Penyerangan Wakapolres Bukti Paham Radikal Berbahaya

  • 24 Juni 2020
  • 22:05 WITA
  • Nasional
  • Dibaca: 1542 Pengunjung
google

Opini,suaradewata.com - Wakapolres Karanganyar yang sedang melakukan kegiatan di jalur pendakian Gunung Lawu, menjadi korban penyerangan oleh kaum radikal. Pelaku yang melakukan tindakan brutal tersebut akhirnya tewas setelah ditembak kakinya. Peristiwa penyerangan ini membuka mata seluruh rakyat Indonesia, bahwa kaum radikal masih belum puas dalam melakukan aksi teror dan kegiatannya harus diwaspadai.

Kronologi dari peristiwa penyerangan ini adalah sebagai berikut. Wakapolres beserta rombongan pergi ke jalur pendakian Cemoro Kandang, Gunung Lawu, tanggal 21 juni 2020. Mereka ada di sana untuk melakukan pembersihan lahan, bersama-sama dengan beberapa sukarelawan. Jam 10.45, ada orang yang tiba-tiba keluar dari kamar mandi sambil membawa senjata tajam. Pria itu spontan menyerang wakapolres, namun gagal karena ditangkis oleh ajudannya, Bripda Hanif Ariyono. Ia menderita luka di punggung dan leher.

Belum puas dengan penyerangan itu, pelaku langsung memindahkan targetnya ke lengan Kompol Busroni. Petugas lain spontan menembak kaki pelaku agar tidak bisa melarikan diri. Pria itu langsung kehilangan nyawa walau sudah diupayakan mendapat perawatan medis.

Dalam peristiwa ini, wakapolres selamat, namun kedua anak buahnya menderita luka-luka. Seorang warga sipil bernama Jarot Broto juga ikut jadi korban sabetan. Mereka dirawat di RSUD Karanganyar.

Densus 88 tak tinggal diam dan langsung menyelidiki siapa pelaku penyerangan dan akhirnya diketahui bernama Karyono. Masih belum diketahui apa motif dari peristiwa ini. Bisa jadi ia adalah anggota teroris yang selalu membuat kerusuhan di Indonesia. Densus 88 berusaha keras mencari Karyono masuk dalam jaringan teroris yang mana.

Mengapa kaum radikal sekarang lebih cenderung menyerang polisi daripada mengebom di tempat umum seperti dulu? Karena polisi dengan Densus 88-nya dianggap sebagai penghalang bagi kaum radikal untuk melancarkan aksinya. Polisi juga dianggap sebagai simbol pemerintah Indonesia yang mereka benci. Padahal dengan menyerang petugas, bisa mengancam keselamatan mereka sendiri, karena tentu akan dilawan dengan senjata api.

Peristiwa penyerangan ini menunjukkan bahwa kaum radikal masih menunjukkan tajinya dan wajib diwaspadai. Keadaan Indonesia yang masih dalam masa pandemi covid-19, tidak menghalangi mereka untuk melakukan teror. Mengapa melakukan penyerangan di lereng gunung? Karena mereka berpikir bahwa posisinya jauh dari kantor polisi dan lebih mudah untuk melakukan pelarian. Jadi inilah strategi mereka agar berhasil, walau akhirnya penyerangan ini gagal total.

Seluruh rakyat Indonesia jadi tahu apa wujud kaum radikal yang sebenarnya. Mereka tak segan-segan untuk melakukan apa saja demi mendapatkan keinginannya, yakni mengubah sistem pemerintahan Indonesia menjadi sebuah negara syariat, dan menolak azas pancasila. Jadi kaum radikal terus-menerus melakukan aksi pengeboman dan penyerangan, dan bahkan berani terhadap polisi. Jika tewas dalam peristiwa itu, dikiranya akan jadi sebuah jihad dan mati syahid, padahal sudah jelas-jelas bukan.

Jangan pula mudah menerima ajakan dari orang untuk mengikuti perkumpulan dan selidikilah apa di balik maksudnya. Karena jangan-jangan malah direkrut jadi kaum radikal. Bisa jadi kita positive thinking bahwa mereka memang mengajak ke arah yang benar. Namun ketika sudah ada ceramah tentang kezaliman pemerintah dan memaki-maki rezim saat ini dan tidak setuju dengan azas pancasila, segera tinggalkan. Mereka juga biasanya bermulut manis dan menjanjikan kavling surga, padahal belum tentu benar.

Peristiwa penyerangan wakapolres Karanganyar menghebohkan masyarakat dan jadi penginta akan kekejaman kaum radikal. Mereka beralasan untuk mencari kebenaran dan membela rakyat kecil, tapi malah berani melawan polisi. Kaum radikal juga berusaha menambah anggota baru dan jangan sampai terkena rayuan mereka, walau ada iming-iming seharum angin firdaus.

Fahrur Rozi, Penulis aktif dalam Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER