pencetak KTP yang sudah bekerja belasan tahun di Kantor Disdukcapil Gianyar ini ditugaskan menghubungi warga yang memesan akta perceraian bodong itu. “Hari ini dia (I Gusti BD-red) kerja, tetapi masih mengurus orang yang bersangkutan, saya minta agar diajak kesini, “ katanya.

Disinggung tindakan terhadap THL yang melakukan pemalsuan akta perceraian, Gede Bhayangkara mengaku masih akan melakukan penelusuran, terutama terlebih dahulu meminta keterangan dari warga yang diterbitkan akta perceraiannya itu. “Saya masih telusuri, nanti akan bagaimana, saya panggil juga yang membuat akta, kenapa bisa begini, selanjutnya nanti saya lapor ke yang keberatan, “ tegasnya.

Sementara Gede Bhayangkara sendiri mengaku tidak keberatan dengan kasus ini. “ Saya tidak keberatan, hanya karena institusi saya dipakai, maka saya memberikan penjelasan terkait itu, yang keberatan kan disana, tetapi yang jelas itu (akta perceraian—red) bodong, “ katanya.

Lantas apakah oknum THL ini memungut iuran dari penerbitan akta perceraian bodong itu, Gede Bhayangkara mengaku tidak tahu menahu, ia hanya memastikan dalam penerbitan akta tidak dipungut biaya asal persyaratan sudah lengkap. “Menurut dia (I Gusti BD-red) tidak ada memungut biaya tetapi saya tidak tahu, yang pasti aturanya tidak ada pungut biaya itu gratis semua, menurut UUD semua pelayanan kependudukan gratis," katanya.

Sementara itu Jubir PN Gianyar, Wawan Edi Prastyo menerangkan, sebelumnya PN Gianyar mendapat informasi adanya oknum yang menjanjikan kepada masyarakat untuk mengurus perceraian tanpa sidang. "Terkait hal ini dapat kami sampaikan bahwa tidak ada 1 pun perkara gugatan dan permohonan di Pengadilan yang tanpa sidang. Semua perkara gugatan (contentiosa) dan permohonan (voluntair) di Pengadilan Negeri manapun wajib melalui sidang," jelasnya.

Pengadilan mempunyai prosedur, yaitu hukum acara, aparatur Pengadilan tidak boleh menyimpangi hukum acara tersebut. Kenapa demikian? Oleh karena Indonesia adalah negara hukum, maka setiap kegiatannya harus didasarkan pada hukum. Dan hukum acara berfungsi untuk menjaga keadilan prosedural dengan memberikan kesempatan yang sama kepada para pihak, untuk mewujudkan keadilan substansial. "Jadi PN Gianyar selalu menghimbau kepada masyarakat pencari keadilan agar jangan sampai percaya kepada oknum yang menjanjikan atau mengatasnamakan aparatur Pengadilan. Yakinlah bahwa hal tersebut justru akan merugikan masyarakat sendiri," tegasnya.

Wawan juga mengungkapkan bahwa PN Gianyar telah mendapatkan predikat WBK (Wilayah Bebas Korupsi) dari Kemenpan RB pada akhir tahun 2019. Saat ini PN Gianyar sedang berusaha untuk menuju predikat WBBM (Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani) dan berusaha memperolah sertifikat ISO 37001 tentang SMAP (Sistem Manajemen Anti Penyuapan), kami mohon dukungan masyarakat agar PN Gianyar bisa berpredikat WBBM dan bersertifikat ISO 37001.

Ditambahkannya, kasus ini melanggar Pasal 96A Undang-undang Nomor 24 tahun 2013 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan menyatakan "Setiap orang atau badan hukum yang tanpa hak mencetak, menerbitkan, dan mendistribusikan dokumen kependudukan (dokumen resmi yang diterbitkan oleh instansi pelaksana yang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti autentik yang dihasilkan dari pelayanan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)". gus/nop


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER