Mendukung Pemberantasan Virus Radikalisme

  • 18 Maret 2020
  • 19:55 WITA
  • Nasional
  • Dibaca: 2369 Pengunjung
google

Opini,suaradewata.com - Virus radikalisme masih menjadi ancaman bagi bangsa Indonesia. Paham tersebut sangat menyimpang dan bertentangan dengan Pancasila dan budaya asli bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, penyebaran radikalisme harus diwaspadai oleh segenap rakyat Indonesia untuk ditangkal dan dicegah demi terjaganya Negara Persatuan Republik Indonesia (NKRI).

Di era yang semakin global, ilmu pengetahuan dan teknologi pun mengalami kemajuan yang pesat serta terus menerus menunjukkan perkembangan baru. Sayangnya, seiring dengan perkembangan tersebut, nilai-nilai Pancasila mulai terkikis perlahan-lahan dan intoleransi mulai menggeser nilai-nilai budaya bangsa sehingga menjadi pintu lebar bagi kaum radikal untuk menyebarkan pahamnya. Kelompok radikal tahu memanfaatkan segala kesempatan dan media demi upaya menyesatkan dan menjerumuskan publik dalam lingkaran gelap untuk menggapai tujuannya menghancurkan negara beserta manusianya. Radikalisme mulai masuk ke lingkungan pendidikan dan pekerjaan, baik melalui internet maupun kegiatan-kegiatan publik.

Tren intoleransi dan radikalisme di Indonesia cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Direktur Wahid Institue, Zannuba Ariffah Chafsoh atau Yenny Wahid menyebut bahwa dari hasil kajian yang dilakukan Wahid Institute ada sekitar 0,4% atau sekitar 600.000 jiwa warga negara Indonesia (WNI) yang pernah melakukan tindakan radikal. Menurut Yenny, data tersebut dihitung berdasarkan jumlah penduduk dewasa yakni sekitar 150 juta jiwa.

Selain itu, terdapat kelompok masyarakat yang rawan terpengaruh gerakan radikal, yakni bisa melakukan gerakan radikal jika diajak atau ada kesempatan, jumlahnya sekitar 11,4 juta jiwa atau 7,1%. Sedangkan, sikap intoleransi di Indonesia juga mengalami kecenderungan meningkat dari sebelumnya sekitar 46% dan saat ini menjadi 54%.

Menurut Yenny, radikalisme adalah tindakan yang merusak atau berdampak merusak kelompok masyarakat lainnya di tengah kehidupan bermasyarakat di Indonesia, sedangkan, intoleransi adalah sikap yang melarang atau tidak membolehkan, kelompok lain atau orang lain, mengekspresikan hak-haknya, misalnya dilarang melakukan kegiatan yang lega.

Sikap intoleransi merupakan salah satu pemicu munclnya radikalisme dimana sebagai bangsa yang besar dengan berbagai agama, suku bangsa dan ras, Indonesia rentan dengan terjadinya intoleransi. Untuk itulah, sejak awal, para pendiri bangsa telah sepakat untuk membangun Indonesia sebagai negara yang menjamin kemajemukan dalam berbangsa dan bernegara.

Pemerintah di bawah kepemiminan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memberikan perhatian khusus pada gerakan radikalisme yang bisa mengancam masa depan bangsa dan negara. Hal ini berdasarkan dengan tujuan nasional bangsa Indonesia seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, yakni ‘Melindungi Segena Bangsa Indonesia dan Seluruh Tumpah Darah Indonesia, Memajukan Kesejahteraan Umum, Mencerdaskan Kehidupan Bangsa Dan Ikut Serta Dalam Melaksanakan Ketertiban Dunia”

Untuk menindaklanjuti perintah Presiden Jokowi terkait menangkal penyebaran paham radikal, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan HAM (Menkopolhukam), Mahfud MD mengungkapkan bahwa penanganan radikalisme akan dilakukan lintas kementerian. Hal yang paling ditekankan adalah kelompok radikal bukan mengacu pada golongan atau agama tertentu, karena itu, pemikiran bahwa orang yang radikal merupakan dari kelompok agama tertentu harus diubah.

Mahfud menegaskan, radikalisme adalah paham yang ingin mengganti dasar dan ideologi negara dengan cara melawan aturan, kemudian merusak cara berpikir generasi baru. Apapun agamanya, jika melakukan hal tersebut adalah radikal.

Untuk diketahui, dalam menangani radikalisme, pemerintah memiliki dua pendekatan, yakni kontra-radikalisasi dan deradikalisasi.

Pendekatan kontra-radikalisasi dilakukan untuk menekan penyebarluasan paham radikal yang telah terjadi di sebagian kelompok masyarakat dan menjadi upaya preventif yang dilakukan pemerintah untuk menghindari lebih banyak lagi aksi radikal terorisme. Masyarakat diharapkan agar tidak terpengaruh oleh cara berpikir dan sikap radikal yang berpotensi melahirkan terorisme. Sementara pendekatan deradikalisasi bertujuan untuk menghilangkan pemahaman radikal bagi pelaku teror dan penganut paham radikal.

Saat ini, radikalisme mulai mengincar kaum perempuan dan generasi muda, khusunya pelajar dan mahasiswa karena dianggap mudah untuk dipengaruhi dan dimanfaatkan. Karena itu, menangkal radikalisme membutuhkan kerjasama dan dukungan dari semua pihak, mulai dari orang tua,pelajar, mahasiswa, akademisi, pendidik, tokoh agama, pegawai dan karyawan hingga aparat dan pemerintah. Lingkungan pendidikan dan keluarga harus menjadi tempat pembinaan karakter yang diperlukan untuk membangun bangsa. Sedangkan lingkungan pekerjaan dan peribadatan harus menjadi tempat untuk mengamalkan nilai-nilai Pancasila, menyebarkan toleransi dan kerukunan serta menjaga karakter dan budaya bangsa demi rasa aman dan nyaman dalam kehidupan bermasyarakat.

Pancasila adalah sebagai dasar negera RI, dimana didalamnya sudah mencakup kehidupan beragama dan bermasyarakat dalam bingkai NKRI. Hingga saat ini, Pancasila sudah memberikan bukti nyata yang mempersatukan segenap bangsa Indonesia, dengan kata lain, Indonesia berdiri, merdeka dan optimis melangkah menuju negara yang maju. Masyarakat Indonesia sudah sepatutnya menyampaikan lebih banyak narasi tentang toleransi atau kerukunan, sikap cinta kepada sesama, nasionalisme, patriotisme dan bela negara.

Xeraphine Siwi, Penulis adalah Pemerhati Sosial Budaya


TAGS :

Komentar

FACEBOOK

TWITTER