Bersama Lawan Corona yang Mengancam dan Hoax Corona yang Menikam

  • 08 April 2020
  • 21:55 WITA
  • Nasional
  • Dibaca: 1834 Pengunjung
google

Opini,suaradewata.com - Hampir setiap kali ada peristiwa besar, selalu diikuti dengan berita hoaks bahkan ujaran kebencian. Jika belum lama ini hoaks ramai karena tahun politik, terkini hoaks merebak karena wabah Virus Corona.

Di antara kasus mencolok yang terjadi di media sosial, seperti salah satu publik figur yang mengklaim bahwa setiap hari selalu ada dokter yang meninggal, sontak membuat publik cemas. Pernyataan tersebut memantik adanya perdebatan sengit, hingga narasi-narasi yang justru membuat banyak orang semakin merasa hopeless dan putus asa.

Ironisnya, publik figur tersebut memperkenalkan dirinya sebagai seorang dokter sehingga menjadi rujukan banyak pihak bahkan ketika berbicara pandemi Corona.

Meski begitu, ada yang patut disyukuri, oknum aktivis ini telah memberikan klarifikasi bahwa pernyataan sebelumnya terkait adanya dokter yang mati setiap hari, adalah hal yang tidak benar. Walaupun demikian, klarifikasi tersebut lantas tidak membuat narasi negatif yang merusak dapat terbendung.

Terlebih, tak sedikit yang tetap menjadikan pernyataan itu sebagai referensi, bahan acuan, hingga menjadi amunisi untuk saling serang. Terutama di media sosial.

Pemandangan begini sudah jauh hari menjadi sorotan kalangan ahli. Salah satunya, pengamatan oleh Mary Aiken yang dituangkan ke dalam buku Cyber Effect Psychology (2016) yang menyebutkan bahwa tren online memang cenderung altruistik sehingga dapat membuat seseorang terlihat tidak seperti sebenarnya, lantaran mereka bisa menciitrakan diri sebagai sosok dermawan atau paling peduli terhadap suatu hal.

Kemudian simpati publik muncul atas sosok tersebut dan membuatnya sebagai seorang pahlawan. Lebih parahnya, hal tidak benar yang dilakukannya bisa dicitrakan menjadi suatu hal yang benar. Dalam kasus ini, sebuah hoaks justru dianggap wajar dan tentu saja membahayakan karena dapat membentuk pikiran masyarakat luas bahkan memengaruhi perilakunya.

Aiken juga menyebutkan efek siber tersebut membuat banyak orang menjadi gampang percaya terhadap orang-orang yang mereka kenal di dunia maya. Salah satu buktinya, informasi bersifat pribadi pun dengan gampang diberikan kepada orang yang mereka percaya, terlepas antara kedua orang tersebut tidak pernah saling kenal bahkan tidak pernah bertatap muka secara langsung

Lebih parahnya lagi, kondisi itu membuat orang cenderung semakin meremehkan persoalan keamanan. Mereka cenderung merasa aman-aman saja ketika satu sama lain berkomunikasi di dunia maya. Tak heran jika sebuah informasi hoaks pun dapat tersebar lebih gampang.

Terbukti, menurut data Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri), pada Maret 2020, sudah ada 70 kasus hoaks yang mereka tangani. Tercatat, Polda Jawa Timur sudah menangani 11 kasus, disusul Polda Metro Jaya 10 kasus, selain itu juga di Bareskrim Jawa Barat dan Lampung yang masing-masing menangani 5 kasus.

Tentu saja, upaya Polri dalam memberangus hoaks tersebut sangat diperlukan, walaupun jika memantau perkembangan di media sosial ada banyak lagi yang luput lantaran cepatnya sebuah hoaks berkembang hingga viral.

Apabila dipetakan, perkembangan hoaks terjadi karena faktor ketidaksengajaan, tetapi tak sedikit pula karena faktor kesengajaan.

Namun demikian, ketidaksengajaan tak lantas bisa dibenarkan. Sebab, ketidaksengajaan tetap saja dapat membawa dampak yang berbahaya. Publik dibuat semakin gaduh dan ketakutan bahkan parahnya dapat mengganggu kerja Pemerintah, sedangakan banyak pihak yang sedang membutuhkan fokus untuk menangani wabah Corona.

Sedangkan hoaks yang dibuat dengan sengaja, bisa membawa dampak lebih buruk. Sebab kesengajaan tersebut memungkinkan terdapat tujuan tertentu bagi suatu pihak.

Terlepas kesengajaan atau ketidaksengajaan, tetap saja hoaks dapat menimbulkan bahaya yang tidak terduga dan harus ditentang keras. Perlawanan diperlukan bagi semua elemen masyarakat terutama dari kalangan warganet dan insan media dengan memposting berita atau informasi positif dan edukatif diperkuat dengan tanda pagar (tagar) atau biasa dikenal hashtag #HidupSehatTangkalCorona dan #WarganetBersatuLawanCorona, bisa menjadi jalan untuk membendung hoaks yang meresahkan publik.

Lebih lanjut, di tengah banyaknya sumber informasi, tetap saja media-media terpercaya mesti turut andil agar publik tidak terperangkap dalam informasi yang menyesatkan. Sebab, hal ini dapat saja membuat misi bersama untuk melawan Corona tersebut terjegal oleh hoaks dan sejenisnya.

Jika itu dibiarkan, alih-alih bisa membuat pandemi yang sedang mengancam berkurang, justru membuatnya semakin besar, karena publik menjadi semakin skeptis dan kebingungan siapa lagi yang mesti mereka percaya.

Apalagi sudah bukan rahasia, di tengah wabah Virus Corona banyak pihak yang lebih mementingkan dirinya sendiri. Alih-alih kembali ke posisi masing-masing dan berbuat dengan kapasitas masing-masing malah menjadi penanganan Virus Corona semakin sulit dan semakin mahal.

Perlawanan terhadap hoaks di tengah wabah Corona ini pun menjadi sebuah sumbangsih sangat penting bagi keberhasilan dan kesuksesan Indonesia di masa yang akan datang.

Rani Apriliani, Penulis adalah Aktivis Pegiat Media Sosial Independen


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER